1 1) Suami mendadak Impoten

"Mah, Senin sampai Jumat, papa dinas lagi ke Jogja. Berangkat dari sini Minggu sore, pulangnya mungkin Sabtu pagi. Mudah-mudahan tidak ada perubahan. Initinya sih tergantung sikon di sana aja," ucap Mas Randy saat aku rebahan di sampingnya yang sedari tadi duduk selonjoran di atas kasur sambil membuka ponselnya.

Biasanya dia membaca dan membalas pesan yang masuk sambil diselingi nonton video-video lucu dan unik. Wajah Mas Randy tampak begitu seksi dan tampan dalam balutan cahaya temaran kamar tidur kami. Walau usianya sudah mendekati kepala lima namun sepuluh tahun terluhat lebih muda.

Sungguh beruntung aku bisa menjadi miliknya. Saat menerima lamarannya dulu perbedaan usia yang lebih dari sepuluh tahun serta tidak diawali pacaran menjadi mempertimbangkan utamaku. Sejujurnya, dulu hanya setengah hati menerimanya. Namun setelah dijalani, semua sangat aku syukuri. Menjadi Nyonya Randy adalah anugerah terindah dalam hidupku.

"Emangnya harus sesering itu ngontrol proyeknya ya, Pah?" tanyaku seraya memeluk dadanya yang bidang di balik piyama garis-garis putih hijau mudanya. Baru lima hari yang lalu Mas Randy kembali dari Jogja setelah enam hari di sana.

"Mama tahu sendiri karyawan zaman now kaya gimana? Minim loyalitas, banyak menuntut hak namun lalai menkalankan kewajiban. Akhirnya mau tidak mau pimpinan harus selalu standby di lokasi," balas Mas Randy sambil menaruh pnselnya pada nakas.

Sebenarnya keluhan serupa akhir-akhir ini sudah sangat sering dilontarkan. Aku pun senantias memberikan saran agar mengganti pegawai yang dianggap loyo dan minim integritas tersebut dengan generasi produktif yang berkualitas, fresh, berintegritas dan bisa diandalkan.

Namun dengan berbagai alasan dan pertimbangan suamiku merasa tak tega mengganti mereka yang katanya hanya menjadi benalu perusahaan. Mas Randy memang tipe orang yang gak tegaan, apalagi kalau sudah menyangkut urusan perut karyawan dan keluarganya.

"Jangankan para kuli, para mandor, staf dan pegawai yang levelnya lebih tinggi pun kebanyakan bermental kuli dan penjilat. Akan terlihat kerja sungguh-sungguh dan maksimal bila diplotoin pimpinan, selebihnya ambyar!"

"Repot juga ya, Pah. Beban pekerjaan pimpinan jadinya semakin berat. Eh… tapi mama boleh ikut gak?" tanyaku dengan nada manja sambil memainkan janggunya yang baru tumbuh bekas dicukur dua hari yang lalu.

"Ikut kemana?" tanya suamiku seraya menahan tanganku yang sedang bermain-main di dagunya yang terasa kasar.

"Ya ke Jogja dong, mama kan udah lama banget gak main ke sana, kangen Malioboro. Boleh ya Pah? Mama pengen beli daster batik tulis yang original, hehehe," timpalku dengan nada yang semakin manja agar suamiku bersemangat mengajakku turut dalam kegiatanannya.

"Mah, kalau hanya daster batik sih, entar papa bawain yang banyak. Kan udah papa bilang, sekarang situasinya berbeda. Papa benar-benar sibuk kalau sudah sampai di lokasi. Nanti Mama merasa diabaikan. Papa gak mau itu terjadi," hibur Mas Randy seraya memeluk kepalaku dengan sangat lembut dan erat.

"Hmmm, perasaan dulu, Papa yang sering maksa ngajak mama. Sekarang malah kebalik, sudah hampir lima bulan Papa gak pernah ngajak mama jalan. Jangan-jangan sudah punya yang menemani di sana, hehehehe," godaku seraya meletakkan ujung jariku di bibirnya.

