webnovel

Akhir Hayatnya – 3

Keheningan tadi membuatku terlelap, tanpa menyadari bahwa ada yang bergerak di balik kegelapan. Lama-lama suara pelan dari jejak kaki itu membuatku terjaga. Aku langsung membuka mata meski terasa berat dan penglihatan masih buram. Pandanganku fokus pada satu titik di sisiku. Barulah aku menyadari sesuatu.

Ascella menghilang.

Aku menatap sekeliling, mencari Guardian yang bisa dibangunkan. Namun, akibat rasa panik aku berseru seakan mendeskripsikan sesuatu.

"Dia hilang!" jeritku. "Dia hilang!"

Dapat kudengar suara pergerakan dari sekitar, tanda mereka mendengar. Langsung saja aku disambut dengan suara mereka.

"Siapa?" Dapat kudengar suara Ezekiel yang masih terdengar mengantuk.

"Ascella!" seruku.

Kudengar Ezekiel berdecak kesal. "Sudah beban, bikin repot pula!" Sepertinya dia benar-benar membencinya sekarang.

Khidir berdiri dan berlari keluar dari tempat persembunyian kami. Sebuah kastel yang sudah lama ditinggalkan, bahkan bisa dibilang hanya tersisa bangunannya saja. Selama ini kami bermalam di sini dan aku tidak menyadari. Seharusnya aku bertanya ke ...

"Zach?" Aku panggil namanya. Tidak ada sahutan. Di mana dia?

"Mana Hyde?" Kudengar seruan dari Ezekiel. Dia lebih terdengar cemas alih-alih kesal.

Khidir tampak fokus memandang ke luar jendela kastel. Diam bagaikan patung.

Aku hendak memanggil. Namun, mataku tertuju ke titik yang dia pandang. Membuatku sadar mengapa dia tampak begitu tegang. "Itu ..."

Khidir tetap tidak membalas.

"Kalian kenapa, sih?" Ezekiel tanpa menunggu balasan, langsung berdiri di tengah kami, turut menyaksikan pemandangan di luar.

Sosok itu berdiri di tengah hutan. Begitu besar hingga tampak akan meruntuhkan setiap pohon yang dilaluinya. Mata merah menyala, fokus ke depan seakan mengawasi sesuatu. Itulah sosok yang selama ini kutunggu. Harusnya dia menemani pertempuran melawan Zibaq kali ini. Dia juga berhasil melawan jin itu dan tampak tidak lelah setelahnya, menandakan dialah yang terkuat di antara kami. Dialah Tirta.

Aku menatap pelindungku. Keduanya diam, bahkan baru kali ini kulihat orang seperti mereka begitu tegang seakan telah tertangkap basah.

"Hei, kalian kenapa?" Aku bingung. Maksudku, kenapa mereka takut?

Khidir bahkan tidak melepas pandangan dari sosok Tirta. "Kyara, sebaiknya kamu tidur saja."

"Tapi, aku sudah lama tidur," tolakku. "Kalian kenapa?"

Ezekiel menggaruk rambut pirangnya, tampak berusaha berpikir. "Enggak apa-apa, sih. Cuma ... gimana, ya?"

"Dia pasti akan meminta laporan," kata Khidir seakan melanjutkan kalimat Ezekiel. "Kurasa dia masih bicara dengan Hyde."

"Memangnya kenapa?" heranku. "Kalian bisa langsung tahu nama teman kalian pula." Bukan bermaksud merendahkan, tapi hebat juga mereka bisa tahu secepat itu.

"Tahulah," sahut Ezekiel, mengacu pada ucapan terakhir dariku. "Orang dia ngasih tahu."

Aku belum melihat, tapi bukan berarti itu tidak nyata. Maka kupilih untuk tidak membahas itu lagi.

"Di mana Ascella?" Aku berbisik. Niat tidak ingin membuat mereka semakin lelah dengan masalah saat ini kalau dibahas lagi. Namun, tentu ini juga pertanyaan penting lantaran Ascella tanggung jawab kami sekarang dan dia justru menghilang.

Baru hendak bicara, kulihat sambaran petir menusuk bumi hingga tercipta dentuman nyaring.

DUR!

Aku menutup telinga, suara itu bagaikan jarum di telinga, begitu menyakitkan bila didengar langsung. Kedua pelindungku juga melakukan hal yang sama. Jelas serangan tadi tidak berlangsung sekali melainkan bertubi-tubi dilihat dari kilatan cahaya yang bersahutan seakan sekali saja tidak cukup. Beberapa waktu berlalu, semua terasa begitu lama. Ketakutan semakin menguasaiku hingga aku berlutut dan melindungi kepala menggunakan kedua tangan karena suaranya begitu nyaring. Kastel pun bergetar dan untung tidak runtuh ketika siksaan tadi berakhir.

