webnovel

Gold

Tak memedulikan Oscar yang masih meregang nyawa, Brie segera mengunci pintu kamar lantas mengeluarkan seragam pengganti yang ia sembunyikan di lemari, tepatnya di bawah kemeja-kemeja Oscar. Setelah itu, ia menanggalkan busana, bercermin, dan menghapus bercak-bercak darah yang tertinggal di kulitnya dengan tisu.

Seperti biasanya, ia melakukan semua itu dengan tenang dan tanpa banyak buang waktu.

Tiba-tiba, ia mematung. Pemandangan di matanya berubah total. Ia melihat adegan aneh, mirip dengan sebuah refleksi kenangan, tapi ia sendiri merasa tak pernah mengalaminya. Seakan-akan di hadapannya ada seorang wanita paruh baya yang tersenyum bangga kepadanya. Brie langsung mengenali wanita itu sebagai ibu Oscar.

“Aku akan membahagiakanmu, Mama.”

Itu bukan suara Brie. Itu suara Oscar yang menggema di telinga Brie. Suara itu seolah mengalirkan sesuatu yang hangat di dada Brie.

“Kalau saja papamu itu tidak memberi kehidupan seperti ini.”

Sekarang yang berbicara adalah ibu Oscar. Nada suaranya begitu sendu.

Pemandangan berganti, sekarang yang bisa Brie lihat hanya kegelapan. Kehangatan di dadanya telah lenyap, digantikan oleh sesuatu yang dingin dan pekat.

Mama, tolong aku, Ma! Aku tidak mau mati seperti ini!

Ketakutan, penyelasan, dan rasa tak berguna, tanpa alasan yang jelas Brie bisa tahu kalau Oscar baru saja merasakannya.

Namun, rasa-rasa itu segera menghilang, tergantikan oleh satu perasaan lain: pasrah.

Ah, maafkan aku yang belum sempat membahagiakanmu, Mama.

Pemandangan di mata Brie kembali berganti. Kali ini ia melihat bayangannya sendiri di cermin, hanya memakai bra dan celana dalam. Bayangan itu balik menatapnya dengan air mata yang mengalir di pipi.

Kendati matanya memang terasa panas dan berkabut, Brie masih belum bisa percaya. Ia menempelkan ujung jarinya ke pipi. Terasa basah dan hangat. Itu benar-benar aliran air matanya.

Dengan tubuh gemetar, Brie menoleh ke arah Oscar yang jelas-jelas sudah tak bergerak.

Apakah dirinya benar-benar baru saja merasakan isi hati Oscar? Tentu saja Brie tak bisa memercayainya. Namun, perasaan yang hinggap di dadanya tadi terasa begitu nyata, seolah hatinya tersambung dengan hati Oscar.

“Oscar!!! Oscar!!! Apa kau masih ada di dalam!? Ada telepon dari papamu!!!”

Mendengar raungan Jorge yang diikuti gedoran-gedoran dari pintu kamar, Brie berjengit hebat. Jelas sekali kalau paman Oscar itu sudah mengetuk sedari tadi, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Ini berarti Brie sudah sangat banyak membuang waktu.

Brakkk!!!

Brie baru saja akan memikirkan rencana saat pintu itu menjeblak terbuka. Jorge dan seorang anak buah pun masuk. Sang paman langsung membeku saat melihat mayat keponakannya, sementara si anak buah segera meraih pistolnya yang ada di saku belakang.

Brie langsung berlari maju, menangkap tangan si anak buah yang sudah menodongkan pistol ke arahnya. Sembari menarik tangan itu kuat-kuat, Brie menghantam hidung si anak buah dengan siku tangannya.

Si anak buah hilang keseimbangan dan jatuh. Brie segera merebut pistol lalu mengalungkan lengannya ke leher Jorge.

Dor!

Tanpa pikir panjang, Brie menarik pelatuk pistol itu. Kepala si anak buah pun langsung berlubang karena peluru.

Brie segera menempelkan ujung pistol itu ke pelipis Jorge. “Sekarang…”

Untuk kedua kalinya, mata Brie didatangi kenangan yang bukan miliknya. Kali ini ia melihat perempuan yang tengah hamil tua, melambaikan tangan kepadanya sambil tersenyum.

“Hati-hati, ya.”

Hati Brie seperti dilewati kupu-kupu berwarna-warni. Ia bisa merasakannya, dengan begitu kuat, kebahagiaan si anak buah yang sebentar lagi mendapatkan putra pertama. Brie merasakannya seperti merasakan kebahagiaannya sendiri.

Dada Brie langsung sesak.

Pemandangan di mata Brie kembali normal. Tangannya masih memegang pistol, tapi sanderanya sudah tak kelihatan.

“Bunuh wanita itu! Dia telah membunuh Oscar!”

Mendengar suara Jorge dari kejauhan, Brie segera naik ke jendela. Sambil mengutuk dinginnya angin malam yang menyambar tubuh setengah telanjangnya, ia turun ke atap pelataran dan mulai berlari di atas genting.

Dor!

