1 Putus yang Tak Mulus

"Tania, aku berangkat ya," suara lelaki itu memecah pagi.

"Tunggu, Kak. Bentaaar lagi! Sabaaar dong, Kak." balas Tania

Di dalam kamar, gadis itu mematut dirinya di depan cermin cukup lama. Entahlah, dia sudah berganti gamis dan kerudung untuk yang ke berapa kali.

Bagaimana ya kalau Kak Rendra lihat penampilanku? tanya gadis berlesung pipi itu dalam hati.

Sudah ah, aku nggak akan ganti lagi. Sudah siang, takut telat berangkat kuliah.

Sementara dari luar kamarnya, Rendra sudah berulang kali melihat jam di dinding. Dia mondar-mandir dan tampak gusar.

"Tania Kusuma Wardhani, kamu lagi ngapain sih kok lama banget!"

"I.. iya … tunggu, Kak," Tania tersenyum. Buru-buru dia menggendong tasnya. Dia pastikan semua buku materi kuliah hari ini sudah masuk ke tasnya.

Begitu gadis berhijab itu keluar, kakak lelakinya terhenyak. Suasana seketika hening.

"Ayo, Kak. Sudah siang kita berangkat!" seru Tania.

Rendra masih mematung. Sama sekali dia tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Matanya terbelalak dan tubuhnya benar tak bergerak persis maneken.

Tania terdiam menatap kakaknya sambil menyunggingkan senyum manis lesung pipinya. Dia buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya ke arah muka Rendra. Kini giliran Tania yang balik membalas Kakaknya.

"Rendra Kusuma Wardhana, ayo lekas berangkat! Ada apa dengan Kakak hari ini? Kenapa bengong?" Tania mendekatkan wajahnya ke arah Rendra sambil tersenyum menggoda.

Setelah itu Tania melangkah keluar rumah. Tak lama kemudian, Rendra yang mengenakan kemeja lengan pendek silver dan celana bahan hitam pun segera melangkah, berusaha mengejar adiknya.

"Adik Kakak yang manis, Masya Allah. Kamu kok nggak bilang-bilang …."

"Sudah … sudah Kak, aku memang sengaja nggak bilang sama Kakak," potong gadis berkulit putih itu. Salah satu matanya berkedip-kedip menggoda sang kakak.

Bulu matanya yang lentik hitam alami membuat siapa pun yang menyaksiakannya akan mengatakan Tania sangat cantik. Wajahnya kini tampak lebih berseri dengan balutan hijab. Gamis dan kerudungnya senada, warna pastel, biru tosca.

Rendra duduk di motor gedenya, bersiap-siap menyalakan kendaraan kesayangannya.

"Jadi ceritanya bikin surprise gitu?" Rendra terkekeh.

Tania mengangguk. Dia segera naik motor gede itu, sudah duduk standby di belakang kakaknya.

"Sudah siap?" tanya Rendra.

"Sudah, let's go!"

Motor gede pun meluncur menuju kampus yang berlokasi di kawasan Depok. Dari kawasan Pejaten, Pasar Minggu, kurang lebih mereka memerlukan waktu sekitar setengah jam.

Sepanjang perjalanan keduanya tak berhenti mengobrol. Keduanya tampak sangat bersemangat. Dari dulu mereka memang kakak beradik yang kompak.

"Dik, aku benar-benar bahagia lho. Lihat kamu seperti ini."

"Aku lebih bahagia lagi lho Kak. Aku bangga punya Kakak. Semua ini karena Kakak."

"Lho … lho … kok gara-gara Kakak sih, harus lillah, karena Allah Dik Manis," Rendra terkekeh lagi. Pandangannya tetap fokus ke jalanan yang mulai padat merayap.

"Iiih… Kakak. Nggak gitu Kak. Pastilah aku berhijab karena Allah. Tapi kan jalan hijrahku ini sabab-musababnya gara-gara kakak yang supercerewet. Gimana nggak bosen coba, tiap hari kakak selalu ceramah soal hijab," Tania pura-pura kesal.

Rendra hanya menanggapinya dengan semringah.

"Dik, apa alasan yang menguatkan untuk memutuskan hijrah dan mengenakan hijab?"

Tania merasa ini pertanyaan yang berat. Tampaknya Kakak bertanya serius.

"Kenapa kakak nanya begitu?"

