webnovel

Ketahuan

"Nggak tahu Van. Dia di kamar. Udah di kasih minyak kayu putih sama Bu Asih tapi belum sadar juga," ucap Icha.

"Biar aku liat," kata Devano

Devano datang ke kamar UKS yang di dalamnya aku berada di sana. Aku memandanginya

penuh perasaan yang dalam. Aku tahu, bahwa ini bukan sakit. Bukan penyakit apapun. Aku hanya lemas dan sedikit pusing karena kecapekan setelah mengikuti pelajaran olahraga. Semua ini karena gejala kehamilan. Namun aku sudah siuman.

"Yang, apanya yang sakit?"

"Nggak apa-apa yang, cuman lemes sama pusing. Nanti juga sembuh kok."

"Kita periksa ke dokter ya?"

"Nggak usah Yang. Kamu kan tahu sendiri aku nggak kenapa-kenapa. Lagian kemarin juga udah ke dokter kan."

"Ya udah deh kalo gitu," Devano terpaksa mengiyakan.

"Oh iyaa...udah makan belum?" lanjutnya.

"Belum Yang. Pagi udah, tapi siangnya yang belum."

"Makan dulu ya?"

Bulir bening menetes dari kedua bola mataku. Tubuhku seakan disambar petir. Setelah semua kejadian pahit yang kami alami, lebih tepatnya kami lakukan. Aku masih bisa bersyukur karena dia mau bertanggungjawab, terlebih dia benar-benar mencintaiku. Aku yakin hal itu.

"Kenapa malah nangis Yang? Jangan nangis ah" Devano

"Nggak kok Yang, nggak apa-apa."

Dia sembari mengelap kedua mataku menggunakan tangannya. Matanya tidak bisa dibohongi jika dia benar-benar tulus mencintaiku. Dia memeluk tubuhku dengan posisinya yang berdiri. Kedua tanganku memeluk pinggannya. Sesekali dia mengusap lembut rambut di kepalaku.

"Ya udah, biar ditemenin sama Icha ya. Biar aku telpon juga si Ghandi. Biar rame," ucap Devano

"Iyaaa Yang," Jawabku.

"Kemana kamu, Gan? Ke kamar mandi lama banget. Cepetan ke UKS..!" Devano berbicara dengan Ghandi melaui ponselnya.

"Loh, siapa yang di UKS?" Ghandi bertanya dengan penasaran.

"Udah kesini aja.!" Devano kemudian mematikan ponselnya.

"Aku mau nyari makan buat kamu. Mau apa Yang?". tanya Devano kepadaku.

"Terserah Yang," ucapku

"Bubur ayam mau?" Dia menawarkan makanan.

"Boleh Yang, itu aja."

"Kalian pacaran ya?

Tiba-tiba Icha muncul dan bertanya degan ekspresi terkejut. Ternyata dia berdiri di pintu sudah sejak lama. Mungkin dia mendengar semua percakapan yang kami lakukan.

"Ehm...kami.." Aku bingung harus mengatakan apa kepada temanku.

Iya Cha, kami pacaran," ucap Devano spontan.

"Sejak kapan? Aku kok nggak di kasih tahu? Apa yang lain sudah pada tahu? Terus gimana bisa jadian....?" Icha nerocos terus ketika bertanya, tanpa henti.

"Diem dulu Cha, nanti aku jawab," kata Devano.

"Oke-oke.." Icha mengangguk dengan ekspresi yang belum puas.

"Jadi gini Cha. Aku sama Adina udah sekitar dua bulan lebih pacaran. Bunda juga udah tahu. Tapi temen-temen belum ada yang tahu, kecuali kamu. Kami nggak backstreet, tapi emang jarang ngepost pacaran di sekolah. Takut pada heboh sendiri di sekolah," Devano menjelaskan kepadanya.

"Oh..gitu. Selamat ya buat kalian. Jadi pengen deh punya pacar, hehe."

Icha kemudian malah tersenyum dan merasa ikut bahagia mendengar kami telah berpacaran.

"Itu si Ghandi pas dateng. Pacar kamu tuh," kata Devano.

"Eh kalian, gimana kondisinya Adina?" Ghandi berjalan mendekati kami sembari bertanya kondisi kesehatan Adina.

"Apaan sih? Kami belum pacaran Van," celetuk Icha.

"Tuh kode loh Gan," ledek Devano sembari tertawa kecil, nyengir.

Mereka tersenyum-senyum berdua. Ekspresi manis, saling menatap satu sama lain. Entah akan berakhir seperti apa hubungan mereka. Saling suka namun belum pacaran. Ah aneh sekali.

"Adina nggak apa-apa. Kalian bantuin jaga," pinta Devano kepada mereka.

"Gimana kejadiannya kok bisa Adina masuk sini?" ucap Ghandi.

"Tadi tuh, Adina pingsan di kelas pas habis jam olahraga. Tiba-tiba aja gitu. Terus bu Asih ngegendong dia ke sini. Aku juga ikut." Icha menjelaskan kepada Ghandi.

"Aku tinggal dulu ke kantin," kata Devano.

"Oh iyaa...Kalian berdua jagain Adina. Pacar aku jangan dijadiin obat nyamuk," lanjutnya.

"Iyaa-iya beres, kami jagain?" ucap Ghandi.

Devano pergi meninggalkan kita bertiga.

"Hah..mereka pacaran Cha?".

"Iya Gan. Aku juga baru tahu loh tadi." Icha memberitahu Ghandi.

"Gila, kita nggak tahu apa-apa," jawab Ghandi kepadanya.

