webnovel

Sekolah Favorit

Hujan turun membawa air dari langit. Tidak bagiku, hujan juga membawa kenangan. Sebongkah kenangan yang entah mengapa seketika membuat dadaku menjadi sesak. Sekarang, hatiku tak lagi memiliki ruang untuk mencintai hujan seperti dulu.

Rumah, 05.55

Ini adalah kisahku, namaku Adina Candra Elsa. Orang-orang lebih sering memanggilku, Adina. Aku adalah anak yang lahir dari orang tua sederhana. Ibuku hanyalah karyawan biasa di salah satu perusahaan kecil di kotaku. Ayahku entahlah, sejak kecil aku telah ditinggalkan olehnya. Tepatnya saat usiaku menginjak lima tahun.

"Adina, cuci piringnya sebelum berangkat." Omelan Yani bundaku, yang setiap harinya nyaris tanpa pernah libur. Persis setelah selesai sarapan aku disuruhnya membersihkan piring.

"Iya Bunda, udah aku berisihin tuh. Noh liat sendiri." Puas rasanya aku membalas omelannya itu.

"Iya-iya, makasih yaa Cantik," ujar Bunda yang saat itu berada di dalam kamarnya.

"Ayo berangkat Bunda..."

Ajakanku itu membuatnya sedikit terburu-buru. Setiap harinya memang kita berangkat berdua, dengan roda dua bermesin negeri sakura keluaran tahun 2015. Tidak terlalu tua untuk motor matic yang memang sengaja Bunda beli saat aku merayakan ulang tahun. Untukku begitu katanya.

"Sana buruan masuk, nanti keburu telat loh." Wanita cantik separuh baya dengan ekspresi manyun itu selalu aku lihat saat Bunda sedikit kesal.

"Iya Bunda, aku masuk kelas dulu."

Aku mencium tangan bundaku, setiap kali aku mau pergi. Aku mencintainya seperti aku mencintai diriku sendiri. Bagiku dialah penawar di saat semua masalah tiba-tiba memelukku secara kasar.

Sekolah, 09.00

"Aku bakal lebih giat belajar, seperti tahun lalu. Beasiswa berprestasi bakal aku dapetin lagi. Ini semua buat Bunda," gumamku.

Tiba-tiba cowok tampan sedikit menyebalkan itu mengagetkanku dari belakang kursi, tepat di belakang bangku yang aku duduk.

"Eh, ngapain belajar terus? Dah pintar masih belajar terus?" ucapnya.

Namanya Devano Samuel Escapra, anak 11 IPA 1 (kelas 2 SMA). Teman sekelasku, cowok tampan, badboy, anggota geng motor, dan anak tunggal pemilik perusahaan Emas, Escapra Gold Company. Sayangnya, dia adalah siswa terajin yang selalu hadir di ruang Bimbingan Konseling. Bukan karena prestasi, tapi karena masalah yang sering dibuatnya.

"Iish,..apaan? Biarin kek. Suka-suka akulah." Aku berbicara dengan nada sedikit membentaknya.

"Ihh..cupu kamu."

"Biarin...," bantahku.

Aku pergi meninggalkannya sendiri di kelas, dengan wajah kesal menuju ruangan outdor dengan banyak pepohonan dan bunga di sekelilingnya. Lima warung modern dengan beberapa meja dan kursi terbuat dari kayu jati yang di atasnya tidak memiliki payung. Estetik dan romantis menurutku. Aku bisa melihat awan di sini, tanpa pembatas. Anak-anak dari sini selalu meramaikan tempat terhits di sekolah.

Waktu itu masih jam istirahat. Siswa SMA Zidduya kebanyakan memilih untuk menikmati beberapa menu spesial di kantin ini. Salah satunya aku, nasi goreng bebek mbak Lastri. Favorit semua kalangan anak sini.

"Biasa ya Mbak," ucapku pada Mbak Lastri.

"Nasi goreng bebek sama es jeruk ya Din?"

"Iya Mbak," sembari aku menganggukan kepala.

Sekolah, 12.30

SMA Zidduya adalah sekolah menengah atas dengan segudang fasilitas kelas mewah yang ada di kotaku, Malang. Salah satu fasilitas yang aku sukai dan sering aku kunjungi adalah Balairoom Teater.

Ruang jumbo berukuran dua kali seluas lapangan basket, dengan dinding bercorak cokelat muda dan beberapa ornamen lampu klasik. Di dalamnya terdapat kursi besi cantik yang dapat dtempati lebih dari seribu lima ratus orang. Tidak tepat jika disebut ruangan, namun begitulah namanya. Ruang ini yang memiliki panggung utama yang sangat luas.

Aku menyukainya, seni teater dan ruangan ini. Apalagi di bawah hujan yang turun, aku paling menyukainya. Suasana kali ini cukup membuatku terdiam, hening dan menenangkan.

Hujan adalah canduku. Bagiku dialah penenang di saat aku terdesak. Saat dunia seperti tidak lagi bersamaku untuk mengajaku berbahagia. Aku mencintai hujan, seperti mencintai diriku sendiri. Terimakasih Tuhan, Sang Pemilik Hujan. Aku mencintai salah satu milik-Mu bernama hujan.

