webnovel

Duka

"Siapa lagi? Tentu saja!" Si gempal ini pasti suruhan Tuan Bazan. Pemimpin keluarga Bazan yang nyentrik itu.

Lelaki tua tersebut tampaknya sudah kehabisan cara, kemungkinan besar ia jengkel bukan kepalang dengan cucunya. Kabur dari rumah hampir tiga bulan.

Martin sangat yakin atas pemikirannya ini. Hanya saja dia tak habis pikir bagaimana bisa orang-orang ini mampu memburu mereka sampai di perkampungan pelosok desa.

Dalam kebingungan menghadapi sekelompok orang yang menyudutkan dirinya.

Nana muncul. Gadis itu baru tiba di pelataran rumah Laras dan lekas berlari mendekati Martin.

"Dia tidak ada di sini!" Nana dengan nada tinggi melawan pria berbadan kekar.

"kalau kalian tak percaya. Geledah saja!" ujar Nana berikutnya. Menantang mereka.

Dan benar saja dalam waktu kurang dari tiga menit mereka menggeledah seluruh ruangan. Rumah joglo sederhana itu di periksa sampai kolong-kolong meja.

Keluar dengan wajah kecewa. Tanpa berkata-kata sekelompok orang berpakaian hitam tersebut kembali ke mobil mereka.

"Kau sangat cerdas Na...," Martin berbisik pada sahabatnya.

"Aku memang cerdas. Kau baru tahu," gadis ini membanggakan diri, "apa perlu kita beri tahu kalau Leandra mencuri mobilmu?"

"Jangan!" celetuk Martin tiba-tiba.

"kamu mau jadi malaikat penolongnya lagi?! Martin! yang benar saja!" Nana menyatukan alisnya tidak percaya.

"Hai...," gadis ini entah bagaimana hendak memanggil mereka. Memanggil orang-orang berpakaian hitam.

"Apa yang kamu lakukan!!" Martin menangkap mulut Nana. Mendorongnya ke belakang kala seorang dari mereka menoleh. Akibat panggilan Nana.

"Masuk! Aku bilang masuk!" Sempat membalik badannya dan melotot pada Nana.

Perilaku Martin kali ini terlihat mengerikan. Dia tidak pernah melakukan tindakan tersebut. Sekalipun. Jadi Nana lekas menurutinya.

Sampai orang-orang suruhan keluarga Bazan pergi. Rio dan Martin secara kompak memberitahu penduduk kampung: "Mobilnya tidak hilang...,"

"Mobil itu di bawa teman kami, percayalah," gelombang warga kampung surut dan rumah joglo ini kembali sepi.

Giliran tiga anak muda yang tersisa di dalamnya. Salah satu dari mereka tertangkap berjalan mondar-mandir. Martin berusaha menemukan ide terbaik untuk mengatasi masalah ini.

"Kenapa kau tak jujur saja! Mereka pasti akan mencari cara menemukan mobilmu! Aku yakin suruhan keluarga Bazan lebih pandai melacak Leandra dari pada kita," Nana bukannya menenangkan Martin. Gadis itu malah mengomel tiada henti.

"Masalahnya Laras dan Bu sumi nggak ada! Sadar nggak sih kamu! Nenek di kursi roda juga nggak ada!" sergah Martin dengan nada jengkel membalas celoteh Nana.

Nana menoleh ke beberapa arah. Rio lekas bangkit menuju ruang tengah.

"Benar!" kata Rio terkejut oleh keadaan.

"Mana mungkin Leandra kabur bersama mereka?! Cobalah berpikir?!" Martin menodong Nana dengan pertanyaan.

"Semalam. Laras bangun. Aku pikir dia pergi ke surau lebih awal," Nana mencoba mengingat.

"Guys! Lihat! Aku menemukan telepon Leandra," Rio yang salam tidur di dekat Leandra menemukan sesuatu di bawah selimut.

"Jadi Leandra tidak mempersiapkan kepergiannya dengan matang, aku percaya hilangnya Laras dan keluarganya pasti bagian dari hilangnya mobilku," Martin membuat dugaan.

"Siapa yang punya nomor Laras? hubungi Laras sekarang," ini perintah Martin.

Nana dan Rio menggelengkan kepalanya.

"Ah! Iya! Aku yang punya nomornya." Pemuda berkulit putih bersih tanpa kelopak mata ini lekas menyahut telepon genggamnya. Memainkan jemarinya di atas telepon genggam. Sejalan kemudian ia memekik: "Apa nama kontak Laras!!"

Nana menyahut benda di tangan Martin. Dalam perjalanan persahabatan mereka yang bertahun-tahun lamanya. Baru kali ini Martin menunjukkan ekspresi panik.

"Teman Tania, aku menyimpannya begitu!" ini suara Nana.

