webnovel

New Job

Begitu membuka matanya, Brie langsung melihat plafon sebuah ruangan. Punggungnya juga merasakan sesuatu yang empuk. Saat memeriksa keadaannya sendiri, ia mendapati tubuhnya dibalut pakaian rumah sakit berwarna biru muda, sementara tangan kirinya sudah dipasangi jarum infus.

“Ugh…,” rintih Brie saat berusaha bangkit dari kasur. Nyeri di perut dan tengkuknya masih tertinggal dan itu cukup menusuk. Tak punya pilihan lain, ia kembali berbaring, berusaha merangkai kejadian terakhir yang diingatnya.

Ternyata yang berkekuatan aneh tak hanya dirinya. Kendati membunuh banyak orang, Sekar masih punya akal sewaktu menggunakan kekuatan itu. Lain halnya dengan Gisel. Sama seperti Brie saat kekuatan anehnya pertamakali bangkit, sang pengantin wanita juga mengamuk membabi-buta.

Semua itu mengganggu pikirannya, tapi ada satu pertanyaan yang lebih mengganjal di kepalanya: mengapa waktu itu Sekar tak menghabisi nyawanya?

Saat Brie berusaha merilekskan pikirannya yang kusut, seorang pemuda berpotongan rambut undercut rapi memasuki ruangan. Dari mata sipit dan kulit putihnya, Brie langsung mengenali pemuda itu.

“Udah sadar?” tanya pemuda itu dengan mata nanar dan suara serak. Ia berjalan pincang mendekati Brie.

“Revan, ya?” Brie menautkan alis saat mendapati ransel dan koper dorong yang dibawa pemuda itu. “Apa itu barang-barangku?”

“Iya, baru aku ambil dari kamar hotelnya Mbak,” jawab Revan, menaruh barang-barang itu di samping dipan rumah sakit. “Terus, masalah biaya rumah sakit jangan dipikirin, aku udah urus semuanya.”

“Oh… Well, thanks.” Brie meningkatkan kewaspadaannya. Biasanya, orang yang memperlakukannya dengan baik punya agenda tersembunyi. “Tapi, kenapa kamu menolongku?”

Revan duduk di kursi terdekat dan mengusap mukanya. Ia memandang ke arah lain untuk sejenak, baru kemudian bertanya, “Nama Mbak itu Brie, kan?”

“Kamu bisa memanggilku dengan Brie saja, tidak usah pakai Mbak,” jawab Brie, merasa kurang nyaman dengan sebutan untuk perempuan itu.

“Oke, Brie.” Revan menggaruk-garuk rambutnya gusar. “Errr… Aku bingung mulai dari mana.”

“Oke, pelan-pelan saja.”

Revan bangkit dan mendekati jendela lantas membuka tirai agar cahaya mentari masuk.

“Sebenarnya apa yang terjadi di resepsi pernikahanku kemarin?” tanyanya.

Brie sedikit menyipitkan matanya untuk menghalau cahaya matahari. “Aku tidak tahu.”

“Benarkah?” timpal Revan, berbalik dengan ekspresi yang mengeras. “Jelas-jelas kamu punya kekuatan seperti istriku dan cewek itu. Aku yakin kamu punya sesuatu. Kamu menyembunyikan informasi penting, kan?”

Brie langsung menahan kekesalannya yang mulai menggelegak. “Yah, informasi yang aku punya adalah kalau luka-luka di tubuhku ini masih belum sembuh benar. Seharusnya aku beristirahat.”

Revan kembali duduk di kursi lalu menghela napas panjang. “Maaf, istriku baru saja dibunuh dan mayatnya dibawa cewek itu. Polisi memang sedang melakukan pemeriksaan, tapi dari kemarin mereka belum ngasih update apa-apa.”

Isi perut Brie seperti dibetot keluar. Revan tidak tahu dirinyalah yang membunuh Gisel. Untuk sekarang, Brie berencana membiarkannya tetap seperti itu. Tak ada gunanya memberitahu. Bisa-bisa ia dilaporkan.

