1 1~Memaafkanmu

Dia bagaikan malaikat tanpa sayap yang ada di bumi

Matanya berbinar bercahaya

Senyumnya semanis candu

Tangannya yang selembut sutra

Kelembutan hatinya

yang selalu mendoakanmu dan ketegaran jiwanya berusaha untuk selalu melihatmu.

Ibu....

Siapakah ia?

Dimanakah ia berada?

Kemana aku harus menemuinya?

Semua pertanyaan itu tertuju padanya

Ibu....

***

~Adira Maulida~

Aku lahir 26 tahun yang lalu. Ibu meninggalkan ku saat umurku 1,5 tahun. Ibu memutuskan untuk berpisah dengan ayahku dengan meninggalkanku yang masih balita. Entahlah bagaimana perasaanku saat itu, tak pernah ku ingat. Ia menguap abadi bersama dengan kenangan masa kecilku.

Dan sejak saat itu hingga sekarang aku dirawat oleh ayahku. Aku tumbuh dengan baik, Fisikku sehat, Tak kurang makanan sedikitpun. Ayahku merawatku dengan sangat baik. Tak kurang kasih sayang yang ia berikan padaku. Ia memanjakanku sebagaimana anak kecil yang dimanjakan kedua orang tuanya. Ia memenuhi setiap kebutuhanku. Ia mendidikku seimbang antara dunia dan akhirat. Bisa dikatakan hidupku sempurna.

Namun sesungguhnya jiwaku cacat. Hidupku bagaikan tanpa ruh. Hatiku terluka. Yang hanya bisa kulakukan hanya menangis di sudut kamar setiap kali aku merindukan ibu. Tak ada orang yang tahu. Tak pernah ku ceritakan lara ini pada siapapun. Yang orang lihat, aku tumbuh layaknya anak lainnya. Yang orang tahu, aku selalu tersenyum dan yang orang tahu aku selalu baik-baik saja. Karena apa yang tampak di mataku belum tentu itu yang dirasakan hatiku.

Aku selalu dapat juara di kelas. Berbagai pujian dan rasa bangga berdatangan dari segala penjuru. Tapi aku tak pernah bangga. Untuk siapa nilai-nilaiku ini? Untuk siapa juaraku ini? Jika ibu tak ada di sampingku. Jika ibu tak pernah ada untukku. Semua sia-sia belaka pikirku. Di setiap pengambilan raport adalah hal yang paling membuatku sedih. Kenapa? Karena tak pernah sekalipun raportku diambil oleh ibu.

Disaat anak-anak lain memperlihatkan hasil terbaik ke ibu mereka, disaat ibu mereka datang ke sekolah, kulihat teman-temanku diberi ucapan selamat, diberi pelukan hangat oleh ibu mereka. Ada pula yang dinasihati dan dimarahi. Melihat itu seperti fatamorgana bagiku. Aku iri. Aku juga ingin mendapat ucapan selamat dari ibu, aku ingin merasakan hangatnya pelukan ibu. Aku juga ingin dimarahi ibu jikalau aku mengecewakannya. Tapi tak pernah kudapat semua itu.

Aku ingat betul kejadian saat perpisahan kelulusan SD. Siswa-siswa yang masuk peringkat 6 besar dipanggil untuk naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan beserta orang tua/walinya. Dan aku salah satu yang menerima penghargaan tersebut. Semua siswa dan orang tua/walinya sudah naik ke atas panggung. Kecuali aku yang datang hanya bersama ayahku. Di sana ayahku tersenyum bangga melihatku mendapatkan piala juara 1 ayahku begitu antusias menyemangati ku untuk terus meningkatkan lagi prestasiku, aku bahagia karna disaat pembagian raport dan penghargaan bersama ayahku, walaupun tidak bersama ibu.

Aaahhh. Aku tak tahu bagaimana perasaanku di hari itu. Sungguh aku ingin menangis, namun ku tahan. Aku malu. Aku malu terlihat menyedihkan bagi orang-orang. Aku malu terlihat lemah. Aku tak mau orang-orang kasihan kepadaku. Rasanya menyedihkan dikasihani banyak orang bagiku.

Sejak kejadian itu, aku benci ibu. Aku benci ibu yang tak pernah ada untukku. Tak pernah ada untuk mendengarkan keluh kesahku. Tak pernah ada saat ku sakit. Tak pernah ada di depan pintu menyambutku sepulang sekolah. Tak pernah ada di sisiku menemaniku tidur. Tak pernah ada walau hanya seukir senyuman di wajahnya. Seiring bertambah usiaku, aku terbiasa tanpa ibu.

Aku mencoba menguatkan hati, "Kamu bisa kok, tanpa ibu. Ibu hanyalah status. Buat apa punya ibu jika ia tak pernah ada untukmu. Banyak kok ibu yang single parent kerja tapi ada di samping anaknya, ngurusin anaknya," ujarku angkuh.

Aku selalu berpikir bahwa keputusan ibu meninggalkanku sejak aku balita adalah kesalahan terbesar yang ia perbuat. Aku tak peduli apapun alasannya. Untuk masa depanku lah, untuk aku bisa bertahan hidup lah, untuk aku sekolah, intinya sekali ia memutuskan untuk pergi, ia telah pergi dari kehidupanku.

Di saat aku mulai melupakan masa lalu, di saat hati ini mulai berdamai dengan rasa sakit, ketika romantisnya masa depan berdua denganmu sudah membayang indah dalam benak, ada kabar yang tidak enak kau memutuskan untuk menikah lagi, ibu. Entah dari mana kabar itu?. Dan sungguh untuk kedua kalinya, hati ini terluka. Jauh lebih perih dari sebelumnya. Ia terluka bertubi-tubi.

Namun aku menyadari, bahwa aku juga harus sungguh-sungguh berdamai dengan hatiku. Ia harus sembuh dari lukanya. Ia harus bersih dari noda amarah dan rasa benci yang terus menggerogoti. Dan salah satu caranya ialah dengan memaafkanmu ibu. Dan mungkin memaafkan diriku yang egois, yang tak pernah memahami dan mau tahu perasaanmu.

Karena bagaimanapun hebatnya aku, aku terlahir dari rahimmu. Yang engkau bawa kemanapun sembilan bulan lamanya dengan susah payah. Yang selalu engkau doakan untuk menjadi anak shalihah, yang selalu engkau pikirkan bahkan di saat matamu terpejam. Mungkin aku tak tahu, kau menangis setiap saat di seberang sana merindukanku. Barangkali aku juga tak tahu, bahwa meninggalkanku adalah hal yang sangat kau sesali dalam hidupmu, yang karena itu tak pernah nyenyak tidurmu.

Jika aku merindukanmu sebesar dunia, maka engkau merindukanku sebesar angkasa. Jika aku memikirkanmu berkali-kali, maka engkau memikirkanku berjuta-juta kali...

Ibu, walau jarak memisahkan kita, namun hati selalu menyatukan kita untuk saling merindu berpacu dengan waktu.

avataravatar
Next chapter