webnovel

GCDT 40

"Mas, menurut kamu, suami perempuan itu bagaimana ya saat tahu ternyata anak yang dia besarkan dan dia anggap putranya sendiri ternyata bukan anaknya," Dea menopang dagunya dengan kedua telapak tangannya. Kini mereka sudah berada di dalam kamar setelah Jerry menolak menceritakan lebih lanjut dengan dalih sudah malam.

"Kenapa kamu malah memikirkan orang lain hmm?" Rama menarik gemas hidung Dea dengan gemas, "sakit," keluh Dea manja, bibirnya cemberut membuat Rama semakin gemas dan segera mendaratkan kecupan singkat di bibir itu.

"Maaf, Sayang," kata Rama setelahnya dan menarik tubuh Dea yang tengah duduk di sofa kamar.

"Kau tahu, gara gara kau kabur, jatah kebersamaan kita jadi berkurang seminggu," bisik Rama terdengar seperti menyesal, "salah siapa suruh bawa istrimu itu kerumah kita, aku kan sudah membiarkan Mas Rama bersamanya!" ketus Dea karena tak terima disalahkan.

Rama tertawa gemas melihat keketusan Dea, "maaf sudah membuatmu bersedih, tapi percaya lah, aku sangat mencintai dirimu, dan hanya dirimu yang aku ingin kan," Rama mendaratkan kecupan di kening Dea.

"Apa kau tidak mencintai Raya?" Dea mendongak menatap lekat wajah Rama, di lihatnya pria itu menggeleng.

"Hanya dirimu," balasnya.

"Yakin?" goda Dea yang sebenarnya tahu dan yakin jika sang suami sangat amat mencintai dirinya dan terpaksa menikah lagi karena paksaan mama mertuanya, akan tetapi bagi Dea itu tetap penghianatan dan dia tidak suka itu.

"Mau bukti?" Rama menyeringai, dan dalam sekejap Dea sudah di bopong Rama. Dengan perlahan, Rama membaringkan tubuh mungil istri pertamanya. Malam ini kedua insan yang masih saling mencintai itu menyatukan tubuh mereka, berbagi peluh dan desah. Berbagi suka dan cita, berharap segera ada buah hati yang akan mengisi hari hari mereka dengan tangis ataupun teriakan mereka.

Beberapa menit setelah saling menyatu, keduanya sudah tidak tahan dengan gelombang cinta yang akan keluar. Dan pada akhirnya sepasang suami istri itu saling menyebut nama dan berakhir dengan erangan.

"Istirahat lah," kata Rama sembari mengecup kening Dea, dan kemudian menarik selimut menutupi tubuh polos mereka. Dea hanya mengangguk dan berusaha memejamkan kedua matanya, tubuhnya terasa lelah setelah melayani sang suami membuat dirinya cepat terbawa ke alam mimpi.

*****

Di kamar tamu yang berisikan Raya, perempuan itu berkali-kali mengumpat pada orang yang tidak tahu diri yang telah menganggu dirinya dengan tak berhenti menelepon dirinya.

"Ada apa?!" ketus Raya yang akhirnya mengangkat panggilan telepon tersebut, terdengar kekehan dari seberang dan itu membuat Raya semakin muak.

"Kembalilah padaku, suamimu itu tidak pernah mencintaimu," ucap pria di seberang yang membuat darah Raya memanas, "bukan urusanmu!!" ketus Raya yang semakin membuat pria yang tengah menghubungi dirinya terbahak.

"Kau berhasil menikahi pria yang kau cintai namun tak ada artinya jika dia tak mencintaimu dan kau tak bahagia," terdengar kata bernada cibiran dari pria itu, Raya hanya memutar bola matanya malas mendengar celotehan tak berguna dari sana.

"Oya, aku dengar suamimu itu menikah dengan dirimu karena istrinya tak bisa memberinya anak, lantas saat dengan dirimu kenapa dirimu tak juga hamil? Jangan jangan bukan istrinya yang tak subur, tapi...." pria itu menggantung ucapannya lalu terkekeh.

"Mas Rama ngga mandul, Ki," geram Raya pada pria di seberang, Rifky, pria itu adalah mantan kekasih dari Raya. Entah kenapa sampai sekarang lelaki itu tak menyerah mengejar Raya yang sudah berstatus istri orang.

