1 Redemption

"Right, left, uppercut…lagi! Right, left, uppercut! Bagus! Sekarang kau sudah bisa beristirahat Mahendra," Suruh pelatih.

"Terima kasih, Pak!" 

Hari-7 menuju pertandingan MMA. Berbulan-bulan sudah kusiapkan diriku untuk menghadapi lawan tandingku. Otot-otot bersobekan, jantung meledak-ledak, penglihatan memudar, dan otak yang terbakar. Di tempat ini kuhancurkan badanku hanya demi sebuah balas dendam semata.

Tanggal 25 Desember, hari yang menjadi alasan aku kembali ke ring. Bagas, sahabatku sejak aku masuk dalam dunia MMA. Ia adalah juara bertahan di Kelas Ringan setelah aku mengambil masa rehat. Hari itu bertanding untuk menerima tantangan dari super rookie yang sedang naik daun, Karta. 

"Kenapa kau ambil tantangannya? Mereka pasti sudah mengatur pertandinganya hanya untuk menjatuhkanmu," 

Aku menanyakan pilihannya karena aku sudah melihat pertandingan Karta sebelumnya dan menemukan kalau setiap pertandingannya selalu janggal. Juri yang memberikan point secara berat sebelah. Wasit yang menghiraukan pelanggaran oleh Karta. Bahkan ia pernah membuat petarung lawan cedera parah.

"Mengapa? Tentu saja untuk memberi dia pelajaran atas perlakuan curangnya di atas oktagon. Jangan cemaskan diriku, lebih baik kau cemaskan dirimu yang sudah lama tidak olahraga. Bukankah kau mau gelar juaramu kembali?"

Seperti biasa, dia orang yang optimis dan selalu menjunjung sportivitas. Dia memang orang yang sangat diidolakan baik di atas ring maupun kehidupan sosialnya.

"Gas, hati-hati di atas sana," kutepuk bahunya dan mewanti-wanti.

"Tenang Ndraa…mending kau beli 2 botol soda untuk merayakan kemenanganku nanti," Ia melangkah mantap memasuki oktagon.

Dan itulah kalimat terakhir yang diucapkan Bagas kepadaku. Bagas terjatuh kaku di ronde terakhir akibat pukulan keras melayang mengenai bagian belakang kepalanya. Nahas, pukulan itu harus menghentikan karir MMA-nya dan kehidupannya. Ia dinyatakan meninggal setelah dirawat di rumah sakit. 

Akibat kejadian itu Karta menerima beberapa sanksi. Seluruh orang yang menyayangi Bagas berduka atas kepergiannya mulai dari para fans, tim, pelatih, teman-teman, keluarga, dan juga diriku. Bagas merupakan orang yang penting bagiku. Ia orang yang kukenalkan, kutemani, kuajari, dan kubimbing di dunia MMA. Ia sudah seperti adikku sendiri dan sebagai kakak seharusnya aku memberinya kebahagiaan tapi, nyatanya aku malah yang membawa kehancuran itu sendiri. 

"Kau tak mungkin kalah darinya Bagas. Bangunlah, beri tahu dia siapa kau sebenarnya. Kau adalah sang juara! Tak mungkin bocah kemarin sore itu mengalahkanmu. Ayolah! Bangun Bagas!" 

Aku sudah tak bisa berpikir waras melihat nyawanya melayang tepat di depan mataku. Rasa sedih itu sudah terlalu mendalam dan percikkan dendam mulai membara di dalam hatiku. Dendam untuk menghabisi Karta atas perbuatannya.

"Kau besok istirahat sehari untuk menyembuhkan otot-otot dan pikiranmu. Kau boleh pemanasan sedikit tapi, jangan berlebihan. Kita sudah sampai H-3 menuju pertandingan, aku tak ingin tubuhmu hancur duluan sebelum masuk ke ring," Suruh pelatih.

"Baik, Pak. Terima kasih atas latihannya hari ini," 

Aku langsung pergi membasuh tubuhku di kamar mandi yang disediakan. Kumasukkan barang-barangku ke ransel dan beranjak pulang ke rumah. 

"Bagaimana kabarmu?" tanya Lilia, perempuan berambut pendek yang sudah menungguku di depan tempat latihan.

"Tak ada masalah," Jawabku singkat lanjut melangkah pulang.

"Kau tahu kalau pilihanmu ini salah? Kau tahu itu tapi, tetap mengambilnya," 

"Karena hanya aku yang bisa melakukan hal ini," Langkahku berhenti.

"Kejadian itu bukanlah salahmu, kita semua juga tahu bahwa kecelakaan seperti itu dapat terjadi di dalam arena. Janganlah buat dirimu untuk menebus dosa yang bukan kau perbuat," Ucap dia.

Aku juga tahu kalau hal itu adalah hal yang wajar bagi petarung seperti kami tapi, jika saja Bagas bukanlah petarung maka hal seperti itu tak mungkin menimpa dirinya. 

"Akulah yang membawa Bagas ke atas ring itu, berarti akulah yang mendatangkan kematian kepadanya!" tanpa sadar aku malah membentaknya dan mataku mulai berkaca-kaca.

