webnovel

Hadiah

DOK! DOK! DOK!

Jihan terkesiap dan nyaris membanting gelas beling yang tengah dicucinya. Aduh, siapa sih orang yang mengetuk pintu seperti kesetanan begitu? Tidak bisa pelan sedikit, ya?

"Ya, sebentar!" teriaknya sambil mendengus kesal. Kakinya lalu melangkah dengan malas ke arah pintu depan.

Sesampainya di depan pintu, wanita itu sedikit mengintip melalui jendela, hanya sekadar ingin tahu siapa yang datang. Bisa saja itu orang asing, atau yang lebih buruk adalah pembunuh bayaran. Ya, Jihan memang kebanyakan menonton film thriller.

Wanita itu menghela napas lega, ternyata yang datang adalah adik lelakinya—Arga. Anak itu datang sambil menjinjing sebuah benda besar berbentuk persegi panjang yang dibungkus kertas koran. Jihan segera membukakan pintu untuknya.

"Arga, ini kan rumah kamu sendiri. Kenapa pakai ketok-ketok pintu segala, sih?! Mana ketoknya pakai kaki pula. Itu kan nggak sopan!" sembur Jihan saat pintu baru saja terbuka, menampakkan Arga yang tengah menyengir lima jari.

"Hehehe… maaf, Kak. Tangan Arga penuh, sih," jawab adiknya sambil memenunjukkan dua tangannya yang sedang sibuk membawa sesuatu.

Jihan sebenarnya mau melanjutkan omelannya lagi, tetapi benda asing yang dibawa Arga, rasa kesalnya lenyap seketika. "Arga, apa itu?" tanyanya penasaran sambil mencoba menyentuh benda yang tengah ditenteng adiknya itu.

Belum sempat tangan Jihan menyentuh, Arga tiba-tiba saja menjauhkan benda itu. "Arga mau masuk dulu, Kak! Berat, nih. Hehe..." katanya sambil cengengesan.

"Iyaaa," balas Jihan sambil memberi adiknya ruang untuk lewat.

Setelah melewati sang kakak, Arga buru-buru menuju ruang tamu lalu meletakkan benda yang dibawanya ke atas meja. Ia kemudian berlari menuju kamarnya untuk menyimpan tas sekolahnya sebelum kembali ke ruang tamu. Di sana, ia dapat melihat Jihan, yang tengah duduk di sofa depan meja, iseng membuka sedikit selotip yang merekat di permukaan koran.

"Arga, kamu dapet ini dari mana?" tanya Jihan sekali lagi pada Arga yang kini berlutut di sisi lain meja.

Arga tak langsung menjawab. Tampaknya ia tengah memilah-milah kata yang tepat, sementara Jihan menunggu dengan sedikit tidak sabar.

"Hmm… ini tadi…." Ucapan Arga terhenti. Pandangannya bergulir ke segala arah, tanda kalau ia sedang kebingungan.

"Tadi apa? Kamu kalau ngomong jangan berbelit-belit gitu, dong."

"Iyaaa, Kak! Sabar dulu. Arga lagi nyusun kata-kata, nih," protes Arga sambil mencebik.

Diam-diam kakaknya terkikik. Meski Arga sudah duduk di kelas satu SMP, tapi di mata Jihan, adiknya itu masih seperti anak TK yang lucu. "Ya, udah, kakak tungguin."

"Eum… tadi aku dapetin ini dari toko antik yang baru buka di deket sekolah Arga," kata anak itu setelah ia berhasil menemukan kata pembuka yang pas.

"Kamu beli?" Tanpa sadar suara Jihan meninggi. Ia memang kurang suka jika Arga menghambur-hamburkan uang tidak jelas begitu.

Arga buru-buru menggeleng. "Nggak, Kak! Arga nggak bilang kalau Arga beli, kan?" ucapnya takut-takut.

"Terus?"

"Arga dapet gratis."

Mata Jihan menyipit curiga. "Gratis? Masa, sih? Kamu bohong, ya?"

"Arga nggak bohong!" Arga lagi-lagi mencebik. "Lagian Arga mana berani bohong sama Kakak," gumamnya sambil cemberut.

