5 First Time I Meet You, Who are You?

Sekitar 5 tahun yang lalu.

Sebelum Fuyuki meninggalkan kuil, sore hari itu Madara berbicara pada Fuyuki untuk pertama kalinya.

*Kejadian waktu itu:

Madara sedang bermain dengan teman-temannya di hutan. Lalu dari kejauhan, ia melihat anak kecil perempuan menggambar di tanah dan menangis "Mama ... mama ... mama ...." Gumam anak kecil itu sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.

Madara terdiam melihatnya "Kasihan" pikirnya, kemudian ia menghampiri anak itu.

"Hei Madara, mau kemana kau?" teriak temannya dari kejauhan.

"Maaf, aku ada urusan sebentar. Aku akan segera menyusul" Madara tidak berterus terang, ia lari menuju tempat anak itu dan melambaikan tangan ke teman-temannya.

"Duh bagaimana nih?" tanya Mikaze pada teman-teman yang lain.

"Baiklah kita tunggu, kalau 5 menit lagi dia tidak datang, ayo kita tinggal." Kata Sakata, teman Madara waktu itu.

....

Kemudian 5 menit telah berlalu.

Madara tak kunjung datang.

"Bagaimana ini?" tanya Hikawa pada teman-temannya.

"Ayo kita tinggal." Kata Sakata sambil memimpin jalan di tengah hutan.

****

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Madara yang menghampiri anak kecil itu. Anak itu terdiam melihat Madara di depannya, tiba-tiba menangis keras.

"Oi oi, tenanglah." Madara mencoba menenangkan anak kecil namun tidak berhasil.

Niatnya ingin menolong tapi malah menakutinya. "Ah, maaf, maaf, kakak membuatmu takut." Madara mencoba tersenyum untuk menghiburnya, lalu mengulurkan tangannya.

Anak itu melihatnya dan heran "Ng?"

"Aku Madara, siapa namamu?"

"Ng ...."

"...."

Mungkin anak ini masih syok?

Madara melihat gambaran gadis kecil itu di tanah, perempuan yang memegang bunga mawar. Madara mencoba bertanya padanya "Ini siapa?" sambil menunjuk gambar itu.

"Mama." Jawab cepat gadis kecil itu.

"Mama? Apa kamu mau bertemu mamamu?"

"Ng." Gadis kecil itu mengangguk.

Sepertinya dugaanku benar, anak ini tersesat. Satu-satunya jalan keluar terdekat dari hutan ini adalah lewat selatan.

"Baiklah ayo kita cari mamamu." Madara mengulurkan tangannya sementara menunggu anak itu membalas uluran tangannya.

Dengan sedihnya, gadis kecil itu meraih tangan Madara.

"Kakak temannya mama?" tanya gadis kecil itu menengadah melihat Madara.

"Tidak juga." Madara membalasnya sambil tersenyum tipis.

"Kakak kenal mama?" tanya gadis kecil itu lagi.

Madara menghela nafas dan melanjutkan bicaranya "Maaf, kakak tidak kenal mamamu. Tapi, kakak akan membawamu keluar dari sini."

Mereka berdua berjalan hingga sampai jalan keluar hutan.

Akhirnya mereka berhasil keluar. Tetapi, anak itu terdiam dengan ekspresi sedatar papan.

"Nah, dari sini mungkin kamu hafal di mana rumahmu? Dengan begitu kamu bisa bertemu mamamu."

"Rumahku bukan di sini. Mungkin papa yang akan datang." Gadis itu terus menggenggam tangan Madara hingga papanya datang.

"Papa? Bukannya mama?"

"Tadi mama meninggalkanku, dia bilang ingin mencari kakak."

"Kakak? Kakakmu maksudnya?"

"Kata mama kakak ada di sekitar sini. Tapi mama, akan membunuh kakak."

"Jadi-?"

"Aku harus bertemu mama untuk menghentikannya. Aku tidak ingin kakak terbunuh. Kakak adalah orang sangat baik." Gadis itu mengatakannya tanpa berekspresi sama sekali, artinya perkataannya serius.

Tiba-tiba mobil muncul dari kejauhan dan menuju tempat mereka berdua. "Clara, masuklah!" kata pemuda di dalam mobil itu sambil membuka pintu depan mobil yang kemungkinan besar adalah papanya.

"Tidak mau! Tidak Mau! Aku ingin bersama kakak."

"Baiklah nanti kita temui kakak."

"Kakak akan mati!"

"Clara, bicara apa kau? Ayo cepat masuk!"

Tiba-tiba keluar dua pemuda dari pintu samping belakang mobil kemudian menyeretnya masuk ke mobil. Setelah memastikan gadis kecil itu sudah masuk ke dalam mobil, pintu mobil ditutup kemudian dikunci rapat.

Seketika mobil itu meninggalkan Madara.

Tanpa ada rasa terima kasih, Madara yang merasa sudah menolong anak itu akan kembali ke tempat teman-temannya bermain di hutan karena ia sudah berjanji untuk menyusulnya.

Sementara beberapa menit yang lalu ....

