webnovel

Daughter

Pria paruh baya bertubuh tambun, berambut tipis, dan bermata sipit itu berjalan kaku menuju kamarnya. Berkali-kali ia menguap dan mengucek matanya. Pikirannya terlalu penuh karena hal-hal lain, sehingga waktu tidurnya terganggu. Bahkan saat menghadiri rapat perusahaan tadi siang pun, hanya pegal karena terlalu lama duduk saja yang ia dapatkan. Tak ada satu pun materi yang bisa masuk ke kepalanya.

Begitu memasuki kamar, ia melepaskan jubah mandinya, menyisakan celana kolor yang cuma membalut bagian bawah tubuhnya. Kemudian, ia melemparkan tubuhnya ke kasur, bersebelahan dengan sang istri yang tengah menyelimuti diri.

Baru saja memejamkan mata, pria itu merasakan dingin logam yang menusuk di lehernya.

“Sttt… Jangan berteriak kalau mau selamat.”

Mendengar suara perempuan asing dengan logat bahasa Indonesia yang aneh itu, si pria menggigil ketakutan.

“Istri Anda ada di dalam lemari dan masih hidup,” lanjut perempuan asing itu. “Sekarang, jawab pertanyaan saya kalau Anda mau selamat.”

“A… Apa yang kamu inginkan? Uang? Aku bisa menyiapkannya sekarang juga.”

Perempuan itu terkekeh pelan. “Deny Kusuma, salah satu pengusaha rokok paling sukses di Indonesia menawari saya uang. Di lain waktu saya akan senang menerimanya. Tapi tujuan saya bukan itu, saya cuma ingin Anda menjawab beberapa pertanyaan.”

“Baiklah,” jawab pria bernama Deny itu gugup.

“Dulu, Anda menyuruh seseorang untuk membunuh pasangan pengusaha yang menjadi lawan bisnis Anda. Ternyata pasangan itu mempunyai anak angkat. Anak angkat itu akhirnya diasuh oleh orang yang Anda suruh. Saya cuma ingin menanyakan asal-usul anak itu sebelum diangkat oleh lawan yang anda bunuh.”

Bukannya langsung menjawab, Deny malah tertawa pelan. “Ah, kamu pasti anak yang Steph ambil itu, kan? Aku sudah mengenal Steph sejak lama. Bukan caranya untuk melakukan pembunuhan yang tidak perlu, cuma akan meninggalkan jejak lebih banyak. Bagaimana kalau kita bekerja sama…”

Deny menghentikan ucapannya saat pisau di tangan Brie semakin menekan lehernya.

“Benar sekali, maka dari itu jawab pertanyaan saya. Saya tidak suka membunuh kalau tidak dibayar.”

“A… aku akan menjawab, tapi aku punya permintaan. Sebentar lagi, anak perempuanku akan menikah, kamu bisa datang ke resepsi…”

“Wah, saya sangat tersanjung mendapat undangan. Tapi tidak, saya cuma ingin tahu asal-usul saya,” potong Brie cepat.

“Kamu dilatih oleh Steph, kan? Tidak mungkin orang biasa masuk ke rumah yang dijaga seketat ini. Aku cuma meminta bantuanmu untuk mengamankan resepsi pernikahan anakku. Setelah itu, aku berjanji akan memberitahu semuanya.”

Brie mendengus kesal. Ia teringat ajaran Steph: usahakan mendapat informasi tanpa kekerasan, sesulit apa pun itu. Jejak dari kekerasan itu akan lebih mudah terlacak oleh pihak berwajib. Lebih-lebih kalau sang informan adalah orang berpengaruh seperti Deny. Menjadikan keluarga Deny sebagai musuh adalah hal yang sangat bodoh.

“Hmmm… Bagaimana kalau saya bayar informasi Anda dengan sesuatu yang lain?” goda Brie dengan suara mendesah. Tangannya mengusap lembut punggung Deny yang tak dilapisi apa pun. “Saya sangat yakin tubuh saya ini bisa memuaskan Anda.”