"Ngapain lama-lama di sini?" Cowok tampan dengan rambut pendek, kulit putih, tinggi dan populer di sekolah, bernama Devano itu.

"Terserah gua, mau ngapain!" Nadaku kesal karena sering diganggu sama dia. Entahlah, untuk apa dia begitu suka menggangguku.

"Kamu suka sama teater?," Dia bertanya dengan ekspresi penasaran.

"Iya suka, emang kenapa?" jawabku sedikit ketus.

"Gak apa-pa, nanya doing," ucap Devano.

"Kenapa basah-basahan gitu?" Aku bertanya dengan mata melihat bajunya yang dibahasi hujan.

"Tadi kehujanan dikit," Dia tampak tak begitu menghiraukan bajunya yang basah.

Rintihan hujan yang mengalun indah di atas atap rumah. Ditemani secangkir cokelat panas dan tentunya mie rebus dengan telur di dalamnya. Membuat seketika mulut ini tak bisa menolak, hanya untuk menikmati apa yang tersaji. Begitulah caraku menikmati hujan secara sederhana.

Rumah, 09.12

Ruang tamu dengan interior bernuansa retro, dindingnya cokelat muda, ada plafon putih di atapnya. Lantainya terbuat dari ubin kuning tua khas tempo dulu. Aku duduk dengan Bunda di kursi kayu jati, di depanku terdapat cokelat dan mie rebus dengan telur buatan Bunda tercinta, chef andalan di rumah ini.

Rumah kecil ini adalah peninggalan Kakek Buyut dari Bunda. Rumah yang telah menemaniku sejak aku dilahirkan. Sekaligus saksi bisu perjuangan Bunda membesarkanku sendirian, tanpa Suami. Maklumlah sejak kepergian Ayah setalah usiaku lima tahun. Ayah tak pernah datang mengunjungi kami. Entahlah, kini dia seolah telah menghilang untuk selamanya.

Ayah padahal aku benar-benar merindukanmu. Kunjungi kami, temui aku meski cuman sekejap. Kata Bunda, Ayah mengadu nasib di Jakarta. Ayah berusaha mencari peruntungan untuk masa depanku di sana. Berhari-hari, berminggu-minggu hingga bertahun-tahun sampai aku menjadi remaja di SMA. Ayah tak pernah kembali, seperti hilang di telan bumi. Aku selalu mengela nafas saat kala mengingat hal ini.

Tiba-tiba Bunda mengagetkan lamunanku.

"Gimana Din, enak nggak?"

"Buatan Bunda selalu enak, Adina suka Bunda." Aku sangat menyukai apapun yang selalu dibuatkan untukku, meski terlihat sangat sederhana.

"Belajar masak Din..!!" pintanya kepadaku.

"Buat apa Bunda?" aku bertanya.

"Kan kamu udah kelas 2 SMA, nanti kuliah. Habis kuliah kan nikah. Masak gak bisa masak."

"Bunda apaan sih? Adina masih belum kepikiran nikah!"

"Iya kan belajarnya dari sekarang Din." Seloroh Bunda yang sedikit kesal karena aku sulit dinasehati tentang hal ini.

"Iya-iya, besok-besok ya Bunda," jawabku sambil membersihkan bekas piring dan gelas yang habis kami gunakan.

"Udah bersih semua ya Bunda."

"Makasih ya Cantik."

Sekolah, 06.37

"Eh Din, bawa dasi lagi nggak?" tanya Devano kepadaku di kelas. Pastinya dia lupa tak membawa dasinya lagi. Wajahnya sedikit kebingungan, entah untuk keberapa kalinya dia tidak membawa barang itu.

"Kamu, gak bawa lagi ya?

"Lupa Din."

"Ah kebiasan sih kamu, apa sih yang kamu inget?. Nih ada tapi di kembaliin ya!" Aku sedikit kesal karena dasi yang aku pinjamkan minggu lalu katanya telah hilang.

"Iya-iya gampang."

Saat hari senin sekolah kami SMA Zidduya pasti akan melakukan upacara di lapangan. Selama upacara berlangsung sekitar 60 menit. Anak-anak Zidduya harus mengenakan atribut lengkap dan sesuai aturan. Para guru akan mengecek secara detail, termasuk dasi. Bila peraturan ini dilanggar maka siswa akan mendapat hukuman.

Teringat saat pertama kali bertemu, waktu semester satu di kelas 11 IPA 1 (2 SMA). Aku mendapati Devano sebagai siswa pindahan dari Jakarta. Beberapa bulan yang lalu, lebih tepatnya tujuh bulan yang lalu. Dia tinggal di Malang bersama sopir beserta pembantunya di rumahnya, kota Malang. Sedangkan ayah dan bundanya tinggal di rumah berbeda, kota Jakarta. Di sanalah Escapra Gold Company salah satu cabang perusahaan ayahnya berada.

Aku banyak mengetahui jika ayahnya jarang sekali mengunjunginya, karena kesibukan ayahnya sebagai pengusaha dengan grade international itu. Aku sebagai sesama anak tunggal sangat memahami kesedihan yang dialami cowok tampan seperti dia. Terlebih, dia hidup sendiri tanpa bundanya di rumah.

Itulah kenapa kita sangat akrab, dan mungkin karena itulah aku mulai mencintainya. Rasa itu ada namun entah sejak kapan.

***