"Mahendra! Sadarkan dirimu!" Ia memegang pundakku mencoba menenangkan diriku.

"Harusnya aku menghentikan dirinya naik ke dalam ring. Harusnya ia tak kukenalkan dunia MMA yang kejam itu. Lebih baik kalau dia tak bertemu diriku dulu maka kejadian ini tak akan pernah terjadi," diriku sesenggukan menahan tangis, tubuhku bergetar tak kuasa menahan luapan rasa sedih ini.

"Tanpa kehadiranmu Bagas hanyalah berandalan yang suka mencari keributan. Tanpa bimbinganmu Bagas tak akan menjadi seorang pejuang yang diidolakan banyak orang. Kaulah yang mengubah hidup Bagas menjadi lebih baik," ucap Lilia sambil memelukku.

Tangisku semakin deras di dalam dekapannya. 

H-2 menuju pertandingan. Meski sudah beberapa kali ke sini, dadaku masih saja terasa sakit ketika melihat makamnya Bagas.

"Halo, kawan. Lama tak berjumpa," aku duduk di samping makamnya.

"Besok lusa adalah pertandingan perdanaku setelah rehat cukup lama. Aku tak tahu apakah tinjuku masih sama dengan yang dulu. Kau sudah pasti melarangku untuk melakukan hal bodoh yang kulakukan saat ini. Salahku juga sih karena terlalu emosian. Ahh...kemarin aku malah memperlihatkan sisi cupuku di depan Lilia. Aku menangis sesunggukan dan Lilia mencoba menenangkanku. Kau pasti sudah tertawa terbahak-bahak jika melihat aku menangis. Yah...berkat dirinya juga aku jadi sadar lagi," Semua rasa marah, sedih, penyesalan kuceritakan di makamnya. 

"Ah...ternyata sudah mau gelap," Aku berdiri.

"Aku tak bisa memaafkan bajingan itu seperti dirimu Gas tapi, aku sudah dapat merelakan kepergianmu. Kau dapat beristirahat yang tenang sekarang karena besok aku harus memberi pelajaran kepada bajingan itu bahwa dirinya tak pantas berdiri di atas oktagon. Sampai jumpa kawan," Mulaiku beranjak meninggalkan makamnya.

Hari-H pertandingan. Suara ricuh penonton menggelegar di arena itu. Pertandingan yang sangat dinantikan oleh para penggemar MMA. Petandingan yang mempertemukan seorang mantan juara yang kembali dari masa rehatnya dengan pendatang baru yang saat ini memegang gelar juara itu sendiri. 

"Ingat bocah, dia akan melakukan segala cara untuk menjatuhkanmu. Aku tak tahu apakah wasit dan juri berada di pihak siapa. Saat ini hanya dirimu sendiri yang dapat kau percaya," Pesan pelatihku.

"Serahkan saja kepadaku pak, akan ku pastikan bajingan itu tahu betapa kerasnya dunia di dalam oktagon itu," Aku sudah bersiap dengan sarung tanganku.

"Hei, jangan kau berani coba-coba menyusul Bagas!" Cemas Lilia.

"Mulutmu sudah mulai jelek sekarang, padahal kemarin kau sangat lembut ketika menasihatiku," Kutepuk kepalanya pelan sambil bersiap masuk ke ring.

Sorak dukungan memenuhi arena malam ini. Para fans yang sudah menantikan kembalinya diriku, para fans Bagas yang memintaku untuk memberi pelajaran kepada Karta, orang-orang terdekatku ikut berkoar-koar juga. 

"Ladies and Gentleman...selamat datang di pertandingan perebutan gelar kejuaraan kelas ringan!" Sorak-sorak penonton mulai bergemuruh atas pembukaan pertandingan malam ini.

"Penantang malam ini, sang mantan gelar juara yang telah kembali dari masa rehatnya dan ingin mengambil kembali tahtanya. Sambutlah, Maaahendraaaa!!!"

Aku mulai melangkahkan kakiku kembali ke tempat dimana diriku hanya mengenal kalah dan menang. Tempat dimana darahku bercucuran demi sebuah gelar juara. Dan sekarang di dalam oktagon ini akan kuubah menjadi tempat eksekusi.

"Selanjutnya, seorang petarung dengan julukan super rookie yang telah berhasil meluluhlantakkan arena kelas ringan. Sang pemegang gelar juara saat ini. Sambutlah, Kaaartaaaa!!!

Keluar. Karta bajingan itu sudah keluar. Ia berjalan dengan angkuhnya sambil membawa sabuk gelar juara. Kami berdua sudah saling berhadapan di dalam ring. Wasit membacakan peraturan dalam pertandingan. Setelah kami siap dia akan memulai pertandingannya.

"Bersiap...MULAI!"

Dengan tiba-tiba Karta langsung melancarkan takle ke arahku. Aku tak punya waktu untuk menghindar maka langsung kuangkat lutut untuk menghadang wajahnya. Melihat hadangan lututku ia langsung berhenti.

"Kau cepat dalam berpikir ternyata, tak seperti pemegang juara sebelumnya," Ia mencoba memprovokasiku.

