webnovel

Bab 2. Run

Sudah beberapa hari semenjak kejadian penghianatan itu, dan selama itu pula Putri mengurung dirinya di dalam kamar.

Ia hanya perlu beralasan datang bulan, dan Reyhan tidak bisa melakukan apa pun untuk memaksanya keluar dari kamar.

Gadis itu masih memerlukan waktu untuk berpikir, tapi luka itu tidak memberinya waktu yang cukup untuk melakukannya. Hanya ada amarah, rasa kecewa, dan kesedihan yang teramat di dalam hati gadis itu.

Tok tok tok!

"Kaaak, Kak Putri boleh pinjem handphone-nya bentaran nggak?"

Terdengar suara Via dari depan pintu kamar Putri. Ini adalah weekend, dan seperti biasa, penghuni termuda di share house itu, pulang ke rumahnya.

Putri pikir, gadis itu sudah meninggalkan share house.

"Masuk, Vi!" seru Putri pelan.

Pintu terbuka, dan muncul gadis pendek nan imut dari balik pintu sambil tersenyum lebar.

"Astaga, Kak Put matanya kenapa? Kebanyakan nangis, ya?" pekiknya begitu duduk di karpet, bersebelahan dengan Putri.

"Ya gitu, deh! Kamu mau pinjem handphone? Emang punya kamu, ke mana?" sahut Putri pelan.

"Kemaren maen sama Kevin di deket kolam, eh tanganku disenggol Bang Bayu, nyemplung deh ke air."

Putri tersenyum tipis mendengar cerita Via. Ia lalu menarik handphone-nya dari bawah bantal, dan memberikannya pada Via.

"Makasih, Kak. Aku mau minta jemput aja, soalnya duitku udah habis buat jajan, enggak tersisa sedikit pun buat ongkos pulang." curhat Via.

"Kalau mau, pakai aja dulu uang kakak, ngapain pusing-pusing, sih?"

Viw tersenyum lebar, ia lalu menggeleng cepat.

"Enggak deh, punya hutang tuh rasanya nggak enak! Lagian, kebetulan abangku ada di Jakarta, jadi sekalian aja kusuruh jemput!"

Putri pun hanya mengangguk mengerti.

"Kakak kenapa nangis?"

Sejujurnya, itu adalah pertanyaan yang paling Putri hindari saat ini. Mereka tidak mengetahui apa pun mengenai hubungannya dengan Reyhan. Jadi, sangat sulit untuk menceritakannya kepada mereka.

"Lagi patah hati, ya? Enggak bisa dibiarin nih! Perempuan secantik Kakak itu, nggak seharusnya bersedih karena masalah seorang pria! Gini aja, Kakak mau ikut aku ke rumah nggak? Rumahku lagi sepi karena mama sama papa pergi ke Hongkong. Kakak bisa nenangin diri di sana, nyari suasana baru! Ditambah lagi, para pria di sana itu tampan nan rupawan semua, Kak! Mana tahu ada yang bisa obatin patah hatinya Kakak!"

Putri terdiam, mencoba memikirkan tawaran juniornya itu. Persetan dengan para pria tampan yang Via sebutkan tadi, ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari Reyhan dan Lusi untuk sementara waktu.

Gadis itu butuh ruang, dan waktu untuk menenangkan diri.

"Kalau boleh, kakak mau banget Vi ikut kamu pulang! Bandung, 'kan?"

Via tersenyum lebar sambil mengangguk cepat.

"Kalau gitu, Kakak siap-siap gih! Aku udah chat abangku, dan katanya lima belas menit lagi, sampai! Aku tunggu di kamar ya, Kak. Kamarku belum kuberesin."

Putri pun mengangguk pelan, dan segera bersiap begitu Via keluar dari kamarnya.

Tidak banyak yang ia bawa, hanya beberapa potong baju hangat, dompet, dan handphone. Ia mengemasnya rapi pada tas punggung berukuran sedang miliknya saat masih kuliah dulu. Tas itu adalah hadiah ulang tahun dari Reyhan.

Putri masih mengingatnya, betapa bahagianya ia saat menerima tas itu dulu.

Gadis itu menghirup udara sebanyak yang ia bisa untuk mengisi paru-parunya. Setelah merasa sedikit tenang, ia pun membawa tas tersebut dan keluar dari kamar.

Putri melangkah pelan melewati kamar Reyhan, dan bergerak cepat untuk menuruni tangga. Sempat ia lihat, Reyhan yang sedang mengobrol dengan santainya dengan Lusi di dekat kolam.

Lalu, rasa sakit itu datang lagi. Seolah menabur garam pada luka yang belum mengering, atau entahlah, Putri rasa, lebih menyakitkan dari itu.