Untuk beberapa saat mata kami saling berpandangan dan entah mengapa Mas Randy tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah lain. Baru kali ini dia bersikap demikian, kalah mebalas tatapan mataku yang biasa-biasa saja.

"Jangan suka suudzon, pamali. Sikon yang berbeda Mah, buktinya kalau sedang biasa-biasa papa selalu ajak Mama. Lagian kan dulu papa masih seorang asisten. Tanggung jawabnya belum terlalu berat. Masih bisa nememin Mama jalan atau belanja disela-sela tugas. Sekarang gak mungkin bisa begitu." Mas Randy terus berusaha meyakinkanku.

"Iya sih, Mama juga ngerti. Tapi kan mama juga bisa jalan sendiri di sana. Biasanya juga gitu, lebih banyak jalan sendiri yang penting ada sopir yang nemenin."

"Itu dia masalahnya. Sekarang, sopir aja gak boleh kemana-mana. Dia harus standbye di lokasi," timpal Mas Randy.

"Masa sih?" tanyaku seraya mulai sedikit mengkerutkan dahi.

"Iya, biasalah gara-gara ada beberapa oknum sopir nakal yang memanfaatkan fasilitas perusahaan buat kepentingan sendiri. Bukannya standby nungguin pimpinan malah kelayaban jadi taksi online gelap." Suamiku menjelasakan dengan nada yang terdengar kesal.

"Masa sih sampai segitunya?" Kali ini aku dahi benar-benar mengkerut, kedua alisku mendekat dan tatapan kami kembali beradu. Tak lama kemudian tatapan Mas Randy kembali berlaih ke tempat lain.

"Mungkin Mama gak percaya. Tapi itulah fakta di lapangan. Jadi sekarag kendaraan dan drivernya benar-benar dipantau dari kilo meter dan penggunaan bahan bakarnya. Gak bisa di pakai jalan kemana-mana, kecuali mengatar tugas."

Aku terdiam beberapa saat. Andai bukan suamiku yang bicara, rasanya tak percaya jika para sopir itu sampai harus menjadi taksi online gelap. Setahuku pendapatan mereka sudah cukup besar. Aku lihat sendiri kehidupan kelurga Amran, sopir pribadi Mas Randy benar-benar sejahtera.

"Udah ah, jangan maksa. Lagian Mama kan udah sering ke Jogja. Nanti aja kalau ada proyek lagi di luar Jawa. Gak bosen apa di mainnya di sekitaran Jawa melulu, hehehe." Mas Randy memeluk dan menciumiku dengan mesra. Sungguh pandai dia merayu dan memanjakanku.

"Pah, seminggu besok kita kan gak bisa jumpa, padahal baru tiga hari Papa ada di rumah."

"Iya, terus?"

"Boleh gak malam ini, mama minta yang spesial banget dari Papa, ya, seperti saat awal-awal kita menikah, hehehe."

"Sayang, malam ini papa bener-benar lelah. Besok pagi-pagi sekali harus sudah ada di kantor untuk rapat koordinasi dengan semua jajaran direksi. Soalnya Pak Dirut mau terbang ke Belgia. Kalau gak salah hampir sebulan dia dinas di sana. Sama Pak Dirut juga tidak boleh membawa keluarga, hehehe."

"Hmmm.." Aku hanya bisa menggumam kecewa.

"Ya udah tidur yu, good night, honey," ucap Mas Randy seraya memeluk dan mencium keningku dengan mesra.

Sudah aku duga. Memakai pakaian tidur paling seksi serta berdandan paling cantik yang aku lakukan malam ini, akan kembali sia-sia. Semua yang ada pada diriku sepertinya benar-benar sudah tidak menarik lagi untuk membangkitkan hasrat dan gairah suamiku.

Setelah cukup lama merenung sambil telentang dan membasuh air mata yang sejak tadi meleleh membasahi pipi, aku bangkit dari tiduran lalu duduk bersila seraya menopang dagu tak tahu harus berbuat apa.