“Mana mungkin aku menggagahi bocah ingusan yang sebaya dengan anakku sendiri!” bantah Deny, menjauhkan tubuhnya.

“Tapi saya cukup pengalaman, kok,” bisik Brie di telinga Deny.

Melihat wajah Deny yang hanya dihiasi raut ketakutan, Brie menggigit bibirnya kecewa. Jangankan nafsu mesum, ekspresi malu saja sama sekali tidak tergambar di wajah pria itu. Percuma menggodanya.

“Bagaimana? Mau tidak? Kamu juga akan tetap dapat bayaran,” lanjut Deny.

Brie mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk, samasekali tak melepaskan pisau lipatnya dari leher Deny. Ia menyibak rambutnya yang kini dipotong bob asimetris, baru kemudian berkata, “Jawab dulu, kenapa penjagaan di rumah ini sangat ketat?”

“Sekitar satu minggu yang lalu, keluarga teman… Ah, kamu pasti sudah diberitahu Steph, kan? Aku ini pengikut nyai Pratista, perempuan yang membuka praktek pesugihan dan ilmu klenik lain. Ada yang bilang kalau anak nyai Pratista itu membantai keluarga salah satu pengikut.”

“Hoo, apa yang membuat Anda berpikir kalau anak itu juga mau membantai keluarga Anda?”

“Anak nyai Pratista itu, seperti kamu dan anakku, juga beberapa anak lainnya, semuanya mendapat ritual mistis dari nyai Pratista. Kalian didapatkan dari berbagai tempat waktu masih bayi, ada yang diambil dari panti, ada juga yang dibeli dari pasar gelap. Setelah ritual itu selesai, kalian diserahkan ke beberapa pengikut setia… “ Deny menelan ludah. ”Aku sudah bicara terlalu banyak. Sekarang kamu harus menyanggupi permintaanku ini.”

Brie terdiam, masih berusaha mencerna kata-kata Deny itu. Ritual mistis? Ilmu klenik? Sepertinya ia sudah selangkah menuju jawaban. Kecil kemungkinan orang di bawah ancaman seperti Deny akan berbohong.

“Lalu, di mana nyai Prast… Pokoknya dimana pemimpin kalian itu?” tanya Brie, kesulitan mengeja nama sang nyai.

“Sudah kubilang, aku akan jawab semuanya kalau kamu mau jadi bodyguard di resepsi pernikahan anakku. Kamu itu dilatih Steph. Aku yakin kemampuan kamu itu hebat. Lagipula, anak gadis seperti kamu pasti tidak terlalu mencolok.”

Brie menghela napas panjang. Ia ingin segera mendapat jawaban. Tapi sekali lagi, Steph selalu mengajarkannya untuk tak terburu-buru. Akhirnya, meski dengan berat hati, Brie menjauhkan pisaunya, hampir berbarengan dengan Deny yang menghela napas lega.

“Siapkan uang mukanya,” ucap Brie, tersenyum ramah kepada Deny yang baru menoleh ke arahnya.

***

“Hei, kenapa kau santai-santai begitu!?”

“Apa kau tidak punya niat membangkitkan kami!?”

“Kau tinggal memasukkanku ke tubuh itu!”

Sambil duduk di kursi goyang, Sekar memain-mainkan selembar kertas undangan pernikahan. Giginya terus berkeretak. Suara teman-temannya dari alam lain itu terus mengganggunya sedari tadi. Mereka menganggap dirinya tak becus menjalankan tugas.

“Berisik!” jawab Sekar akhirnya, membuang undangan di tangannya itu begitu saja. “Kalau seperti ini terus, aku tidak akan memasukkan kalian ke tubuh anak-anak itu!”

“Sebenarnya kau menunggu apa, sih?” tanya salah satu suara.

Sekar terkikik. “Tidak ada. Aku cuma ingin bermain dengan manusia-manusia yang bisa menggunakan kekuatan kita itu.”

Suara-suara itu semakin ramai menggerus otak Sekar.

“Berisik!!!” bentak Sekar, tapi suara-suara itu malah makin intens menggerutu.

