webnovel

Membawa Arwah

"Mana makanannya?!" Sentak Sholeh membuat Anes terkejut.

Hampir saja Anes tersedak makanan karena ulah Sholeh. Padahal hanya sebatas bertanya, hanya saja logat bicaranya seperti orang yang mau ngamuk lagi. Masalah rumah sudah setengah jadi. Sholeh sudah membangunnya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Anes sangat kesal ketika menghadapi Sholeh yang sedang kumat. Sholeh memang terkadang baik dan terkadang juga buruk. Ketika sedang kumat, maka dia akan sulit dalam hal mengendalikan diri, mungkin karena dia itu tempramental.

Semakin Sholeh mendekati Anes, maka tubuh Anes semakin bergetar. Dia yakin bahwa Sholeh belum sepenuhnya sadar dan kini sedang diselimuti emosi karena belum makan. Masak saja memakan waktu kurang lebih satu jam, sedangkan Sholeh orangnya tidak sabaran. Sholeh memang tidak pernah kasar kepada anak, tapi bukan berarti Anes tidak mengingat ataupun mengabaikan hal tersebut. Namanya juga manusia yang kadang kapan saja bisa berbuat salah, sehingga Anes memutuskan untuk berjaga-jaga agar tidak kena sasaran dari Sholeh. Lagipula tenaga laki-laki lebih banyak dibanding tenaga perempuan, sehingga kalau Sholeh sampai menggunakan kekerasan fisik, maka kemungkinan besar akan terasa sakit.

"Kenapa diam saja? Mana makanan buat Ayah?!" Tanya Sholeh ketika berdiri tepat di depan Anes.

Tubuh Anes semakin bergetar karena ketakutan. Kebenciannya terhadap Sholeh tertutup oleh rasa takut. Andai saja dia bisa melawan, maka dia yakin bahwa tubuhnya tidak bergetar.

"Disitu," sahut Tiya yang tiba-tiba datang membawa panci kotor bekas menanak nasi.

Bau tak sedap tercium jelas di indra penciuman Anes dan Sholeh, bahkan respon Sholeh pun seperti ingin muntah. Hal itu disebabkan karena bau nasi yang sudah basi dinanak. Segala sesuatu yang sudah basi pasti akan tetap basi, kecuali melalui prosesor tertentu dan itu bukan sembarangan proses.

Sorot mata Tiya menatap tajam ke arah Sholeh. Sebagai anak, dia tidak bisa berbuat terlalu banyak. Semakin banyak ngeyel, maka tandanya semakin akan dilihat maupun dianggap sebagai anak durhaka. Padahal Tiya dan adik-adiknya sendiri tidak sepenuhnya mendapat hak sebagai anak, meskipun itu hanya sebatas kasih sayang dan perhatian. Hanya tuntutan tiap hari yang terus menghantui mereka.

"Mana?" Tanya Sholeh.

"Di sana."

"Sana mana? Di sana ada tempatnya!" Ketus Sholeh ketika tidak mendapatkan jawaban jelas, meskipun itu hanya melihat sesuai dengan yang ditunjukkan Tiya.

Namanya juga orang lapar, bawaannya jadi lemas dan sedikit emosi. Kedua hal tersebut sulit sinkron karena rasa lapar akan muncul dalam diri setiap orang. Dari rasa lapar tersebut terkadang seseorang tidak bisa yang namanya mengontrol diri.

Tanpa sepatah kata pun Sholeh langsung menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh Tiya. Langkah kakinya terlihat terburu-buru karena dia sudah tidak tahan dengan rasa lapar. Cacing-cacing di perutnya banyak yang demo minta diisi asupan. Bukan hanya manusia saja yang butuh, melainkan cacing-cacing di perut pun juga butuh.

"Itu orang seperti sedang kesurupan," kata Tiya ketika jongkok di samping Anes. Tangannya terampil membenarkan tungku yang kondisinya agak berantakan. Siapa lagi kalau bukan ulah Sholeh. Tidak ada orang yang kurang kerjaan di rumah selain Sholeh saja.

Begitu pun Anes yang sedang mengumpulkan beberapa bekas kayu bakar yang tercecer di atas tanah. Bekas kayu bakar biasa disebut dengan arang. Kalau bekas kayu bakar tersebut hilang, maka membuat api dari tungku pun agak sulit karena tidak ada penahan panas.

