1 Davina

DUAR! DUAR!

Suara petir menyambar di sore hari diiringi hujan yang begitu lebat.

BUK!

Seorang gadis remaja memakai seragam SMA tak sengaja menabrak seseorang. Namun karena hujan yang begitu lebat ia tak memperhatikan siapa yang ia tabrak dan terus berlari begitu saja di tengah hujan.

BRAK! BUG! BUG!

Gadis bernama Davina itu sampai di depan sebuah rumah sederhana. Ia ingin masuk. Namun mendengar suara pukulan dari dalam rumah seketika ia mengurungkan niat untuk membuka pintu.

"Kurang ajar! Kalau engga bisa masak engga usah masak! Perempuan kog, masak asin!" suara seorang pria begitu menggema dari dalam rumah.

Davina mendengar jelas suara itu. Tangannya meremas erat roknya yang basah kuyup. Ingin rasanya menerobos masuk dan menyela pembicaraan di dalam.

Namun ia tak sanggup. Ia selalu saja membeku saat sang ayah Dirman, memukuli sang ibu, Wati atau biasa dipanggil Ati oleh tetangga. Hanya karena alasan sepele.

JEGREK!

Pintu rumah terbuka, Dirman berdiri di depan pintu sambil menatap kasar ke arah putri bungsunya itu.

BUG!

Sebuah pukulan mengenai kepalanya. Sang ayah begitu marah hingga apa saja yang ada di depannya bisa menjadi sasaran kemarahannya.

"Perempuan jam segini baru pulang! Mau jadi wanita macam apa kamu? Sekolah engga ada gunanya. Buang buang uang. Wanita bisanya cuma bisa ngabisin uang," ujar Dirman sambil berlalu pergi.

Pukulan itu tak sebanding rasanya dengan kata kata tajam yang begitu melukai hatinya sebagai seorang wanita.

Davina masuk ke dalam rumah dan melihat kondisi rumah yang berantakan. Wati sang ibu sedang memunguti makanan yang dilemparkan sang ayah ke lantai yang hanya diplester dengan semen itu.

"Biar aku yang beresin, Bu," ujar Davina.

"Engga usah, Vin. Kamu cepat ganti baju. Nanti kamu masuk angin bajumu basah begitu," ujar Wati.

Air mata hampir saja menetes dari pelupuk mata Davina. Namun ia tahan begitu melihat ketegaran sang ibu.

Gadis itu lantas masuk ke dalam dan berganti pakaian. Kemudahan ia keluar karena perutnya begitu terasa lapar.

Ia tak pernah makan di sekolah. Jangankan untuk makan, untuk membeli alat sekolah pulpen saja, terkadang ia harus rela berjalan kaki karena uang sakunya yang sangat minim.

"Bu, makan sama apa?" tanya Davina.

Wati tak menjawab. Ia bangun dan mengambilkan sepiring nasi untuk sang anak perempuan. Ia hanya memberikan laut sesendok sambal mentah kepada sang putri.

"Ini aja, Bu?" tanya Davina.

"Di dalam ada telur dua potong. Tapi itu nanti buat Mas Darwin sama Mas Deni kamu ini dulu ya, Nduk," ujar sang ibu.

Bukan kali pertama di dalam rumahnya ia harus mengalah kepada kedua kakak laki lakinya untuk urusan seperti ini.

Ya, keluarga Davina sangatlah patriarkis. Laki laki selalu saja diutamakan.

"Ya, sudah," sahut Davina sambil membawa nasi itu ke dalam kamarnya.

Davina masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Ia memastikan pintu itu tak bisa dibuka. Memastikan tak ada siapa siapa di luar kamarnya.

Ia duduk di atas kasurnya yang sangat sangat sederhana. Bahkan bisa dikatakan mengenaskan.

Ia segera menyantap nasi dengan sambal itu dengan lahap karena memang hanya itu yang bisa ia makan.

***

Para siswa sekolah di SMK Unggul Harapan memasuki sekolah. Mereka terlihat begitu bersemangat.

"Davina!" sapa Ratna teman sekelasnya.

"Oh, hai," sahut Davina santai sambil membaca beberapa buku yang ia pinjam di perpustakaan tempo hari.

"Pulang sekolah main, yuk!" ajak Ratna.

"Engga bisa, Na," sahut Davina santai.

"Alah, selalu, selalu engga bisa. Kapan, sih, kita bisa main bareng," gerutu Ratna sambil bermanja di samping Davina.

