webnovel

Beginning Of The End

Jari jemari nan lentik itu tampak begitu lincah menari di atas papan tik yang berkerlap-kerlip banyak warna. Kedua mata sayu dari balik lensa minus empat itu bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah mengejar tetikus yang lari dari ujung ke ujung layar monitor setiap kali mesin pencarian menemukan hal baru. Kaki mungilnya mengentak-entak lantai mengikuti irama musik hip-hop yang mengalun lantang melalui gawai.

Nadia Lestari, tidak ada satu pun yang tidak mengenalnya. Satu-satunya gadis atau bahkan individu gila yang dengan nekatnya menantang tatanan dunia baru secara terang-terangan. New World Order is just another bullshit. Same shit different name, begitu caranya mengejek orang-orang rakus yang ingin memonopoli sumber daya yang tersisa pascaperang nuklir lima tahun silam.

Di kala itu tahun ajaran baru sekolah masih terasa hangat oleh murid-murid kelas satu yang hanya bisa manut ketika diplonco para kakak kelas atas nama Masa Orientasi Siswa. Dari koridor lantai tiga Nadia hanya menonton dalam diam walaupun dia anggota OSIS atau lebih tepatnya mantan ketua yang sudah lengser. Baginya acara seperti itu bagaikan sebuah penyakit mental yang entah bagaimana susah sekali untuk disembuhkan.

"Ah, mati aja deh kalian semua. Orang-orang dulu udah susah-susah ngilangin perbudakan. Sekarang kalian malah mau nerapin lagi dengan mengatas namakan tes mental? Bener-bener sakit jiwa kalian." Nadia berbisik.

Ucapan adalah doa begitu banyak orang dulu bilang. Dalam kurun waktu yang begitu singkat alarm peringatan berbunyi berkali-kali hingga rasanya gendang telinga mau pecah. Seluruh siswa langsung berlari terbirit-birit menuju bungker terdekat untuk menyelamatkan diri.

Nadia hanya termenung di tempat dia berdiri. Menatap kosong jamur putih raksasa yang kian merekah menyentuh langit jauh di ujung mata. Dalam hitungan mili detik kedatangan angin panas menyapu tubuh mungilnya bersama bangunan sekolah setinggi empat lantai. Semua dinyatakan meninggal dunia, seharusnya. Tetapi, sebagian kecil bisa bertahan dan entah bagaimana ceritanya susunan sel dalam tubuh mereka bermutasi termasuk Nadia. Ada yang tubuhnya menjadi berotot dan berkulit sisik macam reptil, ada juga yang menumbuhkan ekor dan kedua kakinya menjadi seperti kaki harimau. Namun, ada juga yang tidak berubah sama sekali dan masih menjadi manusia pada umumnya, Nadia termasuk di dalamnya.

Dalam waktu singkat tatanan dunia diputar balikkan oleh individu-individu yang punya agenda terselubung. Ada yang mengatas namakan kedigdayaan manusia mutan, ada pula yang menyerukan utopia perdamaian setiap orang dan masih banyak lagi kelompok-kelompok yang tidak mungkin dijabarkan satu demi satu.

Seiring berjalannya waktu ketika sumber daya alam semakin menipis para kelompok ini mulai bersitegang dan saling mengadu kekuatan siapa yang paling layak untuk menguasai. Pertempuran tanpa akhir yang berlangsung selama tiga tahun akhirnya usai tanpa ada pemenang karena ada pihak lain yang muncul dari balik keretakan dimensi yang disebabkan oleh pertempuran antar kelompok.

Kedua pihak yang berdatangan dari langit mengaku sebagai Malaikat dan Iblis. Mereka diutus sebagai bentuk penghakiman terakhir dan memutuskan siapa saja yang layak untuk tetap hidup dalam dunia baru yang akan ditentukan oleh pihak pemenang. Perang Suci antara pihak pendukung Malaikat dan pendukung Iblis mulai terbentuk, kemudian perang yang jauh lebih mengerikan terjadi tanpa bisa dihindari.

Nyawa tidak lagi ada harganya, semua orang bisa membunuh tanpa ada konsekuensi sama sekali. Bahkan hanya karena salah paham atau berebut makanan saja orang bisa kehilangan nyawa. Nadia merasa tidak cukup kuat untuk tinggal dalam lingkungan seperti itu dan memutuskan untuk meninggalkan koloni yang dipenuhi oleh pihak pendukung Malaikat.