"Dari mana kau tahu, bukannya dia sudah memiliki dua istri tapi tak juga bisa membuat kalian hamil," Raya hanya diam menanggapi ucapan konyol Rifky, akan tetapi ia juga membenarkan itu.

"Sudahlah, aku mau tidur," Raya memutuskan sambungan telepon tersebut sebelum Rifky sempat menjawab atau membalas.

"Rifky," gumam Raya lirih, muncul seringai di wajahnya dan otak licik saat terbesit ide menggunakan pria itu untuk menjerat cinta suaminya.

*****

Pagi harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Kening tante Vani mengkerut heran melihat wajah Dea yang terlihat sangat letih dan sedikit pucat.

"De, kamu sakit?" tanya tante Vani cemas, Dendi yang mendengar sang mama menyebut nama perempuan yang dia cintai ikut mendongak dan menatap wajah Dea yang benar terlihat pucat.

"Hanya lelah, Tante," jawab Dea jujur, karena memang itu yang dia rasakan.

"Ya sudah, nanti biar kamu tante temeni kamu ke dokter," ucap Tante Vani yang membuat Dea terkejut, "buat apa kesana?" Rama bertanya dengan sinis, merasa tak suka jika istri kedua ayahnya memperhatikan istri kesayangannya.

"Buat periksalah, Ram. Kasihan thu Dea pucat wajahnya, siapa tahu dia sedang hamil anak kamu," seloroh Tante Vani yang langsung membuat Dea menghentikan gerakan menyuap makanan ke mulutnya.

"Mana mungkin, buktinya udah 2 tahun, masih aja kosong itu perut," mama Abhel menjawab sekaligus mencibir, Dea hanya diam mendengar cibiran dari mama mertuanya.

"Dan itu, mantu tante apa juga hamil?Enggak 'kan? Jangan jangan yang nggak subur...." Dendi menyahut dan menggantung ucapannya, seringai tipis tampak di bibirnya yang agak kehitaman karena sering merokok.

"Den," tegur Dea dan Tante Vani bersamaan, Dendi hanya mengedikkan bahu tidak perduli dan melanjutkan aktifitas sarapan paginya.

Sedang Rama diam dan mencerna ucapan adik satu ayahnya, benar apa yang dia katakan. Sudah dua tahun hampir tiga tahun menikah dengan Dea dan sudah setahun menikah dengan Raya, kedua istrinya belum ada yang hamil juga. Jangan jangan benar ia yang tak subur, akan tetapi bukankah hasil test yang ia lihat saat pemeriksaan bersama Dea mereka di nyatakan sehat semua?

Tapi kenapa kedua istrinya tak juga kunjung hamil? Berbagai pertanyaan singgah di benak Rama, tiba-tiba mood untuk melanjutkan makan paginya hancur. Dea yang menyadari perubahan sikap suaminya merasa tak enak.

"Mas, ngga usah di dengerin ucapan Dendi. Dia memang kalau bercanda kelewat, ya 'kan, Tan?" Dea menatap muka Tante Vani dan kemudian melotot pada pria yang duduk tepat di depannya dan sedang melirik dirinya.

"Di dalam keturunan kami semua itu subur, jadi jaga ucapan kamu," Mama Abhel membanting sendok lalu menunjuk nunjuk wajah Dendi, papa Roy menghela nafas lelah.

"Ini mau sarapan atau adu mulut, kalau mau adu mulut sana keluar karena saya mau makan!!" papa Roy berteriak marah, semua yang ada di meja makan terdiam.

"Aku selesai," Rama meletakkan sendok lalu meraih gelas berisi air putih dan menandaskan isinya, lalu berdiri dan mendorong kursi yang dia duduki dengan kasar dan meninggalkan meja makan.

"Mas," Dea memanggil Rama, sejenak perempuan itu kembali melotot dan melempar tissu yang sudah dia bentuk gumpalan pada Dendi, bukannya marah, Dendi malah tertawa senang.

"Dasar gila," umpat Mama Abhel dan Raya bersamaan, sedang Tante Vani dan Papa Roy hanya menggeleng pasrah.

"Mas tunggu, Dea," Dea kembali memanggil karena Rama mempercepat langkah kakinya menaiki tangga.

"Sshhh," Dea menghentikan langkahnya mengikuti Rama, kemudian mendesis sambil memegang perutnya yang terasa kram.