“Kamu beneran tidak punya informasi apa-apa?” desak Revan.

“Tidak.” Brie tersenyum penuh arti. Menduga akan terus ditekan untuk menjawab, ia memutuskan untuk memberi sedikit informasi, walau tidak sepenuhnya akurat. “Yah… Paling aku cuma bisa memberitahu mengenai kekuatanku yang bangkit waktu aku terperangkap di dalam perang antar gangster di US. Tujuanku ke sini itu untuk mencari jawaban. Waktu masih bayi, aku diambil dari Indonesia. Orangtuaku sebelumnya ikut semacam perkumpulan atau apalah itu.”

“Oh, oke.”

Cuma oke? Aku sudah bilang panjang lebar dan dia cuma bilang oke? Dia niat cari informasi tidak, sih?

Brie berusaha menekan gerutuannya itu agar tak terlontar. Cuma buang-buang energi kalau dirinya sampai memicu pertengkaran tak perlu, dengan orang asing pula.

“Sebenarnya aku punya info mengenai perkumpulan itu.” Revan mengeluarkan ponsel dari saku celana, mengotak-ngatiknya sebentar lantas menunjukkan layarnya kepada Brie. “Ini daftar anak-anak seperti Gisel. Mereka diangkat oleh orangtua yang dulu mengikuti perkumpulan nyai Pratista.”

“Kamu dapat ini dari mana?” Brie mengamati daftar nama itu. Hanya ada empat, tak ada nama Brie, Gisel, atau Sekar di sana.

“Dari ibunya Gisel waktu aku tanya-tanya ke beliau. Aku disuruh periksa ruang kerja ayah Gisel dan aku nemuin semacam daftar di sana. Aku salin daftar itu sebelum diambil polisi,” jawab Revan cepat.

Suasana sedang berkabung, tapi Revan malah menanyakan hal seperti itu kepada mertuanya. Menurut Brie, itu adalah determinasi yang terlalu berlebihan

“Lalu, kamu akan melakukan apa dengan daftar itu? Apa boleh aku menyalinnya?” tanya Brie, belum bisa percaya sepenuhnya.

Revan buru-buru mengembalikan ponsel itu ke sakunya. Seketika saja Brie tersenyum tipis. Sesuai dugaannya tadi, Revan menolongnya bukan karena cuma-cuma. Sangat mudah untuk merebut ponsel itu kembali. Tapi sekali lagi, sebisa mungkin ia harus menghindari hal yang tidak perlu.

“Aku punya permintaan buat kamu… Kata ibu Gisel, sebelum anaknya dibunuh, ada juga kasus pembunuhan yang mirip. Pelakunya juga cewek itu.”

“Oh, oke.” Brie menirukan tanggapan pendek Revan tadi, bahkan sampai ke intonasinya.

“Aku ingin menemui anak-anak di daftar ini buat menanyai orangtua mereka. Tapi, risikonya aku bakal ketemu cewek itu lagi. Kayaknya dia lagi ngejar orang-orang yang kekuatannya hampir sama kayak dia. Makanya, aku butuh bodyguard.”

Brie terkekeh pelan. “Great! Baru kali ini aku dapat tawaran pekerjaan di rumah sakit.”

Tak menanggapi candaan itu, Revan melanjutkan ucapannya, “Sebelum resepsi, ayah Gisel cerita ke aku. Walaupun kamu cewek, kamu itu bodyguard yang hebat. Kemarin buktinya. Kalau kamu nggak berhenti gara-gara aku, kamu pasti punya kesempatan menang. Kemampuan kalian seimbang.”

“Kalau kamu tidak merasa inferior dilindungi perempuan. Tak masalah kalau aku jadi bodyguard. Aku sudah punya pengalaman cukup, sekitar dua jam di pesta pernikahanmu itu,” balas Brie, menahan tawa.