Menjadi bagian dari orang terasing itu tidak mudah karena setiap kali ingin membeli sesuatu pasti akan jauh lebih mahal dari harga pasar. Itu tidak bisa dihindari bagi orang-orang yang menyerah dan tidak mau ikut andil dalam pembentukan masa depan dunia. Dalam seminggu bisa satu kali makan roti keras sudah menjadi satu hal yang amat mewah bagi Nadia karena hidupnya yang terluntang-lantung tanpa arah.

Area perkantoran yang dahulu penuh sesak kini hanya menyisakan sayup-sayup angin yang sesekali berembus. Nadia menempati salah satu gedung tempat di mana pihak lain yang datang melalui retakan dimensi tinggal. Mereka independen, tidak mengenal kawan maupun lawan meskipun perawakannya tidak jauh berbeda dengan para Malaikat atau Iblis. Setiap kali mau masuk Nadia harus memastikan bahwa pintu yang mau dia lewati harus kosong. Setelah itu dia bermain petak umpet dengan nyawa sebagai taruhannya.

Ruangan berukuran 6x5 meter yang berdiri cukup kokoh di antara reruntuhan menjadi tempat satu-satunya bagi dia untuk berlindung dari ancaman luar. Selama menjadi orang terasing Nadia mengetahui bahwa dia bisa mengalirkan listrik dari tubuhnya meskipun tidak cukup kuat untuk melawan para manusia mutan apalagi Malaikat atau Iblis. Akan tetapi, dia tetap bersyukur dengan segala keajaiban yang diterima karena tidak mengubah bentuk tubuh sedikit pun.

Setelah mengetahui kemampuan yang dimiliki, Nadia menghabiskan hari-harinya sebagai pemulung barang bekas elektronik khususnya spare part komputer. Dalam kurun waktu satu bulan lebih empat hari komputer 'sampah' rakitan tangan Nadia dapat dioperasikan dengan sangat baik bila dilihat dari kondisi saat ini. Tidak hanya itu Nadia juga mendapatkan banyak gawai yang masih bisa berfungsi cukup baik, namun karena tidak adanya sinyal membuat kumpulan gawai tersebut tidak lebih dari sampah.

Hari untuk menjual hasil mengais dari reruntuhan tiba pada akhirnya. Satu buah baterai ukuran AAA yang kebetulan sudah dia aliri sedikit listrik untuk menaikkan harga barang dan banyak potongan keping tembaga yang terlihat masih sangat layak jual.

"40 ribu, mau ambil dan kalau keberatan silakan cari pedagang lain," kata wanita paruh baya bermata satu, karena satunya ditutup layaknya bajak laut.

"Bisa ditukar dengan roti dan air aja nggak?" tanya Nadia terdengar serak.

Wanita paruh baya itu meninggalkan kursinya. Nadia hanya bisa tertunduk lesu menahan air mata yang sebentar lagi akan menetes. Namun, sebuah pintu samping terbuka.

"Masuklah," ajak wanita paruh baya itu sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.

"Permisi," kata Nadia sedikit berbisik sebelum memasuki ruangan.

Nadia dibawa menuju ruang makan sederhana yang hanya muat untuk dua orang saja. Sebuah pendaran cahaya dari langit-langit cukup untuk menerangi ruangan. Di atas meja makan terdapat dua mangkuk sup air dengan kentang yang masih mengepul, kemudian di sampingnya ada dua buah potong roti yang kalau dimakan bisa menimbulkan sensasi gigi patah ketika mengunyahnya.

"Duduk dan makanlah selagi masih hangat."

Nadia hanya menurut tanpa protes, tapi belum berani makan sebelum tuan rumah mulai. Setelah tuan rumah sudah tiga kali menyuapkan tiga potong kecil roti ke dalam mulut, Nadia baru berani mulai makan.

Makanan hangat memang nomor satu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama Nadia bisa menyantap sesuatu yang nyaman walaupun terasa hambar. Ini jauh lebih baik ketimbang harus makan roti secara langsung.

