1 PUSARA ADITYA BHANU BAGASKARA

Seorang wanita berumur 32 tahun tertunduk lesu di atas pusara yang bertuliskan nama seorang pria Aditya Bhanu Bagaskara. Dengan pandangan yang kosong matanya tetap tertuju pada tulisan nama yang ada di nisan pusara itu.

"Ndis ayo kita pulang." Terdengar suara seoarang wanita memanggilnya dan membuatnya tersentak dari lamunan panjangnya,ternyata wanita itu tidak lain adalah sahabatnya sendiri yaitu Ayesha.

"Oo ..., ya Esha maaf, tapi aku masih ingin disini sebentar lagi," Gendis menjawab ajakan Ayesha.

Mendengar jawaban sahabatnya itu Ayesha tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiri menatap sahabatnya yang terlihat begitu sedih karena baru saja ditinggal pergi Sang suami untuk selamanya ,dan tanpa di sadari air matanya pun jatuh melihat kehampaan sahabatnya itu.

Semua orang merasa terkejut atas kepergian Aditya yang begitu mendadak ini, karena laki-laki berparas tampan itu terlihat sangat sehat tanpa ada kabar sakit apapun yang dialaminya.

Terakhir mereka bertemu saat dia berkunjung kerumah sahabatnya itu, saat itu Aditya suami Gendis sedang bersiap untuk berangkat pergi keperluan bisnis.

Dia emang tampak selalu sangat sibuk dengan pekerjaan nya apalagi jabatannya sebagai CEO di perusahaan Bgroup salah satu perusahaan besar yang ada di Surabaya.

Sehingga membuat dia memang memegang tanggung jawab penuh atas kemajuan perusahaan yang dibangun oleh ayahnya itu.

Melihat Gendis yang masih terduduk lesu di atas pusara, seorang lelaki tua langsung bangun dari tempat duduknya dan datang menghampiri Gendis yang posisinya tidak jauh dari dia berada,

"Ayo nak kita kembali kerumah, kamu harus ikhlas dan kamu harus kuat demi Nehan."

Gendis pun menatap mata Nehan anaknya yang sudah dari tadi menatapnya dengan sedih, benar kata Ayah mertuanya, ia harus kuat demi putranya.

"Iya Pa" jawab Gendis.

Suaranya terdengar lirih sembari menahan tangis di depan anaknya, mereka pun berjalan meninggalkan pusara suaminya itu dan pulang kerumah.

Setibanya dirumah dia pun langsung bertemu rekan bisnis dan rekan kerja suaminya yang sudah sedari tadi menunggunya pulang dari tempat pemakaman,

"kami turut berduka cita atas berpulangnya bapak Aditya bu,semoga ibu dan keluarga bisa tabah dan kuat menghadapi cobaan ini," kata salah seorang rekan.

"Iya,terimakasih sudah menyempatkan waktu di tengah kesibukannya untuk dapat datang kemari menghibur kami sekeluarga," jawab Gendis dengan lembut.

Disisi lain terlihat Ayesha sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel nya,

"hallo sayang, sepertinya aku akan menemani Gendis malam ini dan akan pulang besok apakah boleh?" tanya Ayesha meminta izin pada suaminya.

"Tidak masalah yang penting kamu hati-hati disana, titip salam buat Gendis dan Nehan, juga sampaikan maafku karena tidak bisa hadir disana," jawab Manggala yang tidak bisa hadir di hari pemakaman temannya ini karena dia masih berada di Jakarta dalam perjalanan bisnis.

"Terimaksih sayang, aku sampaikan nanti salam dari kamu, kamu jadi pulang besok?"tanya Ayesha kembali .

"Insha Allah setelah pekerjaanku selesai, besok aku akan pulang ke Surabaya," kata Manggala.

"Baiklah kalau begitu sampai jumpa besok dirumah, sudah dulu aku tutup telpon nya kamu juga hati-hati disana Assalamu'alaikum."

Setelah Manggala membalas salamnya Ayesha kemudian mengakhiri panggilannya, dia mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan sahabatnya tapi tidak menemukannya, di ruang tamu yang ada hanyalah pak Cahyo Purnomo Bagaskara dan Nehan yang sedang menemani para tamu yang sedari tadi datang silih berganti.

"Mbok kamu ada lihat Nyonya Muda?"

Tanya Ayesha pada salah satu asisten rumah tangganya Gendis.