“Aku akan melakukan apa pun buat nyari jawaban. Terus, paling enggak aku bisa nemuin jenazah istriku biar bisa dimakamkan dengan layak,” timpal Revan dengan berapi-api. “Aku berani bayar berapa pun.”

“Sebelum bicara masalah pembayaran, ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui,” kata Brie, memosisikan dirinya untuk duduk, sedikit merasa senang dirinya masih punya prospek mendapatkan uang. “Apa polisi sudah memeriksamu? Apa mereka bertanya tentang pertarungan di gedung itu?”

“Belum secara detail. Aku belum sempat bilang kalau kamu berkelahi sama cewek itu,” jawab Revan.

“Apa di gedung itu ada saksi lain yang melihat aku bertarung dengan Sekar?”

“Seingatku sih nggak, tapi nggak tahu juga…”

“Apa di gedung itu ada CCTV?”

“Katanya dirusak sebelum kejadian itu. Mungkin sama cewek itu juga.”

Brie manggut-manggut. Ia belum mendapat halangan berarti. Meski begitu, ia tetap harus waspada. “Kalau nanti kamu diperiksa lagi, bilang saja kalau aku pingsan saat Gisel dan Sekar bertarung, supaya polisi tidak mencurigaiku.”

Atau alasan sebenarnya, Brie tidak mau polisi tahu dirinya membunuh Gisel.

“Mencurigai apa?” tanya Revan penuh selidik.

Brie langsung berakting santai. “Mencurigai kalau aku yang membunuh Gisel.”

“Memang siapa yang membunuhnya?”

“Siapa lagi?”

Revan mendengus dengan wajah tegang. “Cewek itu.”

Kena. Untuk sekarang, Brie merasa Revan masih bisa diajak bekerja sama.

“Lalu, satu lagi. Lebih baik kita datangi rumah anak-anak itu secara acak. Kita harus menghindari Sekar. Biasanya orang akan mendatangi tempat yang paling dekat dulu…”

“Nggak, kita juga bakal ngedatengin yang paling dekat dulu, sesuai daftar ini,” sela Revan buru-buru.

Brie mengernyitkan dahi. “Excuse me?”

“Kalau sesuai perkataanmu, kemungkinan Sekar juga akan datang ke tempat yang paling dekat dulu. Makanya kita harus datang lebih awal sebelum dia ngebunuh orang-orang yang ada di sana,” lanjut Revan.

Klien yang sok pahlawan. Baru kali ini Brie menemuinya. Biasanya, kalau tidak anggota kriminal berdasi, kliennya itu politikus korup, atau orang kaya yang sekedar ingin membalas dendam. Tentu saja tak ada yang memintanya untuk menolong orang.

“Oke.” Brie memang mengiyakan, tapi pikirannya sudah mulai menyusun rencana untuk menyalin daftar alamat itu. Tak masalah uangnya melayang, yang penting ia tidak perlu membuntuti klien bodoh ini.

“Oke, kita berangkat kalau kamu udah baikan.” Revan berdiri dari duduknya. “Aku pergi dulu, besok aku ke sini lagi.”

“Satu pertanyaan lagi,” cegah Brie sebelum Revan membuka pintu. Ia memalingkan muka ke jendela, baru kemudian bertanya, “Apa kamu berniat balas dendam ke orang yang membunuh istrimu?”

Revan menimang-nimang sejenak. “Errr… Aku nggak bisa jawab pertanyaan itu… Aku pergi dulu.”

Begitu pintu kamar ditutup dari luar, Brie menghela napas. Gisel sudah jelas-jelas dihabisi, tapi Revan tak menunjukkan tanda-tanda ingin membunuh si pelaku. Ya, berbeda sekali dengan Brie yang bisa dengan mudah menarik pelatuk, mencekik, menyayat leher, dan melakukan hal-hal sadis lainnya.

Tapi itu dulu. Sekarang? Brie sendiri mulai tak yakin dirinya sanggup melanjutkan pekerjaan yang digelutinya sejak kecil tersebut.