"Namaku Farida." Wanita paruh baya itu mengenalkan dirinya sehabis makan. Meskipun matanya hanya ada satu, tapi Nadia merasa begitu tertekan ketika ditatapnya.

"Nama aku Nadia, Ibu Farida. Senang berkenalan dengan ibu." Nadia bangkit dari kursi, sedikit membungkukkan badan, meraih tangan kanan lawan bicaranya. Kemudian menyentuh punggung telapak tangan penuh kerutan itu dengan hidungnya.

"Ternyata kamu memang Nadia Lestari yang aku kenal. Syukurlah dunia ini belum mengubahmu sedikit pun."

Nadia tersentak sedikit kala melihat wajah yang sebelumnya begitu minim ekspresi kini meluluh dengan tatapan sendu. Nadia berusaha menggali kenangannya lebih jauh ke belakang untuk mencari tahu kenapa lawan bicaranya tahu nama lengkapnya. Setelah hampir lima menit berlalu Nadia langsung merangsek serta memeluk erat tubuh renta itu.

Farida Nur Hayati, seorang guru ekonomi yang mengajar di sekolah tempat Nadia menimba ilmu. Farida salah satu dari sekian guru yang disenangi oleh para muridnya. Setiap kali mengajar Farida selalu menganggap anak didiknya seperti darah daging sendiri dan tidak pernah bosan untuk berinteraksi secara langsung dari satu meja ke meja lainnya.

Nadia tidak bisa lagi menahan isak tangisnya ketika tahu bahwa ibu guru gembul favoritnya hanya tersisa kulit dan tulang saja. Nadia tidak bisa menerima kenyataan bahwa sosok pengganti ibu untuknya mengalami kehidupan yang sulit padahal dulunya sudah banyak berbuat baik.

"Kenapa kamu menangis, Anak Manis?" tanya Farida begitu lembut sembari mengelus-elus punggung anak didiknya yang tidak bisa berhenti bergetar.

"Nadia nggak terima kalau ibu harus hidup serba susah begini. Ibu itu baik, masakan ibu juga enak, suka traktir Nadia makan es krim, suka jajanin Nadia batagor, suka beliin Nadia bakso Mang Usep, suka ... suka ... huaaaa!" Tangis Nadia kian pecah kala mengingat kenangan masa sekolahnya yang sudah lama dia kubur dalam-dalam.

Nadia baru bisa berhenti setelah cukup lama menumpahkan seluruh emosi yang selama ini dia pendam seorang diri sebagai seorang manusia mutan yang dicap gagal oleh masyarakat dunia baru. Nadia meneguk air hangat pemberian Farida dengan pelan-pelan. Dia merasa begitu bersyukur saat ini karena ada seseorang yang dia kenal untuk berbagi.

"Sudah jangan ditangisi lagi. Sekarang lebih baik menatap masa depan daripada terus mengungkit-ungkit masa lalu."

Nadia mengangguk, lalu menyedot keras-keras ingusnya yang hendak keluar dari tempatnya.

"Sekarang ibu mau tahu kesibukan kamu akhir-akhir ini apa? Ikut-ikutan dengan yang lain atau ada kegiatan khusus?" tanya Farida perhatian.

"Nadia jadi pemulung, Bu, hehe." Nadia tampak malu-malu ketika menjawab pertanyaan dari gurunya.

"Tidak usah malu dengan perkerjaan kamu sekarang. Setidaknya itu lebih baik dari merampas hak orang lain. Ibu senang mendengarnya kalau kamu tidak seperti siswa lain."

"Ibu sudah ketemu dengan yang lain?"

"Kebanyakan dari mereka sudah lupa atau mungkin pura-pura lupa dan datang hanya untuk menjual hasil rampasan saja."

"Bu ... Nadia boleh tanya soal mata ibu yang sekarang mirip bajak laut?" Nadia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Oh, ini hadiah dari Jaka dua tahun lalu. Kalau tidak salah waktu itu waktunya untuk membayar pajak. Dia tidak punya uang buat bayar dan mengancam kalau ibu tidak memberinya uang, dia mau memakan ibu hidup-hidup. Padahal tanpa harus mengancam pun pasti bakal ibu kasih, tapi setelah ibu kasih mata kiri ibu malah dicakar sampai buta. Setelah kejadian itu ibu langsung memutuskan meninggalkan koloni tepat sehari mata kiri ibu diobati."