Madara dianggap orang yang paling terpenting saat mereka bermain, tetapi yang diharapkan malah tidak ada, "Hm ... tidak ada Madara tidak asyik, membosankan." Kata Akihito dengan wajahnya yang bersungut dan menjadi tidak bersemangat saat mengatakannya.

"Tenanglah Akkun, mungkin sebentar lagi Madara datang." Sanae yang sedari tadi mengkhawatirkan Madara dan mencoba memberi semangat pada Akihito.

"Sudahlah, aku lelah menunggu. Akhir-akhir ini Madara sering keluar tiba-tiba tanpa alasan jelas. Cukup, aku mau pulang." Sakata mengatakan dengan sinisnya dan berjalan menuju jalan pulang ke rumahnya.

"Kalau begitu aku juga pulang." Hikawa mengikuti Sakata pulang karena jalan ke rumah mereka searah.

"Sebaiknya kita cari orang lain saja besok selain Madara." Kata Hikawa pada Sakata sambil berjalan.

"Ok. Siap." Sakata mengacungkan jempolnya.

Pembicaraan Hikawa dan Sakata di kejauhan terdengar oleh Mikaze, lalu mikaze memutuskan untuk pulang juga dan melambaikan tangan pada yang tersisa, Akihito dan Sanae.

"Sanae kau masih mau menunggunya?"

"Eh ...."

"Aku akan pulang."

Karena Sanae tak mau ditinggalkan, akhirnya Sanae pulang dengan Akihito.

Beberapa menit kemudian ....

Madara datang, tetapi tidak ada siapapun di tempat itu. Ia memastikan kalau semua teman-temannya pasti pulang karena kelamaan menunggu Madara. Kemudian ia memastikan untuk mengeceknya dengan mengunjungi rumah teman-temannya satu per satu dan meminta maaf karena terlalu lama. Tetapi, bukannya permintaan maaf Madara diterima malah perlakuan sinis dengan tatapan dingin seolah-olah mereka membenci Madara dan mereka tidak ingin berteman dengannya lagi.

Madara begitu terpukul. Tiba-tiba air matanya keluar dan menetes ke pipinya. Ia menjadi linglung di jalan dan tertunduk sedih ketika memikirkannya. "Teman itu apa?" gumamnya.

"Andaikan aku orang yang jahat, mungkin aku sudah menghajar mereka ...." Madara mengepalkan tangan kesal sambil air matanya yang bercucuran ke jalan. Tanpa sadar Madara yang berjalan di trotoar menyebrangi jalan sementara ada sebuah truk yang akan menabraknya.

"Andaikan aku jadi lebih kuat ...," gumamnya dan terus menggumamnya tanpa melihat situasi sekitar.

Truk itu semakin dekat dan akan segera menabraknya!

Lalu, tiba-tiba seorang anak laki-laki berambut putih datang secepat kilat menyentuh Madara dan membawanya ke pinggir jalan. "Untung saja, kalau aku terlambat beberapa detik mungkin nyawamu pasti melayang."

Madara diam dan terbelalak memandangi anak itu, dilihatnya ... "Dia adalah anak yang diasuh kakek di kuil!" pikirnya. (Ya, dia adalah Fuyuki Matsuda, yang waktu itu menolong Madara. Fuyuki dan Madara tidak saling kenal bahkan tidak tahu namanya. Madara sering melihat kakek melatih mereka bertiga yaitu Fuyuki, Hiyori dan Mawaru dari kejauhan).

Madara memandanginya dengan serius tanpa berkedip sedetik pun.

Fuyuki yang memandangi Madara segera bertanya, "Apa kau baik-baik saja?" Madara masih memandangnya dengan serius sementara Fuyuki memalingkan wajahnya dari pandangan Madara "Anu ... apa ada yang salah denganku?"

Madara tercengang, ia berkedip dan kemudian tersadar, "Eh-em-enggak!"

"Syukurlah kau baik-baik saja." Fuyuki menepuk kepala Madara dan mengelusnya (waktu itu Fuyuki lebih tinggi dari Madara) "Dah!" Fuyuki mengucapkan selamat tinggal singkat dan meninggalkannya.

"Terima Kasih." Madara mengucapkannya pada Fuyuki, kemudian menunduk sedih.

Fuyuki menjadi tak tega melihat Madara terdiam di pinggir jalan dan meneteskan air mata. Fuyuki berbalik menuju Madara kemudian menggenggam tangannya dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Fuyuki mencoba menenangkannya dengan meminta Madara menceritakan masalahnya (siapa tahu punya solusi untuk menyelesaikannya).

Akhirnya Madara bersedia menceritakannya.

"Laki-laki tidak boleh gampang menangis (Fuyuki mengeluarkan tisu sambil mengusap air mata Madara dengan tisu tersebut). Kamu itu orang yang baik karena sudah menolong orang lain." Kata Fuyuki sambil memotivasinya.

"Tidak, aku tidak baik. Aku telah jahat meninggalkan temanku." Madara malah menangis terseduh-seduh.

