webnovel

PANIK

Tyo masih mengendus-endus Ical yang duduk di sebelahnya."Sebelum joging lu mandi dulu kan?"tuduh Tyo yakin.

Andin menatap Tyo risih. "Ngapain lo ngendus-ngendusin orang sih Yo..."

Ical ikut mengendus badannya, lalu nyengir lebar. Dia menyesal. Menambah semprotan parfum sebelum masuk rumah sepertinya langkah yang salah.

"Ambilin minum tuh buat Ical." Satya mendorong bahu Andin pelan, agar adiknya segera beranjak.

"Eh nggak usah Ndin,"Ical sudah berdiri untuk mengambil minumnya sendiri tapi kausnya ditarik paksa Tyo. Ical pasrah duduk kembali.

"Lu fokus makan aja yang banyak... Udah dimasakin juga tuh."Tyo menepuk-nepuk bahu Ical.

"Ambilin kopi kalengan sekalian Ndin."perintah Satya, tepat sebelum Andin menutup kulkas.

Andin menggigit bibir bawahnya, menahan kesal. Jarak meja makan ke kulkas hanya butuh tiga langkah, tapi tetap saja kakaknya selalu memerintah. Meski kesal, dia terpaksa membungkuk lagi mengambil kopi kaleng pesanan kakaknya.

"Lu hari ini shift malem kan?"Satya bertanya ke Tyo.

Tyo mengangguk. "Kenapa Bang?"

"Bantuin gue. Bikin cover."

Tyo mengacungkan jempol, setuju. "Lu ikut nggak Ndin?"

Andin mengulurkan segelas air putih ke dekat piring Ical dan memberikan kopi kaleng ke kakaknya sebelum duduk di kursinya. "Ngikut ngapain?"tanya Andin ke Tyo..

"Ikut nonton."Tyo mengangkat-angkat alis. "Mumpung gue nih yang nyanyi."

"Males. Gue mau nulis aja."jawab Andin dengan wajah datar.

"Nulis apaan lu?"

"Terserah gue lah."

Tyo tersenyum menggoda. "Lanjutan kisah cinta ya?"

Andin menatap galak ke Tyo sebelum menoleh ke kakaknya memasang wajah memohon bantuan. Satya yang langsung mengerti berdeham. "Ayo mulai sekarang."Satya berdiri, memberi isyarat dengan tangan agar Tyo mengikutinya.

"Sekarang banget Bang..."Tyo memasang wajah kecewa. Padahal tadi dia sedang menikmati wajah panik Andin dan wajah bingung Ical. Apa boleh buat, dia berjalan mengejar Satya.

Andin menunduk, menghembuskan nafas lega. Kalau saja tak ada Ical, Andin mungkin sudah mengamuk. Berani sekali Tyo mengungkit soal itu padahal Ical duduk di sebelahnya. Hampir saja dia lepas kontrol dan mengamuk.

Andin mengangkat wajah dan mendapati Ical sedang menatapnya. Selama beberapa detik, pandangan mereka bertemu. Melihat Ical yang salah tingkah, Andin berdeham. Dia memilih berdiri, menghindar dengan dalih mencuci piring. Meninggalkan Ical sendiri di meja makan. Rencana Andin adalah, mencuci piring dengan cepat lalu langsung kabur ke kamarnya.

Andin baru membilas piring kedua saat Ical sudah berdiri canggung di sampingnya. Ditangannya ada piring kotor dan gelas yang tadi dipakai. Cepat sekali Ical makan.

Andin mengulurkan tangan. "Sini biar gue cuciin."

Ical tersenyum kecil. "Biar gue aja yang nerusin.."

"Ah,,,"Andin bergeser memberikan ruang. Bersiap kabur dari sana.

"Eh, Ndin."Panggil Ical pelan.

Andin berbalik badan. Mereka kembali bertemu tatap. "Ya?"

"Hm... Kamu nggak marah kan?"

Andin menatap Ical bingung. "Soal?"

Ical tampak ragu. Dia membuka mulut sedikit lalu menutupnya lagi. Pemuda itu mengulas senyum tipis. "Nggak. Nggak papa."

"Yakin nggak papa?"

Ical mulai mencuci piring menjawab dengan gumam nggak jelas.

"Gimana?"Andin mendekat satu langkah, berharap bisa mendengar lebih jelas..

Ical menoleh, mengulas senyum."Ehm.. Kalau tulisanmu udah jadi, aku boleh baca?"

Andin menelan ludah. Dia bingung harus menjawab apa.

*

Andin dan Ical duduk berhadapan di satu kedai eskrim. Di atas meja mereka sudah ada dua cup eskrim rasa strowberry dengan taburan coklat di atasnya. Buku yang baru keduanya beli ditumpuk ditengah meja.

"Yakin nggak mau makan siang sekalian?"Ical menatap porsi es krim nggak yakin. Tadi dia sempat mengajak gadis mungil itu makan siang, tapi ditolak.