"Kakak cuma ingin memastikan keputusanmu ini dilandasi oleh sesuatu yang kuat. Kalau landasannya kuat, pasti kamu bakal istikamah. Karena hijrah itu bukan perkara mudah, Dik. Akan banyak muncul tantangan yang menguji seberapa kuat keputusanmu ini?"

Tania tampak berpikir keras. Namun akhirnya dia angkat bicara.

"Kak, jujur awalnya aku tak suka kalau kakak selalu nyinggung-nyinggung soal hijab. Waktu itu aku masih terpengaruh oleh pendapat yang mengatakan bahwa hijab itu hanyalah budaya Arab dan tak wajib."

Tania menghela napas.

"Sampai ketika Mama tercinta pergi meninggalkan kita …" perkataan Tania terputus. Air matanya berderai, teringat ibunya.

Rendra pun jadi teringat ibunya. Dalam hati segera dia mengirimkan doa untuk ibunya tercinta. Ya Allah, berikanlah kebahagiaan untuk Mama di sisi-Mu. Rendra pun menitikkan air mata.

"Sepeninggal Mama, aku banyak merenung, Kak. Mama pernah bilang juga, Dia akan menjadi ibu yang paling bahagia di dunia dan akhirat saat menyaksikan putri tersayangnya menutup aurat."

Air mata Tania berderai lagi. Dia menangis tersedu-sedu.

"Aku menyesal, Kak. Kenapa tidak berhijab dari dulu, saat Mama masih ada. Aku menyesal mengacuhkan nasihat kakak."

"Kak, apakah Mama bisa tahu kalau aku sudah berhijab dan bagaimana perasaannya?"

"Tentu saja, Sayang. Kebaikanmu ini Mama tahu. Pahalanya anak salehah itu akan terus mengalir kepada Mama."

"Alhamdulillah, aku senang mendengarnya."

Telinga Rendra mendengarkan dengan saksama curhatan Tania. Namun matanya tetap awas ke jalanan di hadapannya.

"Kurang lebih sebulan ini, aku banyak merenung Kak. Aku banyak membaca literasi Islam, terutama tentang hijab. Hingga keputusannya hari ini dan seterusnya, selamanya aku akan mengenakannya."

Rendra pun menitikkan air mata mendengarkan penuturan adiknya.

"Masya Allah Dik. Semoga Allah memberkahimu. Keep istikamah ya."

"Aamin. Syukran, makasih Kak. Tetap bimbing aku ya."

"Insya Allah."

Keduanya sesekali menyusut air matanya sebisa mungkin. Masalahnya keduanya kesulitan menyusutnya karena terhalang oleh helm yang mereka kenakan.

"Dik, bagaimana hubunganmu dengan Angga?" Rendra bertanya datar.

"Hehe … tenang Kak," Tania merespos santai.

"Kok, tenang, memangnya kamu sudah punya keputusan soal dia?"

"Udah dong Kak."

"Kok diem-diem aja, ayo cerita dong. Kakak pengen tahu."

"Dua hari yang lalu, aku sudah putus sama dia Kak."

"Alhamdulillaaaah," Rendra refleks mengucapkan kata pujian ini dengan sangat panjang. "Kakak dukung seratus persen keputusanmu," Rendra sangat bahagia. "Tapi kamu nggak nyesel, Dik? Dia kan ganteng, kamu belum tentu nanti dapet cowok sekece dia lagi …." Rendra menggoda lagi adiknya.

"Iiih, Kakak apa-apaan sih? Emang cowok ganteng di dunia ini dia aja? Asal tahu aja kak, Aku yakin bakal dapetin cowok ganteng, saleh lagi. Allah pasti memberkahi keputusanku ini."

"Aamiin. Insya Allah, Dik. Kamu pasti bakal dapat suami saleh dan terbaik."

Tak terasa, motor gede yang mereka 'tunggangi' sudah sampai di gerbang kampus. Motor gede itu segera bertolak menuju parkiran. Setelah itu kakak beradik itu berpisah. Lantas masing-masing melangkah menuju kelas. Keduanya memang belajar di fakultas yang berbeda. Arah lokasi kampusnya pun berbeda.

Tania melangkah anggun dengan balutan hijab. Sepanjang jalan dia lebih banyak menunduk. Bukan karena malu, tapi dia ingin berusaha mempraktikkan apa yang sudah dia pelajari. Banyak menundukkan pandangan.