"Tadi saya lihat Nyonya Muda ke atas Non Esha" jawabnya sopan. Wajah wanita paruh baya ini pun tampak sembab karena menangis sedari Aditya di nyatakan meninggal.

Dia adalah sosok yang melihat tumbuh kembang Tuan Mudanya itu. Rasa sayangnya pada Aditya sama besarnya seperti dia menyayangi putranya sendiri.

Rumah Gendis memiliki 2 lantai, kamar Gendis memang terletak di lantai dua. Dengan langkah yang sedikit cepat dia berjalan menaiki anak tangga menuju kamar sahabatnya itu yang berada di lantai atas.

"Ndis…, Ndis…, Ndis," terdengar suara Ayesha memanggil nama Gendis dan sesekali terdengar suara ketukan pintu dari depan kamarnya.

Sudah 5 menit dia berdiri di depan pintu kamar sahabatnya itu tetapi pintu belum juga di buka oleh sipemilik kamar bahkan suara sahabatnya itupun tidak terdengar membalas panggilannya.

"Ndis…, Ndis.., apakah kamu ada di dalam?" Tanya Ayesha dengan sedikit berteriak.

Ayesha semakin bingung dan resah karena dia tidak juga mendapatkan jawaban dari dalam kamar sahabatnya, seolah kamar itu hening dan tak berpenghuni.

Dengan perasaan yang semakin cemas dia mencoba memegang handle pintu kamar sahabatnya yang ternyata pintu kamar itu tidak terkunci.

"Ndis.., maaf aku masuk tanpa pamit pada…," belum selesai ucapannya dia sudah melihat sahabatnya duduk sendiri dan terpaku seperti patung di depan jendela kamarnya

Ia me;angkah masuk kedalam kamar juga tidak disadari oleh Gendis.

"Ndis, malam ini aku akan tidur disini menemanimu dan Nehan" kata Ayesha.

Namun Gendis tidak memberikan reaksi apapun, dia tetap tenggelam pada pikirannya.

'Tuhan mengapa begitu sesak dada ini, kenapa aku merasakan hampa setelah dia pergi' batin Gendis. Tidak terasa air matanya kembali jatuh berlinang di wajahnya yang halus dan lembut.

Melihat sahabatnya menangis tanpa merespon perkataannya Ayesha tahu bahwa Gendis tidak mendengarkan apa yang tadi dia katakan.

Ayesha langsung memegang tangan sahabatnya itu yang dari tadi terpangku diatas paha berbalut dress hitam, yang mungkin akan di pakainya selama masa berduka.

"Sudah berapa lama kamu ada disini ?"

Tanya Gendis kepada Ayesha yang tersadar dari lamunanya setelah Ayesha menyentuh tangannya.

Lalu Gendis kembali menarik tangannya untuk menyeka air mata yang membasahi pipinya.

Ayesa menarik nafas yang dalam mendengar pertanyaan sahabatnya itu,

"sudah sejak 30 menit yang lalu Ndis," jawab Ayesha.

"Maaf aku tidak menyadari kehadiranmu, Esha," kata Gendis.

"Tidak masalah Ndis, jika ada beban dihatimu jangan di simpan seorang diri." Jelas Ayesa sambil menatap kedua mata sahabatnya yang sudah sembab karena menangis.

Gendis menggelengkan kepalanya sebagai tanda dia tidak memiliki beban apapun.

"Aku hanya bingung," Kata Gendis.

"Ndis, aku mengerti atas kebingunganmu namun, untuk saat ini kamu harus terlihat tegar di depan Nehan anakmu." Ayesha menarik kursi agar dia bisa duduk di samping sahabatnya itu.

Kursi yang biasa digunakan Gendis untuk duduk di depan cermin ketika dia akan menghiasi wajahnya yang cantik itulah yang di gunakan Ayesha.

"Apa kamu bisa melihat Nehan larut dalam kesedihannya? Jika kamu seperti ini Nehan juga pasti lebih hancur Ndis!". Jelas Ayesha yang berusaha memberikan pandangannya kepada Gendis.

Dan Gendis membalasnya dengan tatapan yang seolah menceritakan seluruh isi hatinya saat ini,sehingga tanpa mereka sadari pipi mereka berdua sudah di basahi oleh air mata.

Kedua sahabat ini menangis tanpa suara di dalam ruangan yang sunyi hanya tatapan mata mereka yang bertemu satu sama lain.

avataravatar
Next chapter