Andin mengangguk kecil. Mereka baru keluar toko buku jam setengah 11. Masih terlalu awal untuk makan siang. "Lagian jam dua belas harus pulang."

"Kamu ada acara di rumah?"

Andin mengerjapkan mata beberapa kali. Masih agak canggung dengan panggilan 'kamu' dan bukannya lo. "Kakak pertama pulang."jawabnya sambil menunduk, menghindari menatap wajah Ical langsung.

Ical lanjut bertanya."Kakak kamu kuliah di luar kota?"

"Heem...."

"Nanti aku antar kamu pulang."

"Eh nggak usah."Andin mendongak, mengibaskan tangannya panik. "Gu.. Aku bawa motor."

Ical mengulas senyum kecewa. "Harusnya tadi aku jemput biar kamu nggak bawa motor,,"

"Hehe,,, Nggak papa kok."Andin tersenyum menenangkan. "Lebih enak ketemu disini langsung."

Setelah itu hening. Keduanya lebih sibuk menyuap eskrim. Sesekali mereka bertemu pandang dan mengulas senyum malu. Sungguh kencan pertama yang awakward bagi Andin.

"Ngomong-ngomong kamu nggak marah kan sama aku?"tanya Ical pelan.

Andin mengangkat alis, nggak paham. "Soal?"

Ical menggigiti bibir bawahnya gelisah."Soal Ifan..."

"Nggak kok... Cuma..."

Ical melebarkan mata, penasaran. "Cuma..?"

"Rasanya aneh."lanjut Andin lirih.

Ical mengangguk-angguk kecil.

Andin mengangkat bahu. "Aku kira malah kamu yang menghindar gara-gara marah."

"Aku?"Ical menunjuk dirinya sendiri. "Aku nggak hubungin kamu lagi karena takut kamu marah."

Andin tersenyum makin lebar karena sekarang dia mengerti. Selama ini keduanya saling salah paham. Gadis mungil itu menggeleng.

Ical membalas senyum manis gadis itu.

*

Andin menerobos kamar kakaknya. Satya yang sedang sibuk dengan laptopnya hanya melirik sementara Tyo yang duduk di sofa kecil langsung menyambutnya riang. Calon dokter itu menepuk-nepuk sofa sampingnya yang kosong.

Andin, masih dengan tatapan kosong dan wajah bingung mendudukan diri di samping Tyo.

"Diapain sama Ical sih dibawah?"tanya Tyo penasaran.

Andin yang biasanya memasang wajah datar tidak peduli, sekarang menatap Tyo panik. "Dia pengen baca tulisan gue... gimana nih Yo..."

"Apanya yang gimana? Ya kasih aja lah."

Andin memukul lengan tetangganya gemas. "Kan ceritanya soal dia gimana sih?"

"Iya Iya ampun!!"Tyo memegang pergelangan tangan Andin, mencegah dia dipukul lagi. "Ya nggak papa lah... Lagian nih, firasat gue Ical tuh masih suka sama lo."

"Masih?"ulang Andin nggak terima. "Kapan dia pernah suka sama gue?"

Tyo berdecak nggak sabar. "Kan waktu SMA naksir-naksiran. Gimana sih adek lu Bang?"

Satya hanya melirik sekilas, tak berminat menanggapi. Editan videonya lebih penting daripada rengekan Andin.

Andin menggeleng tegas. "Gue doang. Dia nggak suka sama gue."

"Dia ngira lo nggak suka kali makanya mundur."Tyo sok menganalisis.

Gadis itu tersenyum miris."Apaan. Dia tahu gue suka sama dia. Gue juga pernah bilang."Andin yang baru sadar dengan kalimat terakhirnya, refleks menutup mulut. Sial, dia keceplosan. Andin panik melirik Tyo dan kakaknya.

Mata Tyo membulat nggak percaya. "Lo... nembak dia...?"

"Iya.. Eh enggak. Hm... gimana ya?"kata Andin menggaruk kepalanya bingung.

Tyo menguncang-guncang bahu Andin keras, seolah gadis itu baru saja kehilangan kesadaran. "Fokus Ndin FOKUS!!"

Sekuat tenaga Andin menepis tangan Tyo di bahunya. "Intinya gue ngasih tau dia kalau gue suka."Andin menggigit bibir."Itu... namanya nembak ya?"lanjutnya lirih.

Tyo menepuk dahi Andin."Yaiyalah..."desisnya gemas. Dia masih tak habis fikir kenapa Andin bisa sebodoh itu untuk masalah cowok.

Satya mengalihkan fokus dari laptop. "Terus Icalnya jawab apa?"

Andin tersenyum tipis. "Dia nggak jawab."

Tyo mengangkat alis bingung."Kok gitu? Cara nembak lu kali yang salah.

"Eh gue nggak nembak ya."Andin masih juga mengelak.