"Sebaiknya kau diam sebelum ku sumpal mulutmu dengan tinjuku," Ia terkekeh mendengar ancamanku.

Pada ronde pertama ini Karta bermain sangat agresif. Aku yang tak ingin menghabiskan tenagaku lebih memilih bertahan. 5 Menit berlalu dan ronde pertama selesai. Di pertarungan selanjutnya ia terus bermain agresif. Aku yang sedari awal hanya bermain defensif sangat tak diuntungkan untuk meraih skor. Di ronde ketiga aku unggul karena melakukan beberapa counter yang mengenai dirinya. Di ronde keempat kuputuskan untuk bermain agresif.

"Ronde keempat, dimulai!" 

Ku melesat maju memulai pertarungan dengan kombinasi pukulan. Karta tak dapat melawan dengan agresif karena terlambat untuk inisiasi. Pukulanku membuat Karta fokus bertahan di tubuh bagian atas lalu kulecutkan kakiku mengenai kakinya yang membuat ia kehilangan keseimbangan. Kesempatan itu langsung kuambil untuk menjatuhkan dirinya di lantai dengan takle dilanjut teknik kuncian. Karta tak bisa melakukan apa-apa didalam kuncian tersebut. Ia berusaha keluar tapi tak ada yang berguna usahanya. 

Namun, Karta si bajingan ini tiba-tiba menggigit lenganku. Aku mencoba tetap bertahan karena ronde akan segera berakhir. Tak henti di situ, Karta sekarang mencoba mematahkan jari tanganku. Di posisi kuncian ini terdapat beberapa blind spot oleh wasit dan Karta memanfaatkanya untuk berbuat curang. Bel akhirnya berbunyi. Aku kembali ke corner untuk merawat luka-lukaku. Di ronde terakhir ini aku berencana untuk melakukan KO kepadanya.

"Ronde kelima, bersiap...MULAI!"

Karta langsung menerjangkan tinjunya menuju wajahku. Aku mengangkat tangan untuk blocking serangan. Meski aku sudah melakukan blocking tinjunya sangatlah terasa berat. Dia melakuakan serangan penghabisan di ronde terakhir ini. Aku masih bisa melakukan counter dan blocking tapi, tetap merasa kewalahan. Aku mencoba mencari titik lengahnya tapi usahaku cukup sulit, Karta tak membiarkan diriku memiliki ruang sedikitpun. 

Ia yang bermain agresif dari awal akhirnya kehabisan tenaga. Serangan penghabisan mulai kulancarkan. Inisiasi awal dengan takle, ia terkecoh dengan itu lalu kuubah serangan menjadi pukulan uppercut. Tubuhnya sempoyongan menerima uppercut yang tak terduga. Seranganku masih berlanjut. Keseimbangannya kupatahkan dengan low kick, fake hook dilanjut body shot, dan terakhir question mark kick yang berhasil menumbangkannya ke lantai. Serangan beruntun itu masih belum cukup untuknya. Ia mulai bangkit lagi. Belum sempat untuk bernapas layangan kaki roundhouse mengenai badannya sampai terpental ke jaring oktagon. Serangan lanjutan berupa knee kick melesat tepat mengenai wajahnya.

Hidungnya banjir darah, napasnya terengah-engah, badannya tak sanggup lagi menahan serangan. Tubuhnya keringat dingin, gemetaran, dan ketakutan seperti mangsa yang akan disantap sang predator. Teror yang menghancurkan mental serta jiwanya. Aku ingin melayang tinju sekali lagi tapi, hal itu dihentikan oleh wasit. Pertandingan pun sudah berakhir. Para juri memulai penilaian mereka untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan gelar juara.

"Baiklah para permisa sekalian, akan kami umumkan siapa yang berhak mendapatkan gelar juara kelas ringan pada malam ini. Dan...yang mendapatkan gelar juara pada malam hari ini adalah..." Arena menjadi sunyi menunggu hasil pertandingan.

"MAHENDRA! Kemenangan atas TKO!" sambil wasit mengangkat tanganku.

Sabuk gelar juara kelas ringan sudah terpasang di pinggangku. Sorak gembira para penonton memenuhi arena itu. Para fansku yang akhirnya melihat kembali jawara mereka menang, para fans Bagas yang sangat puas dengan kekalahan Karta, dan keluarga Bagas mulai terharu melihatku. Aku menundukan kepalaku ke arah mereka sebagai tanda penghormatan. Timku dan pelatihku mulai datang menghampiri lalu memelukku satu persatu bahkan menggendongku dibahu. Dari atas situ aku dapat melihat Lilia yang menangis bahagia sambil senyum kearahku. 

Hari+1 Pertandingan. Aku pergi ke makam Bagas ditemani Lilia. Di makamnya aku menceritakan bagaimana pertandingan tadi malam berlangsung. Mulai dari awal sampai akhir.

"Dan akhirnya kemenangan berada di tanganku kawan," Kutaruh bunga di atas makam Bagas.

"Hari ini cukup sampai di sini. Aku akan datang dan menceritakan kembali kisahku di dalam ring untukmu kawan. Sampai jumpa," 

Aku beranjak pulang bersama Lilia.

avataravatar