1 Cinta ditolak Dukun bertindak

Dalam pekatnya malam, seorang pria tampak jalan dengan tergesa-gesa menuju ke sebuah hutan larangan.

Dengan sebuah senter kecil di tangannya, serta sarung yang dipasang selempang di dadanya, Yudi berjalan menyusuri keheningan malam. Meski saat ini masih jam 9 malam, tapi bagi masyarakat minang yang jauh dari hiruk pikuk keramaian, itu sudah termasuk larut malam.

Karena biasanya, masyarakat tidak akan keluar rumah lagi setelah lepas shalat isya. Untuk pergi ke surau (mushalla) saja, mereka harus menyalakan obor saat malam hari. Karena, jalan yang cukup licin dan terjal. Mengingat, perkampungan ini masih terletak di antara lereng perbukitan.

Tidak jarang, saat berjalan malam hari mereka akan berpapasan dengan babi hutan atau babi liar yang tak segan-segan menyeruduk jika merasa terganggu keberadaannya. Itu lah salah satu alasan warga enggan keluar rumah dan bepergian saat malam hari.

Setelah 15 menit berjalan, Yudi sampai di rumah panggung kecil yang hanya diterangi dengan lampu minyak.

"Aku datang, Mak." salam Yudi dari luar kepada penguni rumah.

"Ya, aku tau. Masuk lah, Yud!" jawab empunya rumah dari dalam.

Kreeekk... Kreeekk...

Terdengar bunyi derit yang memekakkan telinga saat Yudi membuka pintu dari anyaman bambu itu. Begitu pula dengan lantai yang ia pijak.

Tampak seorang pria paruh baya berpakaian hitam dengan penutup kepala bewarna hitam pula sedang duduk bersila. Di depannya ada sebuah wadah yang entah berisi apa, tapi mengeluarkan asap yang baunya lumayan menyengat hidung Yudi.

"Maaf mengganggu malam-malam begini, Mak . Aku ingin minta tolong. Mudah-mudahan Mak Udin bersedia membantu." ucap Yudi setelah duduk bersila pula di hadapan pria yang ia panggil dengan nama Mak Udin itu.

"Baik. Katakan saja apa yang kamu inginkan." Mak Udin menjawab tanpa memandang ke arah Yudi.

"Begini, Mak. Aku sangat sakit hati kepada si Puti anak 'Wali Nagari' (setingkat dengan Lurah) itu, Mak."

"Apa yang dia lakukan? Apakah kau meminangnya seperti pria-pria lainnya?"

"Betul, Mak. Siapa yang tidak ingin menjadikan gadis secantik Puti untuk dijadikan istri. Dan lagi pula, selama ini aku dan Puti sudah cukup saling mengenal satu sama lain."

"Lantas, apa yang membuatmu sakit hati padanya?"

"Dia...dia telah menghinaku, Mak. Aku direndahkan di depan kedua orang tuaku yang datang meminangnya. Dia mengatakan bahwa, kasta kami sangat jauh berbeda. Hanya karena ayahnya seorang Wali Nagari, dan ayahku hanya lah seorang petani 'limau' ( jeruk)."

"Ya, aku sudah melihat bagaimana anak gadis 'Sutan Nan Kayo' (gelar ayah Puti yang menjabat sebagai Wali Nagari) itu bersikap dan bertindak. Layaknya seorang anak yang dididik dengan banyak materi, maka sifat sombong akan mudah melekat pada dirinya."

"Benar, Mak Udin. Selama ini, sebelum Sutan Nan Kayo menjadi Wali Nagari, aku tau betul bahwa Puti adalah anak yang baik dan sopan,"

"Uang bisa merubah segalanya, anak muda!" ucap Mak Udin penuh penekanan.

"Jadi bagaimana sekarang, Mak?"

"Kau ingin aku berbuat apa pada gadis itu?"

Pertanyaan Mak Udin membuat hati Yudi menjadi sedikit galau. Awalnya ia ingin langsung membuat Puti tergila-gila padanya. Tapi, kemudian sifat jahat muncul dari dalam diri Yudi yang telah disakiti oleh seorang wanita itu.