"Terus Cha? Gimana bisa jadian? Mereka kan temanan? Lanjut Ghandi bertanya dengan penasaran.

"Aish... kenapa sih kalian?" aku menimpali mereka berdua yang dari tadi membicarakan kami.

"Ngomongin aku sama Devano di depanku?" Aku sedikit kesal dengan omongan mereka.

"Bukan gitu Din. Kalo kami tanya kamu. Pasti kamu nggak jawab kan?" bantah Icha.

"Iya udah aku jawab. Satu pertanyaan aja," kataku.

"Oke-oke. Kita mau nanya apa Gan?" tanya Icha kepada Ghandi.

"Hmm..mereka jadiannya dimana?" usul Ghandi.

"Nah, kami udah ada pertanyaan Din. Pertanyaannya..." kata Icha kepadaku.

"Aku udah tahu Cha. Kalian ngomongnya di depanku."

Aku makin sedikit kesal dengan ulah mereka. Lucu tapi nyebelin. Memang benar suasana jadi rame berkat mereka ini. Benar kata Devano tadi.

"Aku jawab ya.. Devano nembaknya pas di rumah," lanjutku.

"Hah..kapan?" mereka berdua kompak seperti pasangan suami istri.

"Satu pertanyaan udah habis," jawabku.

"Pelitnya itu loh.." bantah Icha.

"Iyaa nih. Pelit," kata Ghandi yang setuju dengan Icha.

"Ya udah iya, aku jawab. Puas kan kalian?" ucapku.

Hehe.." Ghandi tersenyum.

"Kita menang.." Icha sembari memberi kode tersenyum kepada Ghandi.

"Aku di tembak di kamarku sama Devano, pas malam-malam," jawabku.

"Hah.." Icha dan Ghandi kompak terkaget mendengar jawbanku.

"Iyaa..kalian inget kan pas malam hujan. Kita semua ngerjain tugas bikin konsep drama dari Bu Asih. Kita bareng-bareng di rumahku." penjelasanku.

"Kenapa aku nggak tahu Din? Aku kan di kamarmu sama Devano?" bantah Ghandi.

"Aku juga nggak tahu loh. Padahal kita sekamar Din," bantah Icha.

"Waktu itu emang Icha sama Bunda di kamarnya bunda," ucapku.

"Aku nganterin obat nyamuk elektrik ke kamarku, kan ditempatin sama Devano sama Ghandi. Nah, waktu itu Ghandi di kamar mandi, lama banget. Jadi Aku sama Devano di kamar berdua. Udah deh, aku ditembak terus jadian." Aku melanjutkan menjelaskan pada mereka.

"Oh gitu toh," kata Icha

Aku jadi tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat kejadian itu. Cowok tampan itu sangat manis dan mempesona. Ah, pacar idaman. Aku tidak menyangka bisa berpacaran dengannya. Terlebih siapapun cewek di sekolah ini, kebanyakaan pasti mengingikan posisiku. Siapa yang tidak suka dengan cowok setampan dan semanis Devano? gumamku sendiri.

"Eh kalian pada ngobrolin apa sih?" tanya Devano.

"Kita nggak ngobrol apa-apa kok. Ngobrolin si Ghandi." jawabku yang malu bila harus jujur.

Icha spontan menjawab, "Iyaa, iyaa betul."

"Oh gitu." Devano mengangguk .

"Nih Yang, dimakan dulu. Bubur ayam enak nih. Kesukaan aku," tanganya menyodorkan sebungkus makanan.

"Kamu suka bubur ayam Yang?" aku bertanya dengan penasaran.

"Baru tahu loh aku. Besok kapan-kapan aku ajakin makan bubur ayam kesukaan Bunda." lanjutku.

"Loh..Bunda juga suka bubur ayam?" tanya Devano.

"Iyaa Yang, udah suka dari lama," Aku sedikit menjelaskan.

Dia membawa dua bungkus bubur ayam. Ditaruhnya ke meja dekat kami. Satu bungkus bubur ayam itu dibuka lalu diambilnya sendok di plastik yang sama. Dia menatapku.

"Mau aku suapin? Ini bukan pertanyaan. Jangan nolak." pintanya kepadaku.

"Iya udah Yang, boleh," ucapku.

Aku menjawab dan kemudian bubur pertama dalam suapan sendok meluncur pada mulutku yang mungil dan merah ini. Entah mengapa aku bisa sebahagia ini. Menikmati momen bersama Devano.

"Kok cuman dua bubur ayamnya?" tanya Ghandi.

"Kalian beli sendiri," ucap Devano.

"Ah pelit nih. Orang kaya tapi pelit." bantah Ghandi.

"Iya, ya pelit nih," kata Icha.

"Nih...beli sendiri di kantin," ucap Devano.

Dia membuka kantong saku dan membuka dompet berwarna hitam. Mengeluarkan tiga lembar uang kertas bergambar dua bapak pendiri bangsa Indonesia. Di taruhnya uang itu ke meja.

"Cukup kan?" tanya Devano.

"Wah rejeki nih Cha. Ayo kita gas...hehe." kata Ghandi.

"Rejeki anak sholehah itu Gan namanya," Icha sembari tersenyum senang.

"Ayo meluncur, daripada di sini dijadiin obat nyamuk." sindir Ghandi kepada kami.

"Nah kan, temen nggak ada adab. Udah dikasih duit malah disindir." jawab Devano yang sedikit kesal.

"Kami pergi dulu Din, cepet sembuh ya," kata Ghandi

"Iyaa, Din. Semoga cepet sembuh.," Icha mendoakan.

"Makasih Gan, makasih Cha," kataku.

***