Begitu suasana kembali hening, kulihat Ezekiel satu-satunya yang berani langsung menengok ke jendela sambil menutup kedua telinganya sementara Khidir berada di sisinya dengan posisi yang sama.

"Ada apa?" tanyaku.

"Waduh." Hanya itu komentar Ezekiel. Tidak jelas tapi bisa dimaklumi.

Khidir kembali menatapku. "Tirta baru saja menyerang sesuatu. Namun, aku tidak tahu apa." Bahkan dia saja tidak bisa menjelaskan. Biar Tirta datang dan memberitahu segalanya.

"Dia mendekat!" Ezekiel langsung mundur.

Entah kenapa para Guardian tampak ketakutan saat ini.

Di saat itulah, kulihat sosok Zach muncul di tengah ruangan dengan rupa yang sama seperti sebelumnya seakan tidak terjadi apa-apa.

"Anak itu berusaha kabur membawa kakaknya yang sudah sadar. Aku mencoba mencegah mereka, tapi di saat itu juga Kakek datang." Zach menjelaskan dengan tenang seakan itu kejadian yang lumrah terjadi.

Terdengar langkah kaki dari luar. Zach bergerak membukakan pintu dan membiarkan dia masuk.

Tirta datang sambil menyeret seorang wanita dan anak lelaki di kedua tangannya seperti karung. Kondisi keduanya lebih tampak habis jatuh ke tanah alih-alih tersambar petir, tapi sukses membuat mereka tak berkutik. Tirta turunkan mereka di lantai dan bergerak mendekati kami.

"Kalian baik-baik saja?" Pertanyaan yang sepertinya akan sering dia tanyakan pada kami. Rasanya tidak aneh jika pertanyaan itu keluar darinya.

Kami menjawab "ya" bersamaan. Seakan sesuai dengan keinginannya.

Tirta kembali menatap kedua orang itu. "Zibaq mencoba mendekat ketika mereka kabur. Aku berhasil menghalaunya pergi. Namun, mereka justru memberontak hingga tidak sengaja terkena seranganku."

"Ah, itu bukan salah Kakek." Ezekiel terdengar agak gagap seakan menyembunyikan perasaan takut darinya. Dia selingi dengan tawa canggung pula, membuatnya terdengar aneh.

Tirta sepertinya tidak terpengaruh dengan ucapan tadi. Malah membahas hal lain ketika menatap Ezekiel. "Kamu berani sekali melawannya, sendirian!" Dia terdengar marah alih-alih memuji.

Ezekiel tidak membalas selain dengan tatapan canggung.

"Aku sudah bilang, jangan melawannya seorang diri!" tegur Tirta.

"Tapi, berhasil." Ezekiel mencoba membela diri. "Lihat, dia mau keluar tadi. Walau ujungnya balik."

"Kamu belum bisa melawannya seorang diri," sahut Tirta. "Kamu belum sekuat itu, aku bahkan masih harus waspada."

"Ah, bilang aja Kakek cemas." Ezekiel tersenyum, berusaha mencairkan suasana meski justru menciptakan sebaliknya.

"Tentu saja," balas Tirta.

Ucapan darinya itu sukses menciptakan suasana hening selama beberapa saat. Balasan yang singkat tapi cukup membuat kami terdiam. Tirta memang peduli dengan kami dan tidak sama sekali menutupinya. Pada awal mengenal dia pun aku sudah bisa menebak Tirta itu sosok yang perhatian terutama kepada Guardian lain ditambah cara dia bicara dengan mereka. Dia mungkin tidak akan menyembunyikan rasa pedulinya. Sebagai pemimpin pun masih berusaha tampak agar tidak begitu ditakuti melainkan sebagai sosok yang melindungi mereka. Aku akui, Tirta seperti versi yang lebih tua dari Idris.

Suasana hening terus berlanjut hingga Tirta berpaling dan mengangkat kembali kedua sosok itu. "Akan kuurus mereka."

"Lho, Kakek mau ke mana?" tanya Ezekiel.

"Kalian jaga saja Putri." Tirta menatap Zach. "Antar aku ke Nedai."

Zach hanya membalas dengan berkata, "Baik." Dia pun membawanya pergi.

Kedua Guardian itu menghilang seakan belum pernah ke sini sebelumnya. Menyisakan kami yang hanya bisa menatap kepergian mereka.