9 9. Lukisan Reygan

"Cowok di depan siapa, Dek?" Mbak Maya yang baru datang langsung bertanya. Bukannya mengucap salam.

Mama menahan diri tidak menjawab. Aneska menjawab dengan sensi. "Apa sih Mbak, kepo!"

"Nggak. Aku heran kok itu anak bisa dekat sama Papa. Selama ini yang ada ngobrol sama Papa jadi jiper sendiri."

"Oh ya?" Mama mneyahut dengan nada yang sama seperti tadi.

"Mas Kinan juga pulang kerja ikut ngotak-atik mobil di depan." Maya masih penasaran. Tapi dua orang di dapur ini seperti asyik sendiri.

Tiga puluh menit kemudian, Papa dan Kinan muncul di dapur. Kinan langsung lari ke kamar. Dia sudah kelaparan. Cepat-cepat shilat dan mandi, lalu ke meja makan. Papa juga naik ke kamarnya. Mandi karena badannya lengket keringat.

Mereka makan malam pukul tujuh. Aneska sudah bersiap menyendok tumis cumi setelah Mama mengambil untuk Papa. Sendoknya sudah menyentuh piring tumis cumi dan kalimat papa membuatnya terbelalak.

"Eh, Papa lupa. Kamu ajak Reygan makan di sini, Nes. Papa tadi lupa nawarin. Anaknya di rumah sendirian."

"Ya?" Aneska tidak salah dengar, kan?

Semua orang menatap Papa dan Aneska bergantian.

"Namanya Reygan, Pa?" Maya berkomentar tidak jelas. "Temen kamu, Nes?"

Aneska protes. "Kan dia pasti udah makan di rumahnya sendiri, Pa."

"Tapi mamanya pulang malam."

"Dia paling beli makanan di luar, Pa. Udah gede juga. Pasti-"

"Anes!" Papa lelah dibantah.

Aneska menciut di kursinya. Tangannya yang tadi terjulur ke piring tumis cumi, ditariknya kembali.

Maya terkekeh melihat wajah adiknya yang memerah. Kinan tidak terlalu memperhatikan. Dia sibuk dengan tumis cumi kesukaannya.

Mama yang paham distuasi segera berdiri. Mengambilkan satu set bekal untuk nasi dan lauk. Mama juga membawakan brownis satu loyang. Ah, Mama.

"Tapi kan Anes nggak tahu rumahnya, Pa." Dia mencoba merengek siapa tahu berhasil.

"Dekat lapangan komplek. Cat warna abu-abu."

"Rumah yang warnanya abu-abu kan banyak..."

"Cuma satu, Nes. Astaga, kamu bikin Papa kesal."

Aneska segera berdiri sebelum Papa menatapnya tajam. Mama sudah selesai menatap nasi dan lauk. "Nih, sekalian kamu makan di sana. Kasihan kalau Reygan makan sendirian."

"Kok gitu? Aku nanti makan sendiri di rumah aja, Ma."

"Ini udah Mama kasih lebih. Jadi percuma, nanti kamu pulang, lauk udah habis sama Mas kamu."

Lalu Aneska menatap piring Mas Kinan yang berlimpah lauk. Naik ke wajah Mas Kinan yang asyik menekuri piringnya. Dia heran. Ke mana larinya semua makanan yang masuk ke dalam perut Mas Kinan?

"Anes kalau nyasar gimana-" rengeknya lirih. Menatap Mama, meminta bantuan.

"Nggak akan nyasar, Anes! Kalau kamu diculik nih, yang nyulik pasti mikir lima kali." Maya yang mendengar, berteriak sebal.

"Kok gitu?"

"Nggak bakal ada yang kuat nyeret kamu. Udah sana!"

"Aku nggak gendut!" Aneska menghentakkan kaki dan meninggalkan meja makan.

****

"Gue gendut?"

"Hah?" Reygan yang membuka pintu, terkejut mendapat pertanyaan itu. Tanpa hujan, angin, hanya diiringi petir di atas sana Aneska muncul di rumahnya.

"Jawab!"

"Iya."

"Iya kenapa? Gue beneran gendut?" Reygan hendak menutup pintunya. Aneska sigap menahannya dengan satu kaki. "Gue mau nganter makanan buat lo."

Reygan menatap apa yang dibawa gadis itu. Menimbang-nimbang apakah harus dia terima atau ditolak saja.

Soal makan dia simpel. Dia makan apa saja. Reygan berpikir cepat, membuka pintu lebih lebar.