"Hmm ... pada akhirnya temanmu meninggalkanmu juga, kan? Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan tidak peduli pada dirimu. Mereka hanya membutuhkan dirimu tanpa mengerti perasaanmu. Lalu mereka berbuat jahat padamu, iya, kan?"

"Um." Madara hanya mengangguk.

"...."

"Jangan putus asa. Di dunia ini masih banyak orang yang mau menerimamu dan kamu dapat berteman dengan siapapun, apa adanya. Suatu saat pasti ada teman sejati yang membuat dirimu dan hatimu menjadi lebih kuat." Kata-kata yang saat itu di ucapkan Fuyuki mulai membangkitkan diri Madara kembali.

"Apa aku bisa berteman lagi?" Madara melihat Fuyuki dengan ekspresi penuh harapan.

"Tentu saja bisa. Carilah teman sebanyak-banyaknya, tidak banyak juga tak masalah yang penting temanmu bisa menjadi kekuatanmu dan ikatan kalian menjadi kuat bersama-sama." Madara yang saat ini menjadi gangster karena kata-kata yang diucapkan Fuyuki waktu itu.

"Apa kakak punya teman yang seperti itu?" (selain lebih tinggi dari Madara, Fuyuki juga satu tahun lebih tua dari Madara, Hiyori dan Mawaru)

"Ya. Aku punya." Fuyuki menatap langit sambil tersenyum tipis.

"Eh ..., seperti apa?" Madara penasaran.

"Dulu, aku pergi dari rumah karena aku sering diperlakukan buruk oleh keluargaku. Kupikir mungkin di luar sana akan banyak orang yang memperlakukanku lebih buruk dari itu. Lalu aku bertemu Hiyori dan Mawaru, mereka nasibnya sama denganku. Mereka menerimaku dengan baik hingga suatu hari ada sang kakek di jalanan menolong kami bertiga. Kakek itu membawa kami ke kuil dekat rumahnya, beliau merawat kami bertiga dengan baik, mengajarkan kami berbagai hal dan melatih kami hingga mandiri. Kukira tidak ada satu pun orang yang peduli padaku, ternyata ada. Selama kita berusaha mencarinya, pasti akan menemukannya."

"Wah kakak luar biasa."

"Aku?" 'hahaha ...' Fuyuki tertawa kecil, "Aku ini orangnya biasa saja. Aku hanya orang lemah, Hiyori dan Mawaru yang memberiku kekuatan. Kakek juga sering memberiku saran saat hatiku goyah. Selama ada orang yang peduli ada di dekatmu orang itu adalah teman sejatimu. Teman yang baik tidak akan meninggalkan temannya, dan teman yang baik akan menerima apa adanya dirimu."

"Teman ya ...." sesaat mata Madara berkaca-kaca dan terus memikirkan arti kata itu.

"...."

"Kakak ...."

"Ya?"

"Maukah kakak menjadi temanku?"

"Hm ...."

"Tidak mau, ya?"

"Boleh saja kok."

Seketika wajah Madara memunculkan senyum lebar "Kak, berjanjilah!" Madara mengacungkan jari kelingkingnya, "Aku juga berjanji sebagai teman, aku tidak akan meninggalkan kakak kemudian kita akan menjadi kuat bersama-sama."

Kemudian Fuyuki membalas janjinya dengan mengaikatan jari kelingkingnya ke jari kelingking Madara "Ya, aku janji. Aku juga tidak akan meninggalkanmu." Fuyuki tersenyum lembut.

"Syukurlah ...." Madara merasa senang karena Fuyuki adalah teman satu-satunya baginya saat ini.

"Kamu sebagai laki-laki tidak boleh cengeng!"

"Baik." Jawab Madara siap dengan penuh semangat.

Dalam hati Fuyuki merasa lega, "Syukurlah dia tersenyum kembali" layaknya seperti mendapat sebuah hidayah.

"Hari sudah mulai petang, sebaiknya kamu pulang!"

"Oh, iya, benar! Kakek pasti menungguku!" Madara langsung murung, dalam pikirannya mungkin kakek akan memarahinya karena pulang menjelang malam.

"Hati-hati di jalan, ya ...!" Fuyuki melambaikan tangan pada Madara, tanda perpisahan.

"Tunggu, kakak sendiri bagaimana? Kakak tinggal di mana? Bukannya sudah kabur dari rumah?" Tanya Madara dengan sedikit khawatir pada Fuyuki.

"Hmm ... tinggal di mana pun itu boleh. Selama ada orang yang mengharapkanmu untuk kembali itu adalah rumahmu. Ya, menurutku begitu."

Sejak saat itu Madara menjadikan Fuyuki panutannya.

"Dah!" Fuyuki melambaikan tangan untuk kedua kalinya dan dengan langkah kaki yang meninggalkan Madara.

"Kapan-kapan ayo bertemu lagi." Teriak Madara dengan melambaikan tangannya kepada Fuyuki.

Ternyata benar, dia kakak yang ada di kuil dekat rumah bersama kakek.

"Eh, aku lupa menanyakan namanya ...!?"

Siapa dia ...?

avataravatar
Next chapter