1 Alice dan Aaron

"Bagaimana? Sudah selesai?"

Seorang staf banquet yang sedang menebar table cloth mengalihkan fokus, melirik sekilas sosok yang mengajaknya bicara.

"Ah, ya, tinggal 2 meja lagi di sebelah sana."

Staf yang mengajak bicara menengok ke arah kiri, sesuai posisi meja.

"Bagianmu?"

"Sudah. Tinggal menunggumu. 3 meja lagi kalau begitu."

"Oke."

Sesosok laki-laki datang, berjalan sambil membuka kancing jasnya. Ia tampak gagah dan berwibawa. Soal wajah, sungguh amat tampan dan nyaris mendapat predikat sebagai manusia berparas sempurna.

"Pak Aaron!"

Aaron, dia adalah presdir salah satu hotel ternama di kota ini. Pun, tidak main-main, karena kelasnya bintang 5 plus berstandar internasional.

Sebagai seorang petinggi bisnis perhotelan, tentu sikapnya sangat ramah. Terbukti, ia mengumbar senyum pada orang yang menyapanya.

"Halo! Selamat sore!"

Staf yang sudah selesai merapikan table cloth segera menunjukkan sikap siap. Ia juga memosisikan diri berada persis di samping temannya.

"Sore, Pak!"

"Bagaimana? Tampaknya belum siap, ya?"

Kedua staf kompak tidak menundukkan pandangan. Mereka justru menatap Aaron dengan tatapan penuh percaya diri, mantap mengungkapkan laporan.

"Benar, Pak. Masih ada 3 table yang belum diset up, tapi saya pastikan semua akan selesai tepat waktu."

Aaron melihat sekitar. Ini kali kedua. Sebelumnya ia sudah melihat saat berjalan di area, ballroom hotel.

"Hmm, bagaimana dengan yang lain? Dekorasi? Makanan?"

"Seperti yang Pak Aaron lihat, dekorasi sudah fix. Decorator itu sudah meninggalkan lokasi sekitar hampir sejam yang lalu."

Staf lainnya mengangguk, mengiyakan.

"Makanan juga siap, Pak. Tinggal eksekusi saja."

"Oke. Nice! Kalau begitu selesaikan sisanya! Aku akan mengecek yang lain dulu."

Kedua staf mengangguk bersamaan. Aaron lantas beranjak dari ruangan super mewah nan estetik.

Kamar president suite, inilah lokasi tujuan Aaron. Kakinya melangkah mantap dengan kecepatan normal. Tatapannya juga fokus.

"Selamat sore, Pak."

Aaron beralih fokus. Termyata orang itu adalah salah satu stafnya. Sebuah senyum lantas dilontarkan.

"Ya. Sore!"

Aaron terus berjalan, menuju lift sekarang. Tombol-tombol yang akan membuatnya sampai di tempat dengan segera ditekan.

22, itu adalah lantai tujuan. Aaron akan mencapainya sendiri, karena tidak ada seorangpun yang ikut menumpang.

"Aduh, perhiasanku! Cepat ambilkan! Di kotak beludru warna biru, ya. Eh, apa-apaan itu?! Jangan melipat bajuku sembarangan!"

Dari jauh, Aaron bisa mendengar suara itu. Tentu, ia bisa menebak siapa pemilik suaranya.

"Alice!"

Aaron melangkah penuh pesona ke dalam kamar. Sosok yang disebut namanya jelas menyambut dengan senyuman hangat. Sungguh, ia merasa terpana.

"Aaron ...."

Aaron menebar senyum yang manisnya melebihi cokelat. Ia juga melempar tatapan penuh cinta.

Segera saja Aaron mendekat pada perempuan cantik, berwajah oriental, dan terlihat jelas amat menjunjung tinggi kesempurnaan.

Tangan Aaron diletakkan di pundak Alice. Ia lalu menatap pantulan diri sendiri dan sang kekasih di depan cermin.

"Cantik!"

"Pasangan sempurna, bukan?"

"Ya."

Seorang staf hotel yang kali ini bertugas khusus membantu Alice bergerak mendekat. Ia membawa kotak perhiasan.

Aaron sigap mengambil alih. Ia membuka kotak beludru biru lalu mengambil isi di dalamnya.

Sebuah kalung berlian dengan desain simple ada di tangan Aaron sekarang. Segera ia memakaikan perhiasan itu di leher jenjang Alice.

"Katakan! Apa berliannya terlalu kecil? Atau ini sudah pas?"

"Sudah, Babe. Jangan terlalu memusingkannya!"

Alice mengubah posisi duduknya beberapa kali. Serius, ia benar-benar menilai diri.

"Sungguh? Apa kamu yakin?"

"Ya. Seperti aku yang yakin akan mendapat kecupan darimu."

"Tapi ...."

Aaron memutar tubuh Alice. Ia membuat sang kekasih berhadapan dengan dirinya.