Ada kesan berbeda yang Tania tangkap hari ini. Orang-orang di kampus, baik yang dia kenal maupun yang tak dia kenal banyak yang memandanginya. Ada yang memandanginya dengan simpati dan respek. Namun dia juga dapat menangkap kesan 'aneh', seperti tampak tak suka, menganggap rendah.

Apakah karena aku mengenakan hijab? pikir Tania.

"Buat apa berhijab, kalo hati masih kotor," samar-samar terdengar suara itu dari seorang perempuan berambut sebahu yang tak dikenal Tania.

Astagfirullah, hanya kalimat itu yang Tania ulang-ulang dalam hati. Dia terus melangkah hingga tiba di depan pintu kelas.

"Assalamualaikum," ucap Tania sambil mengetuk dan membuka pintu kelas. Dia melihat arloji di tangannya. Tania pastikan dia datang tepat waktu. Alhamdulillah, nggak telat. Dia merasa lega.

Saat pintu dia membuka pintu, dan kaki kanannya sudah menginjak lantai di kelas, sebuah suara yang akrab di telinganya berteriak.

"Taniaaa, Tungguuu!"

Astagfirullah, gawat ini. Dia mau bikin gara-gara apa lagi. Masih pagi sudah teriak-teriak.

Tania buru-buru masuk ke dalam kelas.

Di dalam kelas teman-temannya sudah berkumpul. Seorang dosen laki-laki pun sudah berdiri di depan kelas. Dosen muda itu membetulkan letak kacamatanya. Dia memandangi Tania dari bawah ke atas. Pun teman-teman sekelas memandangi Tania lekat-lekat.

Dosen yang bernama Kevin itu sama terkejutnya dengan Rendra menyaksikan Tania mengenakan hijab. Tatapannya tak berkedip, namun tak lama kemudian, dia buru-buru menundukkan pandangan dan mengedarkan pandangannya ke arah lain.

Tania duduk. Kini dia merasa lega. Bisa lolos dari Erlangga. Namun kelegaannya hanya sesaat. Tak dinyana Angga yang mengenakan kemeja flanel biru dan celana chino itu masuk kelas tanpa sepatah kata pun. Tania menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Maaf, apakah kamu mahasiswa di kelas ini?" Kevin bertanya secara diplomatis. Kevin menahan laju langkah Erlangga.

"Hmmm… bukan sih Pak. Maaf saya ada perlu sama salah satu mahasiswi di sini?"

"Katakan apa keperluanmu?" tanya lelaki berpenampilan klimis itu, agak galak. Angga, kerjaanmu dari selalu saja begini, bikin onar. Kapan kamu lulus, Angga?

"Aku cuma mau bilang sama Tania. AKU SANGAT MENCINTAINYA …."

Kevin mematung. Sesekali lelaki yang mengenakan kemeja batik slimfit itu melirik Tania yang menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ada perasaan kesal karena waktu mengajarnya diganggu. Tapi lebih dari itu, ada perasaan lain yang tercabik. Perih.

Suasana kelas tiba-tiba jadi gaduh. Para mahasiswa bilang, ''Eaaaa …."

Sementara Tania masih menutup wajahnya. Tetap saja kelihatan. Wajahnya memerah karena benar-benar sangat malu. Tania benar-benar merasa sudah kehilangan mukanya.

Perlahan Tania membuka matanya. Dia nyaris menangis. Namun dia coba tahan sekuatnya.

"Angga kamu apa-apa sih. Kamu mempermalukan dirimu sendiri. Sudah jelas, apa kamu ingin lebih jelas lagi. Kita sudah putus. TITIK!" Tania melontarkan kalimat itu dengan nada bergetar.

Suasana kelas masih gaduh.

"Yaaah….."

"Oooo …."

Suara di kelas terpecah. Mereka mengungkapkan dua dua istilah itu. Kedua suara itu bercampur baur tak jelas.

Tak lama, kelas pun hening.

Angga masih mematung di depan kelas. Matanya tak sedikit pun teralihkan menatap Tania. Sementara gadis berhijab itu tetap abai.

"Sudah… Sudah… Maaf kamu sudah menyita waktu mengajar saya, CEPAT KELUAR!" Kevin berdiri sambil menatap tajam Angga.

avataravatar
Next chapter