Aneska melangkah masuk dia tidak terlalu memperhatikan isi rumah Reygan. Dia mencari ruang makan, meletakkan kotak di sana dan membukanya.

"Udah taruh aja di situ. Jangan dibongkar. Gue makan nanti."

"Masalahnya jatah makan malam gue ditaruh di sini juga sama Mama. Dan gue lapar." Aneska tidak menerima penolakan. Dia tanpa permisi sudah mencari piring dan sendok, juga untuk Reygan.

"Segini?" Aneska menyendokkan nasi di piring Reygan.

"Kebanyakan."

Aneska menggunakan ukuran makannya Kinan. Wajar kalau kebanyakan.

"Segini cukup?" Dia mengurangi porsi nasi.

Reygan mengangguk. Dia memperhatikan bagaimana Aneska menuangkan lau ke piringnya. Tanpa menghentikan gerakannya, dia bertanya. "Lo nggak alergi cumi-cumi, kan?"

"Gue makan apa aja."

"Bagus!"

Aneska sudah bersiap duduk ketika Reygan meraih piringnya dan melangkah ke tangga. "Bawa minumnya."

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Aneska tidak protes dan menurut saja. Dia meraih dua gelas air putih di meja. Menyusul lelaki itu yang sudah sampai di lantai dua.

"Makan aja ribet banget," gerutunya.

Pintu balkon terbuka lebar. Ini bukan balkon biasa. Begitu naik ke lantai dua, Aneska pikir akan ada beberapa sekat ruang. Tapi begitu dia sampai di anak tangga terakhir, dia harus sedikit menganga melihat ruangan besar tanpa sekat. Dan semuanya kamar Reygan. Untuk mencapai balkon, dia harus melewati tempat tidur Reygan yang bernuansa monokrom itu.

Termasuk hiasan-hiasan yang menempel di dinding. Foto-foto di bingkai, lalu ada sebuah lukisan. Aneska tidak sempat emperhatikan banyak, Reygan sudah memanggilnya.

Mereka duduk di kursi rotan yang ada di balkon. Aneska yang memulai pembicaraan. "Papa gue lo pelet, ya?"

"Kenapa emangnya?"

Aneska dengan mulut penuh mencoba menjelaskan. "Ya gila aja. Cuma lo yang bisa ngajak Papa bicara. Akrab, lagi." Sudah, jangan kebanyakan memuji, nanti Reygan besar kepala.

"Papa lo asyik, kok. Mas Kinan juga."

Aneska melotot horor. Jadi Mas Kinan juga dekat dengan Reygan? Sebenarnya apa yang mereka bicarakan tadi sore?

"Gue ngerti sedikit-sedikit soal mobil. Dan nyambung sama Papa dan Kakak lo." Reygan merasa harus menjelaskan.

Aneska merasa tidak ada yang perlu diributkan soal itu. JAdi dia makan dengan tenang. Reygan juga menandaskan nasi di piringnya dalam sekejap.

"Soal foto di dinding..." Aneska menoleh ke belakang lalu menatap Reygan. Dia sengaja menggantung kalimatnya.

"Keluarga."

Tapi foto itu usang. Seperti diambil puluhan tahu lalu. Tidak ada satu pun foto baru di sana. Satu-satunya lukisan juga terlihat tua.

"Mereka di mana?"

"Mama keluar kota tadi siang."

Aneska menggigit bibirnya. Tanya lagi atau ganti topik?

"Mau lihat lukisannya?" Reygan berdiri. Aneska mendongak kaget namun tetap mengikuti langkah lelaki itu.

Aneska kira lukisan ini biasa saja, seperti lukisan kebanyakan. Tapi ketika Aneska berdiri di hadapan lukisan ini, dekat sekali, Aneksa bisa merasakan sebuah kehidupan. Dia meraba pelan dengan tangan kanannya. Merasakan jika lukisan ini dibuat dengan hati.

Berlatarkan warna jingga yang memenuhi kanvas, ada kawanan burung yang terbang. Di sisi lukisan terdapat beberapa pohon. Tempat mereka pulang. Ada rawa-rawa yang memantulkan warna langit.

"Beli di mana?" Aneska bertanya spontan dengan takjub.

"Bukan beli, tapi dikasih."

Aneska menatap Reygan di sebelahnya. Yang juga tenggelam dengan lukisan di hadapan mereka.

avataravatar
Next chapter