webnovel

Cinta Dalam Kebutaan

Emosi Sholeh memuncak ketika mendengar ucapan Siti. Langkah kakinya maju beberapa langkah secara cepat mendekati Siti. Nampak dari urat tangannya tercetak jelas menandakan bahwa dia benar-benar emosi.

Surya mundur beberapa langkah karena dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Di saat keadaan seperti ini, pasti akan ada kekerasan fisik kembali terjadi. Bukannya Surya tidak mau melindungi Siti, tapi tubuh dan tenaganya yang kecil membuatnya tidak yakin untuk bisa melindungi. Secara tubuh Sholeh lebih besar dan dia kalau sudah kambuh tempramental, maka dirinya seakan dibutakan oleh keadaan. Sholeh tidak akan melihat siapa yang dianiaya untuk melampiaskan rasa kesal.

Bahkan Siti pun ikut mundur beberapa langkah ketika Sholeh semakin mendekati dirinya. Langkahnya mentok sampai batas pagar bambu. Dia berdiri di samping Surya. Akhirnya Surya pun geser ke samping karena ketakutan. Surya tidak ingin berdekatan dengan Siti karena resikonya cukup besar.

"Aduh, ampun!" Teriak Siti ketika rambutnya dijambak oleh Sholeh.

Surya meringis ketika melihat Siti menderita. Dia menutup kedua matanya menggunakan menggunakan kedua tangan. Apalah daya anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Surya hanya bisa berdoa agar masalah di depannya cepat selesai dan tidak akan ada kejadian buruk.

Semakin Siti mengadu kesakitan, maka semakin kencang pula tarikan Sholeh. Kedua matanya saja sampai membulat sempurna. Sholeh seperti orang kesetanan tanpa mengenal status keluarga, termasuk istrinya sendiri.

"Mentang-mentang bisa cari duit kalau ngomong suka seenaknya. Kamu mau ngerendahin aku sebagai seorang laki-laki?!" Bentak Sholeh semakin menjambak rambut Siti.

"Ampun, Mas!" Kata Siti lirih tak berdaya.

Di saat seharian sudah kerja dan malam untuk istirahat, bukan malah itu yang Siti rasakan, melainkan dia mendapat siksaan dari suaminya. Padahal Siti sudah sangat lelah dan tubuhnya saja pegal-pegal, tapi Sholeh malah memperlakukannya tidak baik, seperti orang yang tidak memiliki hati dan rasa kemanusiaan. Dia kalau sudah marah pasti akan bahaya. Baik bahaya untuk keluarga maupun untuk tetangga.

Tiap kali mereka ribut pun tidak akan ada tetangga datang untuk menolong. Semuanya seakan baik-baik saja. Jika menolong, maka sama halnya mencari mati.

"Kamu itu bikin aku malu di depan orang lain!" Teriak Sholeh sambil mendorong tubuh Siti. Hal itu membuat Siti tersungkur di atas tanah.

Siti menangis sesenggukan merasakan sakit di tubuhnya secara bertubi-tubi. Seakan rasa sakit karena bekerja tidak ada artinya bagi Sholeh. Padahal Siti bukan robot, tapi dia juga manusia yang memiliki tenaga dan perasaan. Mau bagaimanapun keadaannya, Siti juga ingin dimengerti oleh suaminya. Apalagi yang namanya perempuan itu butuh sandaran.

"Dasar perempuan nggak ada otak!" Maki Sholeh dengan napas terus memburu.

Semakin dada Sholeh terlihat naik turun cepat, maka artinya emosinya semakin menggebu-gebu. Tidak ada yang bisa mengatasi emosinya, kecuali memang Sholeh ingin menyudahinya. Namun, yang menjadi masalah ketika Sholeh belum merasa puas untuk menyalurkan rasa kesal.

"Aku kan ngomongnya nggak keras, Mas. Lagian perempuan mana yang mau diperlakukan kasar dan semena-mena. Aku nggak apa-apa kalau Mas nggak bekerja, tapi aku hanya ingin dimengerti dan diberikan kasih sayang seperti layaknya istri pada umumnya," kata Siti.

Tubuh Surya langsung lemas ketika mendengar kalimat yang diucapkan Siti. Pendengaran Surya masih benar-benar normal dan semuanya terdengar sangat jelas. Itulah mengapa terkadang Surya benci terhadap ibunya. Padahal sayang kepada diri sendiri itu sangat perlu, tapi itu malah sebaliknya. Siti lebih menyayangi Sholeh hingga dia lupa akan hak kebagian. Jadi, kalaupun Surya mau bantu melindungi Siti pun sama halnya dengan sia-sia, kecuali kalau Siti masih memikirkan hak kebahagiaan bagi diri sendiri.