"Mak, tolong buat dia merasakan sakitnya penolakan. Saat dia benar-benar menginginkan seorang pria, maka pria itu harus menolaknya. Jika bisa, buat penolakan itu terjadi setelah ditetapkannya tanggal pernikahan dan segala macamnya." ucap Yudi dengan semangat menggebu-gebu.

"Ha-ha-ha... Seorang pria yang terlanjur sakit hati, maka bersiap lah wanita itu menghadapi akibatnya." jawab Mak Udin dengan menabur-naburkan sesuatu pada wajannya yang terus mengeluarkan asap.

"Ini, aku gadaikan emas seberat 5 gram. Jika Mak Udin berhasil hingga akhir, aku akan menambah 5 gram lagi. Bagaimana?" Yudi membuka percapakan mengenai harga dan bernegosiasi dengan dukun kampung itu.

"Tidak masalah. Gulung dalam ujung kain sarung itu, dan letakkan di atas nampan yang berisi kembang 7 rupa itu." titah Mak Udin pada Yudi dan langsung dikerjakan olehnya.

"Sudah, Mak." lapor Yudi setelah menyelesaikan perintah Mak Udin.

"Kita mainkan saja 'Gasiang Tangkurak' (Sejenis ilmu santet yang dipercayai suku minangkabau untuk membuat seseorang terlihat gila atau tergila-gila pada orang yang meminta bantuan dukun tersebut. Bisa juga digunakan untuk membunuh seseorang dengan cara yang tidak wajar, dalam persaingan dagang atau politik). Aku akan mengirimkan sijundai padanya. Maka, mulai saat ini kau harus bersiap menghadapi segala yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. Ingat! Kau tidak boleh menyentuh gadis itu sebelum kita masuk ke tahap selanjutnya." Mak Udin terdengar memperingati Yudi dengan serius.

"Baik, Mak. Aku paham. Aku tidak akan melanggar pantangan itu."

"Bagus. Sekarang, pulang lah. Aku akan mengerjakannya saat jam 12 malam nanti."

"Baik lah kalau begitu, Mak. Aku pamit dulu. Semoga semua berjalan sesuai rencanaku,"

"Selama aku bekerja di sini, belum ada satu orang pun pasienku yang kecewa. Kau tenang saja. Kau akan melihatnya dengan mata kepalamu sendiri dalam beberapa hari ke depan."

" Ba-baik. Aku percayakan semuanya pada Mak Udin."

Yudi mulai bergerak hendak pergi meninggalkan kediaman Mak Udin. Sebelum suara Mak Udin kembali memanggilnya.

"Yudi.."

Yang dipanggil pun akhirnya menghentikan langkah dan melihat ke belakang. Tempat Mak Udin duduk sejak tadi.

"Iya, Mak." sahutnya pelan.

"Ingat, Yud. Kau tidak boleh mengatakan apa pun pada warga kampung ini tentang keberadaan rumahku ini. Karena, hanya orang yang benar-benar merasa butuh pertolonganku lah yang akan mampu melihat tempat dan gubuk ini."

"I-iya, Mak. Aku akan tetap diam. Karena kalau aku bicara, sama saja aku membuka kejahatanku sendiri."

"Bagus jika kau mengerti. Pulang lah dan jangan pernah melihat ke belakang lagi!" titah Mak Udin lagi.

Yudi segera memacu langkahnya hingga sampai ke jalan setapak yang masih ramai dilalui oleh orang-orang yang pulang dari mencari ikan di Danau.

Tanpa Yudi sadari, ia telah jauh meninggalkan ajaran Allah. Ia telah tersesat hanya karena sebuah amarah dan kebencian. Ia telah bersekutu dengan jin dan syetan.

Saat menuju ke rumahnya, Yudi berpapasan dengan seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah lelaki yang biasa menjadi temannya di warung.

"Yud, dari mana 'Ang' (panggilan biasa orang minang untuk anak atau saudara dan teman laki-laki)? Tumben tak datang ke 'lapau'(kedai/warung) Tek Ros?" tanya pria itu pada Yudi.