"Tidak ada alasan! Sudah, cepat berikan!"

Tanpa menunggu tanggapan Alice, segera Aaron beraksi. Ia melakukannya dengan amat mesra, membuat seluruh staf yang ada di kamar cepat-cepat menundukkan pandangan.

Sekitar 3 menit lamanya adegan dewasa antara Aaron dan Alice berlangsung. Setelah itu sang presdir segera menyeka bibir Alice yang basah.

"Poleskan lipstick lagi di bibirnya!"

Aaron mulai melangkah keluar.

"Ah, terima kasih, Aaron."

Tidak ada ucapan apapun yang keluar dari mulut Aaron. Ia hanya tersenyum sambil menunjukkan jempol tangan kanannya.

"Ayo, lanjut lagi! Ambilkan parfum series khusus yang kuletakkan di sana!"

"Baik, Nona."

Ada suara jentikan jari yang terdengar. Staf di luar kamar jelas tahu sekaligus melihat kode dari Aaron itu.

Bergegas seorang staf laki-laki masuk ke kamar. Ia juga segera menjawab rasa penasaran Alice akan kedatangannya.

"Permisi, Nona. Ini ada sesuatu untuk Nona."

Alice melihat lekat-lekat, menerka-nerka isi dalam amplop cokelat. Sekian saat ia baru menerimanya.

"Dari? Aaron?"

Staf laki-laki mengangguk mantap.

"Benar, Nona."

Alice segera mengeluarkan isinya. Terkejut, begitulah ia saat tahu.

"Wow, debit card dari bank lain!"

Alice sumringah bukan main. Lanjut, ia kembali menengok isi di dalam amplop.

Sebuah surat didapatkan. Sekilas terlihat bahwa pesan itu ditulis dengan tangan. Alice lantas menyerahkannya pada si staf.

"Bacakan!"

Staf laki-laki mengangguk, tanda ia siap menjalankan perintah yang sebenarnya bersifat privasi itu.

"Semoga kamu suka. Oh, ya, tutup pintu! Aku tidak ingin ada laki-laki lain yang mencuri kesempatan untuk melihat penampilan sempurnamu malam ini!"

Alice tersipu malu. Ia jadi senyum-senyum sendiri.

"Oke. Singkirkan surat itu dan tutup pintunya juga!"

"Siap, Nona."

Staf laki-laki melaksanakan perintah. Ia memberikan space untuk staf lain yang akan menyelesaikan tugas juga.

"Parfumnya, Nona."

Alice memberikan pandangan heran.

"Eh? Aku belum memakainya?"

"Belum, Nona. Barusan hanya membenahi lipstick."

"Ah, Aaron .... Dia memang sanggup mengalihkan fokusku. Ya sudah, cepat semprotkan!"

Beberapa semprot parfum Alice dapatkan. Sumpah, aromanya yang mahal menguar seisi ruangan.

Alice menatap diri sendiri di depan cermin. Ia tersenyum.

"Oke. Sempurna!"

Pandangan Alice beralih ke kotak tas dan sepatu sekarang. Posisinya masih ada di atas meja rias.

Alice kembali tersenyum. Ia melakukan ini sambil menyentuh 2 kotak yang berasal dari brand berbeda itu.

"Aaron .... Hadiah sebelumnya saja belum terpakai, tapi dia sudah memberikan lagi."

Alice membenahi dressnya. Ia lalu bersiap melangkah keluar.

"Tetap simpan kotak-kotak itu disini! Ingat, jangan memperlakukannya sembarangan!"

"Ya, Nona."

Siapa sangka, kejutan untuk Alice rupanya masih ada. Ya, itu berasal dari setangkai mawar merah yang diterimanya.

"Terima kasih."

Alice mengghirup aroma mawar yang wangi dan fresh.

"Sama-sama, Nona."

"Hmm, ini pasti ulah Aaron lagi."

Alice kembali berjalan. Langkahnya masih jauh dari tujuan.

Tidak lama berjalan normal, Alice kembali dikejutkan dengan kehadiran seorang staf perempuan dari samping kiri. Ia membawa setangkai mawar, warnanya masih merah. Alhasil langkah kaki Alice mendadak pelan.

"Untuk Nona!"

"Hmm, oke. Terima kasih."

Alice langsung membawa mawar, seperti staf yang langsung mengangguk lalu pergi. Benar, ia tidak melakukan hal seperti di awal, menghirup aroma.

Lagi dan lagi, mawar-mawar rupanya terus berdatangan. Alice sampai kewalahan memegang semua. Jumlahnya yang jelas puluhan.

Lama-lama, Alice tidak sanggup juga. Ia memilih untuk menyerahkan pada staf terpilih, meringankan bebannya.

"Letakkan ini di kamar president suite! Itu ... Kamar yang biasa kutempati."

"Baik."

avataravatar
Next chapter