"Kak Tiya seperti nggak tahu Ayah saja. Aku saja paling malas kalau dekat-dekat sama Ayah, bawaannya horor banget," kata Anes.

Kedua telapak tangan mereka terlihat cemong karena terkena arang. Selain membenarkan tungku, mereka juga mengumpulkan beberapa paku yang sudah berkarat untuk dijual. Biasanya terdapat beberapa paku yang menancap pada kayu, entah itu dalam kondisi masih bagus ataupun dalam kondisi sudah banyak karat.

Masalah paku tidak selamanya tiap hari ada karena biasanya paku itu ketika mereka membeli kayu bakar di warung, tapi kalau kayu nya mencari sendiri, maka tidak ada yang namanya paku bekas dalam proses memasak. Kalaupun ada hanya beberapa saja. Lagian kalau beli kayu harganya mahal, mereka lebih sering mencari daripada membeli mengingat bahwa kondisi ekonomi mereka hanya pas-pasan. Untuk makan saja susah, jadi mustahil kalau untuk membeli kayu. Terlebih di kebun masih banyak ranting-ranting kayu yang berjatuhan.

"Punya orang tua seperti dia harus ekstra sabar ya," kata Tiya.

"Aku setuju sama pendapat Kak Tiya, tapi lama-lama kalau diperhatikan makin membuat perut terasa mual."

Tiya mengernyitkan kedua alisnya. "Loh kenapa seperti itu?"

"Aku nggak tahu, yang jelas auranya bikin enek saja."

Tiya hanya menganggukkan kepala berkali-kali sebagai tanda jawaban dan paham. Pandangannya kembali ke arah tungku yang hampir rapi. Sesekali dia mengelap keringatnya menggunakan punggung tangan. Dari hal itulah membuat wajah Tiya ikut cemong.

"Kak!" Panggil seseorang.

Tiya pun mengalihkan pandangan menuju ke sumber suara tersebut. Kedua matanya terbelalak ketika melihat kondisi adiknya tidak seperti biasa. Dia menatap dari ujung kaki hingga pangkal rambut.

"Kenapa kamu terlihat kumuh dan baju kamu terdapat banyak bercak merah?" Tanya Tiya sedikit panik.

"Biasalah, Kak. Aku main sama temen-temen dan ini darah karena–"

"Karena apa?!" Tukas Tiya dengan sedikit meninggikan nada bicaranya. Buktinya Surya saja sampai terkejut.

"Sabar dong, Kak, aku kan belum selesai ngomong. Jadi, ini tuh aku main sama teman dan katanya dulu dia pernah terkena peluru beneran," jawab Surya. Tentu saja jawaban tersebut bukan malah menjadi jawaban, melainkan malah membingungkan bagi Tiya dan Anes.

"Terkena peluru beneran? Terus bagaimana kondisi teman kamu?" Tanya Tiya.

Anes pun angkat bicara. "Apakah banyak pihak berwajib yang berdatangan, Kak? Kalau berhubungan dengan darah pasti banyak banget orang yang berdatangan."

"Nggak ada siapa-siapa. Temanku saja terlihat biasa saja, cuma wajahnya semakin pucat karena kehilangan banyak darah. Dia juga nggak menangis menahan sakit," jawab Surya.

Deg!

Jantung Tiya berdebar lebih cepat dari biasanya. Sebagai seorang kakak, tentu dia paham betul bagaimana sifat adiknya. Apalagi akhir-akhir ini Surya lebih sering mengalami kejadian aneh dan bahkan di luar nalar manusia. Rasa khawatir kepada adiknya benar-benar menyelimuti diri Tiya, tapi dia masih terlihat berusaha untuk tenang agar tidak ada kepanikan yang terjadi. Segala sesuatu yang didasari oleh kepanikan, kemungkinan besar akan muncul rasa emosi.

"Kamu serius?"

"Serius, Kak. Teman aku saja berada di sampingku. Memangnya Kakak dan Anes nggak lihat?" Tanya Surya sangat polos.

Tidak heran lagi, Tiya sangat tahu betul bahwa Surya tidak bisa membedakan manusia dan hantu. Kini tubuhnya langsung merinding hingga bulu romanya berdiri. Baik di siang hari maupun malam hari kalau yang namanya horor tetaplah horor, pasti ada rasa kesan mistis.

"Nggak ada siapa-siapa. Kamu jangan macam-macam dan bawa arwah ke sini ya!" Kata Tiya diakhiri dengan sedikit ancaman.