Terserempet peluru, kaki kanan Brie langsung merasakan panas bercampur nyeri tak terkira. Tubuhnya tersungkur dan pistolnya tergelincir lepas. Butiran peluru pun menyerbu dari bawah, melubangi genting-genting di sekitar gadis itu. Tak sanggup melakukan apa pun, ia cuma meringkuk. Bahkan saat lengan kanannya juga terserempet peluru, ia masih tak bisa melawan.

Apa sebentar lagi aku akan mati?

“Tahan tembakan kalian!!!” Teriakan keras Jorge terdengar di antara desingan peluru. Para anak buah yang ada di bawah langsung berhenti menembak.

“Aku berubah pikiran. Dia harus tetap hidup. Kita harus tahu siapa yang mengirimnya.” Dengan susah payah, Jorge keluar lewat jendela dan mendekati Brie yang tak bergerak. “Mungkin kalian juga bisa bersenang-senang dulu dengannya.”

Para anak buah tertawa girang. Tapi tidak untuk Jorge, yang matanya kini berkaca-kaca karena menahan tangis, meratapi keponakannya yang baru meregang nyawa dengan cara tragis.

“Hei! Siapa yang mengirimmu… Apa?” Jorge menghentikan langkahnya, matanya memelototi kulit Brie, yang kini seperti sedang dijamah tangan tak terlihat, dilukisi dengan pola-pola garis tebal yang berbelok tajam dan berujung runcing.

Semua pola itu berwarna emas.

Brie mulai bangkit. Sesuatu yang terlihat seperti emas cair keluar dari pergelangannya tangan kirinya, membentuk gelang besar yang menutupi sepertiga lengan.

“A.. Apa yang terjadi?” Bergidik, Jorge memilih untuk mundur, sementara para anak buah sudah mulai menodongkan senjata kembali.

Tiba-tiba, Brie berbalik dengan cepat, mengelebat menghampiri Jorge lantas menyabetkan tangannya yang ditutupi gelang. Kepala Jorge langsung terpental, meninggalkan batang leher yang memuncrat-muncratkan darah.

Brie kini memandang bengis orang-orang yang ada di situ, mengangkat mata pedang emas yang entah sejak kapan muncul dari gelang di tangannya.

Bersamaan dengan tubuh Jorge yang rubuh, para anak buah mulai menembak lagi. Brie pun berlari dengan kecepatan di luar nalar. Tak sampai dua detik, ia sampai di depan seorang anak buah yang berdiri di genting. Sekejap kemudian, anak buah itu melihat pistolnya terlempar bersama potongan tangannya sendiri.

Belum sempat pria itu berteriak, pedang Brie keburu menusuk dada kirinya.

Hanya berselang sedetik, Brie menarik pedangnya lantas melompat ke barisan anak buah yang ada di bawah, membiarkan peluru-peluru memantul dari tubuhnya.

Crasss!!!

Darah memuncrat seperti air mancur saat mata pedang Brie membelah kepala satu anak buah. Suasana langsung hening dibuatnya. Begitu Brie mencabut pedangnya kembali, para anak buah mulai berlarian tak tentu arah.

Perburuan Brie dimulai. Jerit-jerit ketakutan dan kesakitan terus terdengar sahut-menyahut. Namun, seiring berjalannya waktu, jerit-jerit itu berkurang satu demi satu. Tak ada yang bisa lolos dari pedang gadis itu, semuanya menumpahkan darah, melukiskan warna merah di mana-mana.

Saat suasana senyap kembali, Brie mencabut pedang dari punggung korban terakhirnya, seorang asisten rumah tangga yang kini tengkurap tak berdaya.

Perlahan, gadis itu memandangi keadaan sekitarnya, mengamati mayat-mayat yang bergelimpangan. Lalu, ia memperhatikan pola-pola aneh berwarna emas di kulitnya. Di antara pola-pola itu, terdapat lebam-lebam merah bekas hantaman peluru. Di setiap lebam itu bersarang nyeri yang cukup kuat.

“Eh?”

Brie jatuh terduduk dengan tubuh gemetar, tak mampu menerima kenyataan. Dia memang pembunuh, tapi jelas bukan ahli genosida. Ia ingat kalau dirinya baru saja melakukan pembantaian ini. Namun, ada satu hal yang tak ia mengerti, semua itu bukanlah keinginannya. Ya, tadi tubuhnya seperti digerakkan oleh kekuatan tak terlihat.

Ah, aku belum menyatakan perasaanku.

Aku butuh uang ini untuk pengobatan ayahku.

Sial, padahal sebentar lagi aku bisa keluar dari pekerjaan ini.

Bayangan-bayangan kenangan milik orang lain mulai mendatangi matanya. Kali ini hanya sekilas-sekilas saja, tapi sangat banyak dan berulang-ulang. Brie juga bisa tahu semua yang dirasakan mereka. Semua jenis perasaan yang bisa disebutkan oleh umat manusia menjadi satu dalam hatinya.

“Arghhh!!!Arggghhh!!!” Tak tahan dijejali aliran emosi orang-orang yang baru dibantainya, Brie cuma bisa berteriak-teriak.