Suara dengkuran Mas Randy menandakan jika dia sudah tertidur dengan lelapnya. Membiarkan aku merenungi sendiri apa yang tengah terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami. Sudah hampir dua bulan Mas Randy sama sekali tidak memberiku nafkah batin dengan alasan yang nyaris sama.

Aku turun dari tempat tidur lalu berjalan mendekati lemari kaca. Untuk beberapa lama aku berdiri memandangi bayangangku di balik crrmin, untuk memastikan jika tidak terlalu banyak perubahan pada diriku.

Di balik cermin aku melihat sesosok seorang wanita berusia tiga puluh tujuh tahun yang tampak seperti berusia dua puluh tujuh tahun. Wajahnya masih cantik dengan rambut hitam lebat dan panjang. Tubuhnya yang dalam balutan baju tidur tipis menggoda tampak sangat seksi menggairahkan.

Aku kembali membalikan tubuh memandangi sosok lelaki gagah perkasa yang sedang mendengkur dalam tidur lelapnya.

Lalu aku duduk di sofa tepat di depan jendela. Dengan sangat pelan-pelan kusingkap gordeng, agar bisa melihat sisa-sisa hujan yang baru reda setelah dari siang tadi mengguyur bumi.

Suasana malam musim penghujan ini seharusnya terasa hangat dan menyenangkan. Pasangan suami istri yang lain tentu sedang berpelukan mesra melewatkan malam yang dingin dengan bermandikan keringat.

Entah sudah berapa purnama malam-malam yang dingin seperti ini harus berlalu tanpa kehangatan sedikit pun.

Sejatinya aku sudah sangat lelah dan bosan merasakan hidup sebagai istri namun bagaikan tak bersuami. Setiap malam kedinginan dan kesepian. Sudah tak terhitung lagi berapa galon air mata yang kutumpahkan hanya untuk menghiba agar suamiku memberikan kewajibannya atas hakku mendapatkan nafkah batin.

Kebutuhan materi semua telah tercukupi. Mas Randy lebih dari cukup memberikan segala fasilitas dan kewahannya pada istri dan keluarganya. Semangatnya senantiasa membara dalam memenuhi nafkah lahir, namun mengapa nafkah batin harus dikorbankan?

Haruskan aku mencari lelaki lain yang mampu menafkahi batinku?

Mungkinkah ini karma atas diriku yang tidak mampu mempersembahkan darah suci perawanan pada dia saat malam pertama dulu?

Tapi, bukankah itu sudah kujelaskan jauh sebelum menerima lamarannya. Walau tidak menceritakan secara detail, siapa yang merenggut kegadisanku dan bagaimana dia merenggutnya, tetapi aku masih mengingat jawaban Mas Randy saat itu.

"Tan, atas nama cinta, aku ikhlas dan rela menerimamu apa adanya. Aku berjanji apapun yang terjadi, akan tetap mencintai dan menyayangimu selamanya."

Ketika itu hatiku luluh, air mata menetes dan segenap jiwa ragaku ikhlas dan rela menerima lamarannya. Tapi, apa yang terjadi, kini kata ikhlas dan mau menerima apa adanya hanya bertahan beberapa tahun saja. Dia mulai mengungkit-ungkit sesuatu yang semestinya sudah tidak relevan untuk diperbedabatkan lagi.

"Tan, dulu aku ikhlas menerimamu sebagai istri, walau sudah tidak suci lagi. Masa sekarang kamu tidak bisa menerimaku sebagai suami yang sudah tidak bisa lagi menafkahi batinmu krena keadaan?" jawaban yang sangat menyakitkan sering kali dia lontarkan saat aku berusaha bicara baik-baik tentang keadaan dirinya.

Aku benar-benar tak mengerti. Sudah hampir dua tahun Mas Randy nyaris tak memiliki gairah lagi dengan diriku. Dia bahkan mengaku impoten tanpa menunjukan hasil pemeriksaan medis atau upaya-upaya lainnya untuk mengobati gangguan disfungsi ereksi yang dialaminya.

Haruskah aku pun ikhlas dan rela menerima suamiku apa adanya?

Sampai kapankah aku harus diam membisu dalam ketidak-pastian ini?

^^^

avataravatar