SMK Unggul Harapan adalah sebuah sekolah kejuruan teknik. Atau lebih dikenal dengan sebutan STM.

Murid muridnya cenderung lebih banyak kaum pria daripada perempuan.

Davina dan Ratna adalah wanita yang ada di kelas mereka jurusan Listrik.

"Vin, udah bikin PR matematika, belum? Minjem, dong," Agus tiba tiba saja datang menodong PR kepada Davina.

"Eh, kenapa jadi aku harus ngasih kamu PR-ku? Bikin sendiri," ujar Davina sewot.

"Ya, elah, Vin. Kalau pinter itu mesti dibagi bagi. Jangan disimpan sendiri. Mubadzir," sahut Agus.

"Engga, engga. Engga ada. Enak aja. Susah susah mikir dicontek begitu aja," ujar Davina sewot.

Ratna terkekeh melihat Davina yang begitu kesal dengan Agus.

"Pelit banget," gerutu Agus.

"Bodo amat," sahut Davina tegas.

Ratna mengeluarkan buku tugasnya, lalu mengulurkan kepada Agus.

"Nih, PR-ku aja," ujar Ratna.

"Ehmm," Agus terlihat berpikir.

Tak berapa lama bel masuk berbunyi. Agus terlihat kebingungan. Ia duduk di belakang Davina sambil menendang nendang kursi Davina.

"Berisik!" sentak Davina kesal.

Ratna melempar bukunya ke arah Agus.

"Dah, nyerah aja. Kamu engga akan bisa merayu Davina, Gus," ujar Ratna.

Akhirnya mau tak mau ia segera menyalin PR Ratna karena matematika merupakan jam pertama. Sambil bibirnya komat kamit karena kesal kepada Davina yang tak mau meminjamkan bukunya.

"Judes, pelit, tomboi. Tapi, kog, pinter," ujar Agus.

Guru matematika sudah mendekati pintu kelas mereka. Ratna menepuk tangan Agus yang tengah asyik menyalin PR-nya.

"Buruan, Pak Bekti udah di depan," racau Ratna.

"Iya iya. Bentar. Ini jawabannya bener engga? Awas kalau salah," ujar Agus sambil terus menulis.

"Eh, sialan. Udah nyontek banyak tingkah," gerutu Ratna.

"Selamat pagi anak anak," sapa Pak Bekti saat baru masuk.

Agus langsung menyerahkan buku tugas Ratna Kepada sang pemilik.

***

Jam istirahat ...

"Ratna ngasih PR masa yang bener cuma tiga doang," Keluh Agus sambil berjalan menuju ke kantin.

"Eh, boro - boro dicontekin," keluh Ratna.

"Gara gara si Davina engga mau minjemin PR-nya. Eh, ke mana tuh, anak?" tanya Agus.

"Ya, elah kemana lagi kalau si Davina jam istirahat," ujar Ratna.

***

Davina mengembalikan buku ke petugas perpustakaan.

"Maaf, Pak telat. Kemarin hujan. Saya ngga bisa mampir," ujar Devina.

"Ya, ini buku pesenan kamu. Udah dibalikin," ujar petugas perpustakaan.

"Oh, udah, ya, Pak. Makasih," ujar Davina hendak mengambil buku itu tapi seorang pemuda tiba tiba mengambil buku itu.

"Eh!" pekik Davina.

"Bentar, minjem bentar," ujar pria itu.

Davina menatap tak suka kepada pria itu. Di bagian seragamnya tertulis nama Ali Ramadhan. Perawakannya tinggi, putih dan yang pasti dia tampan.

Dia pria yang paling tampan yang pernah Davina lihat di sekolahnya ini.

"Ngga sopan banget main ambil," ujar Davina sewot sambil merebut buku itu dari pria bernama Ali itu.

"Minjem, kan, aku bilang minjem," ujar Ali.

"Eh, minjem, tuh, permisi dulu. Ini main rebut aja. Udah, Pak, catet di kartu saya aja," ujar Davina.

Ali menatap tajam ke arah Davina. Ia baru bertemu bada wanita segarang Davina.

Bersambung ...

Hallo, saya Yui Sakura kembali dengan buku kedua saya judulnya Gerimis Sendu. Buku ini berbeda dengan buku sebelumnya, ya. So, silahkan menikmati. Jangan lupa kasih review, ya. Komentar juga. Terimakasih atas atensinya ...

avataravatar
Next chapter