"Oke kalau kamu emang nggak bohong, tapi kayaknya nggak masuk akal kalau ada orang yang tiba-tiba ngasih barang kamu dengan cuma-cuma padahal kamu nggak ngapa-ngapain."

Arga melemparkan pandangannya ke kanan sebentar sambil menggigit bibir. Detik berikutnya, ia kembali memfokuskan perhatiannya pada sang kakak. "Tadi sih Arga sempet bantuin kakek-kakek yang punya toko itu buat nurunin barang dari mobil."

Dahi sang kakak terangkat kaget. "Oh, ya? Kenapa kamu mau bantuin? Kamu kan nggak kenal."

"Iya, sih, Kak. Tapi Arga kasihan sama dia. Arga nggak tega."

Jihan terenyuh mendengar ucapan sang adik. "Terus?" tanyanya makin penasaran.

"Terus, sebagai ucapan terima kasih, dia kasih benda itu sebagai hadiah. Tapi masalahnya Arga nggak tahu apa isinya."

"Nggak tahu?" Tanpa sadar Jihan merobek sedikit koran yang membungkus benda itu. Terlihat permukaan kardus berwarna putih di baliknya. Ia lalu beralih pada sang adik. "Kamu nggak tanya dulu sama kakek-kakek itu apa isinya?"

"Arga udah tanya, sih. Tapi nggak dijawab. Dia juga bilang Arga cuma boleh tahu isinya kalau udah sampai rumah."

Jihan mengangguk-angguk. Tanpa banyak bicara ia langsung menjulurkan tangannya ke kolong meja untuk mengambil gunting dari tempat penyimpanan peralatan menjahit. Dalam hati ia sebenarnya sudah menduga-duga benda apa yang ada di dalam kardus itu. Mungkin lukisan, pikirnya.

Pelan-pelan wanita mulai mengguntingi lembaran koran yang melapisinya sambil berusaha agar kardus yang membungkus benda itu tidak ikut sobek. Ya, siapa tahu saja benda itu merupakan benda langka yang dicari kolektor. Kalau kardusnya tidak sobek, dia mungkin bisa menjualnya lagi tanpa takut kalau harganya jatuh.

Arga—yang dari tadi cuma diam memperhatikan kakaknya—akhirnya ikut membantu. Anak itu langsung menarik koran beserta kardus pembungkusnya dengan sangat kasar dan tak manusiawi.

"Aduh, Arga! Jangan main tarik aja, dong!" Jihan berteriak jengkel. Pasalnya, kardus yang melapisi benda itu juga ikut robek.

"Ya, maaf, Kak," ucap Arga sambil menyengir lebar. Begitu matanya menangkap sebagian isi dari kardus itu, tanpa sadar ia menjerit. "Kak, lihat, lihat! Ternyata ini lukisan!"

Arga tiba-tiba mengambil alih benda itu, lalu merobek semua lapisan pembungkusnya tanpa basa-basi. Jihan tentu saja murka. Begitu ia ingin merebut benda itu dari tangan Arga, adiknya itu langsung menghalangi.

"Wah!" seru Arga takjub sambil memandangi lukisan itu.

"Arga!" seru Jihan kesal. Ekspresinya seketika berubah ketika ia menyadari benda apa yang saat ini berada di tangan sang adik. "Sini, Arga, kakak mau lihat lukisannya juga!"

Alih-alih mendekat, Arga malah makin menjauhkan dirinya. "Kak Jihan, jangan kaget, ya."

"Apanya yang kaget? Kakak kan belum lihat lukisannya!" Jihan makin jengkel. Ia pun bangkit berdiri lalu cepat-cepat menghampiri sang adik. "Oh, ya ampun." Wanita itu sontak menahan napas ketika tahu gambar apa yang tertera di lukisan tersebut

"Kak Jihan," panggil Arga saat mendapati kakaknya itu membatu di tempat.

Lukisan itu adalah lukisan potret seorang wanita berambut panjang dengan gaun putih bergaya abad pertengahan yang membalut tubuhnya. Jika potret itu adalah wanita biasa, mungkin ekspresi Jihan tidak akan seberlebihan itu. Akan tetapi masalahnya ...

Jihan menggeleng tak percaya. "I-itu mirip …"

"Mukanya mirip banget sama muka Kak Jihan!" sambung Arga antusias.