"Ha, itu lah, Da. Tadi kan aku mau ke kedai Tek Ros (etek Ros, tante Rosa) tapi tiba-tiba bertemu juga dengan teman sekolahku dulu. Kami bercerita hingga lupa waktu. Ini aku baru mau pulang karena hari sudah sangat larut," Yudi pandai sekali mencari alasan.

Meski tampak ragu, pria itu menepuk bahu Yudi dan tertawa.

"Ya sudah, pulang lah cepat. Besok berangkat lah lebih awal dari yang lain agar kau mendapat hasil yang maskimal." nasihat pria yang dipanggil Yudi dengan sebutan Uda (Abang) itu.

Pria itu adalah seorang petani yang mempekerjakan Yudi di ladangnya. Yudi sesekali membantu orang yang mempunyai ladang cengkeh dan pinang memanen hasil ladangnya.

Yudi mengangguk, dan menatap kepergian pria itu dari tempatnya berdiri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah. Dimana saat ini ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan satu orang adik perempuannya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.

"Uda dari mana? Jam segini baru pulang!" tanya adik perempuan Yudi yang bernama Mila.

"Dari rumah kawan, ada perlu urusan pekerjaan." jawab Yudi sambil menyesap kopi yang sudah dingin di atas meja ruang tengahnya.

"Apa benar? Tadi, ada yang bilang pada Mila, kalau dia melihat Uda berjalan ke arah Hutan Larangan!"

Mendengar pernyataan sang adik, Yudi terdiam. Ya, Hutan Larangan. Kapan ia lupa bahwa tidak ada yang boleh masuk ke hutan itu? Hutan yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat berkumpulnya segala jenis jin dan setan.

Konon katanya, jika orang yang mempunyai niat jahat atau buruk masuk ke hutan itu, maka hutan itu tidak akan terlihat seperti sebuah hutan. Namun, tampak seperti sebuah kampung biasa dengan penduduknya.

Sejauh ini, tidak ada warga yang mengaku atau bercerita pernah memasuki kawasan itu. Tentu saja, itu demi menutupi aibnya sendiri agar tidak terbongkar ke warga lainnya.

"Sudah lah! Jangan dengarkan apa kata orang. Untuk apa Uda datang kesana. Pergi lah tidur, bukannya kau besok sekolah?" Yudi berusaha membantah perkataan adiknya.

"I-iya, Uda." jawab Mila dengan sedikit takut.

"Ayah dan Amak kapan pulang?" tanya Yudi sebelum Mila masuk ke dalam kamarnya.

"Mungkin besok sudah pulang. Karena harus menunggu 'angku'(kakek) benar-benar sembuh,"

"Oh begitu. Pergi lah tidur." titah Yudi pada Mila. Dan Mila pun dengan segera masuk dan mengunci pintu kamarnya.

Di daerah minang, biasanya orang membuat kamar sebanyak jumlah anak perempuan mereka. Tapi, karena orang tua Yudi yang ingin adil dan terlebih anak perempuannya hanya seorang saja, maka mereka memiliki tiga buah kamar di rumah ini.

Yudi masuk ke dalam kamarnya dan mulai memakain jaket tebalnya satu lapis lagi. Memakai kaus kaki dan kupluk penutup kepala.

Dalam kamar itu, Yudi menyalakan sebatang rokok dan mulai merenung kembali tentang apa yang baru saja telah ia lakukan.

"Apa hal itu tidak akan merugikan keluargaku nantinya?" ucap Yudi bermonolog.

Sambil sesekali menghembuskan asap rokok dari mulutnya, ia mengingat kembali semua perkataan Mak Udin.

"Biar lah, semua sudah terlanjur. Aku tidak mungkin mundur lagi. Apa pun resikonya pasti akan aku hadapi. Puti, jangan main-main dengan pria yang kau anggap miskin ini!" ucap Yudi lagi dengan penuh kebencian.

avataravatar
Next chapter