Gadis itu berjalan cepat menuju kamar Via.

"Kakak udah pamitan sama Kak Reyhan?" tanya Via begitu ia keluar dari kamarnya.

"Kenapa harus pamitan sama dia?" sahut Putri pelan.

Via menggeleng pelan, lalu mengedikkan bahunya.

"Selama ini, Kak Rey selalu menjaga Kakak, jadi siapa tahu aja dia akan khawatir kalau Kakak enggak pamitan!"

Putri tersenyum miris mendengar ucapan Via.

Ia mulai bertanya-tanya. Selama ini,  saat Reyhan menjaganya, pria itu menganggapnya sebagai apa? Tunangan, sahabat, teman, atau apa? Apa Putri baginya?

"Tenang, selama dia sama Lusi, dia nggak akan peduli sama kakak!" sahut Putri asal.

Putri berjalan mendahului Via untuk keluar dari rumah, ia terlihat cukup bingung dengan apa yang ia katakan barusan.

Ya, ini memang sangat membingungkan. Saat Reyhan selalu menjaganya, dan memperhatikannya, pria itu berani menyentuh perempuan lain. Apa yang sebenarnya pria itu pikirkan? Perasaan apa yang ia miliki pada Putri?

"Itu abangku, Kak! Yuk!" Via menarik pelan lengan Putri untuk mendekat ke arah sebuah mobil berwarna hitam yang baru saja berhenti di depan gerbang.

Seorang pria yang sepertinya seumuran dengannya, keluar dari mobil dan menghampiri mereka.

"Kak Put, kenalin, ini abang aku!" Via menoleh ke arah Putri, lalu beralih menatap abangnya.

"Bang, kenalin. Ini Kak Putri, yang biasa aku ceritain sama Abang!"

Pria itu tersenyum begitu hangat saat Via menyebutkan nama Putri.

"Oh, hai. Salam kenal, Via udah banyak cerita tentang lo. Makasih udah sering masakin makanan buat ini bocah, kalau enggak, dia pasti makan mie instan mulu!" sapa pria itu dengan ramahnya.

"Sama-sama. Masak emang hobi aku, jadi enggak perlu sungkan." sahut Putri ala kadarnya.

***

Setelah sampai di rumah Via, abang Via mengantar Putri ke kamar tamu. Via sendiri langsung masuk ke kamarnya, karena mabuk perjalanan.

"Ini kamar lo, feel free to stay! Anggep rumah sendiri. Lo juga enggak perlu khawatirin Via, dia biasa mabuk perjalanan gitu kalau liat kemacetan yang parah kek tadi!"

"Iya, makasih!"

"Oh iya, nama gue Alif!"

"Aku Putri."

"Kalau gitu, gue ke bawah dulu, kalau lo butuh sesuatu, jangan sungkan!"

Putri mengangguk mengiyakan ucapan Alif, hingga akhirnya pria itu pergi meninggalkannya sendiri.

Setelah masuk ke kamar, dan meletakkan tasnya di kasur, Putri pun menuju balkon, lalu melihat pemandangan kota Bandung yang cukup memanjakan mata.

Udaranya cukup sejuk, membuat perasaan gadis itu yang semula kacau, perlahan membaik.

Baiklah, apa yang harus ia lakukan sekarang?

Sampai kapan ia harus diam dan berpura-pura tidak terjadi apa pun?

Jantung Putri mencelos kaget saat suara dering handphone-nya terdengar begitu keras dari dalam saku celana jeans-nya.

Saat ia menarik benda persegi panjang itu keluar dari sana, buru-buru ia memasukkannya lagi saat melihat nama Reyhan tertera di layar.

Ia terus mengabaikan panggilan masuk dari pria itu.

Putri tidak memiliki cukup kekuatan untuk berbicara dengannya saat ini. Jadi ia pikir, menghindar adalah jalan terbaik.

Setidaknya sampai ia membuat sebuah keputusan mengenai hubungan mereka.

Tok tok tok!

Putri menoleh ke arah pintu, dan buru-buru membukanya.

Alif berdiri di depan pintu sambil tersenyum tipis ke arahnya.

"Ada apa?" tanya gadis itu bingung.

"Enggak ada makanan di sini, gue mau keluar beli makanan, lo mau ikut?" sahut Alif dengan santainya.

"Beli makanan apa?"

"Mungkin ayam goreng, nasi goreng, apa ajalah!"

Putri mengangguk pelan. Mungkin keluar untuk melihat-lihat, bisa memperbaiki mood-nya yang sungguh sangat berantakan sekarang.