Memegangi kepalanya yang sebenarnya tak pusing, Sekar beranjak dari tempatnya, menghampiri kerangkeng besi setinggi satu meter di sudut ruangan. Di dalam kerangkeng itu, Pratista meringkuk dengan tubuh gemetaran, tak tahan dengan suara-suara aneh yang juga ikut menusuki telinganya.

“Ibu mau pakai yang mana?” tanya Sekar, menunjuk benda-benda yang ada di meja kayu terdekat: tang, pentungan satpam, jarum-jarum super besar, taser listrik, dan pecut tulang ikan pari.

Pratista berjengit ngeri. Mukanya yang tampak lebih tua dari biasanya, langsung menunjukkan ekspresi memohon. “Tolong lepaskan aku.”

“Wah, wah, wah.” Sekar berjongkok dengan wajah muram. “Sudah sepantasnya orang tua membahagiakan anaknya, bukan? Aku ini sedang stres, Bu…”

“Kamu bukan anakku!” sela Pratista sengit.

Raut muram di wajah Sekar makin kentara. “Eeh, tapi kenapa aku masih ingat kejadian waktu Ibu membelah dadaku dengan golok?”

Pratista membelalakkan matanya lebar-lebar.

“Waktu itu semuanya jadi seperti melambat, Bu. Setiap senti sayatan yang Ibu buat, aku bisa merasakannya dengan jelas,” sambung Sekar, masih dengan ekspresi sama. Bahkan ia terlihat seperti hampir menangis, meski matanya sama sekali tidak berkaca-kaca.

“Kamu bukan Sekar!!!” Pratista memegang jeruji dengan jari-jarinya yang sudah tak berkuku.

“Ahahahaha!!! Sekar berdiri dan menghampiri meja yang berisi benda-benda untuk menyiksa. “Kalau tidak percaya aku ini Sekar, aku akan ceritakan perasaanku saat tubuhku mau mati. Aku bertanya-tanya, apa salahku sampai harus mendapat siksaan seperti itu? Kenapa ibuku yang menyayangiku, membesarkanku, dan merawatku saat aku sakit itu jadi seperti iblis?”

Pratista berjengit lagi, matanya makin membelalak. Mulutnya sudah membuka, tapi ia sama sekali tak mampu mengeluarkan satu deret kalimat pun.

“Aku masih bisa mendengar rintihan-rintihan Sekar itu… Ah, aku baru mengakui aku ini bukan Sekar.” Gadis itu tersenyum, kemudian mematahkan salah satu kaki meja dengan mudah. Meja itu pun rubuh, membuat benda-benda di atasnya berjatuhan.

“Tolong, jangan sakiti aku lagi…” Pratista mulai terisak. Penyesalan dan ketakutan di hatinya sudah tak tertahankan. Kalau saja ia tidak termakan omongan makhluk di tubuh Sekar itu, anak gadisnya yang asli masih ada di sini. Ia masih bisa melihat senyum putri kesayangannya itu.

Dengan girang, Sekar memeriksa ujung tajam tak beraturan dari kaki meja yang baru dipatahkannya. Kemudian, ia menekankan jarinya ke pucuk paku yang masih setengah menancap di sana. Darah segar mulai menetes dari jari itu, dan Sekar menyedotnya dengan khidmat, seperti sedang menikmati hidangan spesial. Melihat kelakuan absurd itu, Pratista menggeleng-gelengkan kepala dan mundur ke sudut kerangkeng.

“Hahahaha…” Sekar tertawa pelan, nyaris berbisik. “Ahahahaha!!!”

Saat tawanya menjadi keras, Sekar mendatangi kerangkeng dengan mata membelalak. Ia memaksakan kepalanya untuk masuk di antara teralis. Jelas sekali kepalanya tak cukup, tapi ia tak peduli dan malah mengencangkan tawanya. Pratista pun berteriak-teriak histeris, sementara Sekar mulai memasukkan kaki meja di tangannya itu ke dalam kerangkeng.