Mendengar hal tersebut ubun-ubun Nadia seperti mau pecah, wajahnya mulai memerah seperti kepiting rebus dan rasa ingin meninju preman sekolah gadungan itu semakin di ujung tanduk.

Siapa yang tidak mengenal murid paling bermasalah dan suka cari gara-gara dengan banyak siswa maupun siswi. Gayanya sudah seperti preman pasar, seragam dikeluarkan, celana ketat seperti pensil. Mending badannya bagus dan muka bak selebriti, badan kurus kering kerontang kurang gizi saja banyak tingkah. Begitu komentar Nadia yang membuat gempar seluruh sekolah.

Jaka dulunya satu angkatan dengan Nadia. Mereka berdua bagaikan dua magnet yang saling bertolak belakang, satu taat dengan aturan sekolah dan yang satunya pembangkang kelas kakap. Hampir semua guru menyerah untuk menghadapi Jaka yang setiap hari selalu saja ada tingkah ajaibnya yang membuat sekolah ramai. Berkat posisinya sebagai anak dari ketua yayasan semakin memperkuat alasan untuk dia berbuat seenaknya. Setidaknya begitu, tapi semua berubah ketika Jaka dengan nekatnya menepuk pantat Nadia di tengah keramaian kantin.

"Segitu miskinnya lu sampe nggak bisa sewa jablay, ha?" ejek Nadia setelah melayangkan satu kecupan telapak tangannya ke pipi kiri Jaka. Bahkan Nadia tidak ragu untuk melempar lima lembar uang senilai Rp. 100.000 ke muka Jaka. "Tuh ambil, mumpung gua lagi baik hati. Nggak usah bilang terima kasih karena gua emang suka berbagi sama orang yang serba kekurangan."

Setelah kejadian itu terbitlah surat peringatan dan surat panggilan untuk orang tua. Semua mengira bahwa Nadia akan dikeluarkan, tapi yang terjadi sebenarnya adalah orang tua Nadia malah membeli yayasan yang menaungi sekolah. Sehingga membuat Nadia menjadi murid yang paling tidak bisa disentuh di sekolah setelah melengserkan Jaka dari posisinya.

Akan tetapi, Nadia tidak seperti Jaka. Dia terlalu sibuk untuk menggunakan kuasanya sebagai anak pemilik yayasan dan berbuat sesuka hati. Banyak hal yang perlu dia benahi selagi masih punya wewenang untuk bergerak. Maka dari itulah Nadia begitu disenangi dan disayang oleh semua guru.

"Nadia pernah dengar kalau rumornya Jaka terpilih jadi pemimpin koloni baru, ya?"

"Bisa iya, juga tidak. Kamu tahu sendiri perangai Jaka seperti apa. Bukannya tidak percaya, tapi kalau dia yang memegang kendali pasti berantakan bukan main."

"Apa ibu tahu letak pastinya koloni yang dipimpin sama Jaka?"

"Kalau tahu memangnya kamu mau apa?" tanya Farida curiga. Dia tahu betul bagaimana hubungan kedua bekas anak didiknya ini. Jika mereka bertemu pasti bertengkar layaknya anjing dan kucing.

Farida paham betul bahwa kedua anak ini hidup dan besar di lingkungan yang saling bertolak belakang. Jaka hidup dalam siraman kasih sayang orang tua yang berlebihan sehingga merasa apa yang dia mau harus dikabulkan. Sedangkan Nadia hidup tanpa merasakan apa itu kasih sayang orang tua karena kedua orang tuanya sibuk bekerja di luar negeri. Farida masih mengingat betapa tidak percaya dirinya Nadia ketika berada di dekat orang tuanya sendiri seakan-akan merasa bahwa dirinya begitu kecil dan tidak berharga.

"Mau main aja. Siapa tahu masih ingat kalau dulu dia enggak lebih dari cowok mesum yang suka tepok pantat perempuan." Nadia menyeringai lebar. Sudah tidak sabar ingin membuat 'teman' lamanya babak belur. Meskipun dia belum tahu caranya bagaimana, tapi dia pastikan lelaki bernama Jaka itu akan membayar apa yang sudah dia lakukan pada guru favoritnya.