"Kamu berani jawab ucapanku? Kamu pikir suara kamu nggak jelas? Apalagi rumah kita saja terbuat dari bilahan bambu. Punya otak, tapi pakainya di lutut!"

"Tapi memang kenyataannya memang seperti itu kan?"

"Berhenti mengejek diriku. Kamu tidak pernah mengerti diriku!"

Surya menatap Siti dan Surya secara bergantian. Dia tidak bisa membela dari di antara keduanya. Harusnya Siti sebagai istri tahu bagaimana sifat suaminya dan begitupun Sholeh harusnya tahu kewajiban sebagai suami. Mereka berdua kurang sadar diri. Lagi pula bibir Surya juga terkatup dan sulit untuk digerakkan.

Sholeh kembali melangkahkan kaki mendekati Siti. Kalau sudah seperti itu, mungkin akan ada kekerasan kembali. Siti pun mundur dengan cara ngesot. Hal itu membuat celananya kotor karena gesekan antara kain dan tanah.

"Kamu adalah istri yang tidak tahu diri. Kamu istri yang hanya bisa memalukan suami!" Ketus Sholeh sambil menekan kedua pipi Siti menggunakan tangan kanan. Setelah itu, dilepaskan dengan cara didorong. Lagi-lagi perbuatan Sholeh membuat Siti agak terdorong ke belakang dan itu membuatnya cukup kesakitan.

Siti semakin menangis. Dia merasakan sakit batin dan fisik. Rasanya dia ingin bercerai, tapi dia takut menjadi seorang janda. Bukan karena takut soal ekonomi, tapi soal status sosial. Dia tahu bahwa seorang janda di desanya pasti akan diejek maupun dipandang sebelah mata oleh tetangga. Sebab, jika bicara mengenai ekonomi, maka Siti bisa mencari sendiri. Bahkan dia juga sudah terbiasa mandiri tanpa bergantung kepada suami.

"Kamu memang jahat, Mas. Kamu nggak tahu bersyukur dan kamu itu egois!" Teriak Siti berusaha melampiaskan rasa kesal. Namun, satu detik kemudian dia menyesali ucapannya.

Semakin banyak menjawab maupun banyak berbicara, maka sama halnya ingin memperpanjang masalah. Padahal cukup diam saja pasti masalah dengan Sholeh akan cepat selesai. Mau bagaimana lagi karena orang emosi pasti akan lupa segalanya.

Sholeh kembali lagi mendekati Siti. Kini dirinya jongkok untuk mensejajarkan tinggi Siti. Tangan kanan Sholeh kembali menekan kedua pipi Siti hingga membuat bibir Siti mengerucut.

Sebenarnya Siti bisa mengibaskan tangan Sholeh dari dirinya dengan cara memukulnya. Namun, Siti tak kuasa melakukan hal tersebut. Ketakutan lebih menyelimuti dirinya hingga membuatnya tidak berdaya.

"Dengar baik-baik ya! Sekali lagi kamu menjelekkan diriku, maka aku tidak akan segan-segan menyiksamu. Ingat baik-baik bahwa istri yang baik adalah istri yang nurut kepada suami," kata Sholeh penuh dengan penekanan.

"Aku tidak pernah menjelekkan dirimu. Aku berbicara sesuai fakta dari kamu yang sering nggak kerja, suka main judi, dan bahkan yang paling bikin sakit hati ketika kamu main dengan perempuan di belakangku," kata Siti sedikit tidak jelas karena tekanan tangan pada pipi Siti.

"Itu karena mereka lebih menarik daripada kamu!" Bentak Sholeh semakin memberikan tekanan pada pipi dan itu membuat Siti semakin menangis karena kesakitan. Suara tangisannya pun semakin keras.

Semakin melihat kejadian di depannya, maka semakin membuat hati Surya hancur. Surya hanya bisa berharap ada keajaiban yang membantu Siti. Dia juga ikut nangis, tapi tanpa suara karena takut akan dimarahi oleh Sholeh.

"Apa-apaan ini!" Bentak Tiya yang tiba-tiba datang. Semua tatapan pun tertuju kepada Tiya.

Emosi Tiya cukup meluap melihat Siti terlihat menderita. "Lepaskan tangan Ayah dari pipi Ibu!"