"kau ini na!"

"Hush! Diam!" Nana meletakkan telunjuknya di atas bibir. Dia menelepon Laras.

***

Di rumah sakit umum Dr. Soedomo.

"Keluarga ibu Lastri," sepiker rumah sakit yang berasal dari ruang UGD memanggil nama seseorang.

"Panggilan untuk keluarga ibu Lastri,"

Pada panggilan ke dua Laras tertangkap bangkit dari duduknya. Gadis yang sejak tadi membeku seperti patung itu akhirnya bergerak juga. Dengan ekspresi wajah yang konsisten sebeku air es di kutub sepertinya ia hendak menyambut panggilan.

Melihat Laras meninggalkan kursinya. Leandra membuntuti di belakang.

Gadis itu menuju ruang resepsionis UGD. Sejalan kemudian salah seorang dari petugas administrasi UGD mengunjukkan Laras lorong menuju sebuah ruangan.

Leandra menatap papan nama ruangan tersebut. Dokter spesialis endokrinologi. Itu artinya nenek Selaras mungkin seorang pengidap diabetes.

Saat meminta duduk, sang dokter tersenyum pada Laras.

"Siapa dia?" dokter bertanya. Dia menatap Leandra.

Laras menoleh ke belakang. Dia baru tahu ada Leandra di sisinya.

"Teman saya," gadis itu akhirnya bersuara.

Leandra tidak mendengar Laras mengatakan sepatah kata pun. Sejak gadis tersebut keluar dari ruangan UGD.

Mendengar suaranya. Leandra merasa lebih lega.

Dokter meminta gadis itu duduk. Dan menatap Laras dengan tatapan teduh. Dia terlihat akrab dengan gadis ini. Leandra tahu dari caranya mengamati gadis yang menunduk tersebut.

"Sejak kapan insulin untuk nenek berhenti?" sang dokter berkata lembut.

"Aku.. aku minta maaf," Laras memainkan jemarinya. Dia memegangi ujung-ujung kuku-nya satu sama lain. Laras berbicara dengan bergetar.

Entah bagaimana, hal itu menjadikan Leandra menemukan rasa resah.

Leandra menyadari dia bukan tipe pria yang bisa merasakan rasa semacam ini dengan mudah. Dia sering kali melihat gadis merengek atau bahkan menangis di hadapannya.

Menangis sungguhan atau pura-pura. Supaya Leandra tidak memutus secara sepihak hubungan di antara mereka.

Tapi kali ini. Gadis itu berbeda.

Bulir pertama yang menetes dan mengalir di pipinya sangat menyakitkan.

Bulir itu lekas di sembunyikan. Laras lekas mengangkat tangannya. Mengusap tetesan itu dengan punggung tangan.

"Tidak apa-apa," dokter menenangkan.

Dan betapa mengejutkan bagi Leandra. Gadis itu menengadahkan wajahnya mengerjap-ngerjap beberapa kali. Seolah menangis itu di larang.

Jadi detik ini yang Leandra amati ialah gadis yang berusaha dengan sepenuh hati untuk menahan kepiluan di dadanya.

"Saya... Em...," Laras kembali bersuara. Suaranya masih bergetar. Gadis ini kemudian menggigit bibirnya berusaha menemukan ketengan diri. Dia menghirup nafas.

"Ya, sudah lah...," dokter mengelus pundak Laras. "berusahalah sebaik mungkin, aku tahu kamu gadis yang kuat," dokter menulis sesuatu.

Dan Leandra memilih pergi dari ruangan itu. Entah bagaimana dia tidak tahan melihat duka di wajah nona kasir.

Leandra perlu menunggu beberapa menit. Dia menatap pintu dokter spesialis endokrinologi. Dia tidak tahu kenapa dirinya berharap Laras lekas keluar dari sana.

Bahkan dia tidak mengerti kenapa hatinya menjadi demikian lega ketika dia mendapati pintu berwarna putih bergerak dan gadis dingin itu keluar dari sana.

Senang melihat Laras berjalan menuju kearah-nya. Gadis ini membawa secarik kertas ketika Leandra menatap benda itu dia buru-buru melipatnya dan memasukkan ke dalam saku celana.

"Apa aku boleh minta bantuanmu?" Gadis itu berkata. Matanya bertemu mata Leandra untuk pertama kalinya. Dia, agak berbeda dengan mata bulatnya yang berpadu dengan warna semburat merah.

"Tentu," Leandra melihatnya mengangguk ringan. Sebelum keduanya berjalan bersama.

____________________________

Hello, bantu saya dengan memberi komentar terbaik anda

Masukan pada perpustakaan

Peringatan! Jika buku ini berhenti update DM saya di Instagram

Sampai jumpa di hari yang indah

Nama Pena: dewisetyaningrat

IG & FB: @bluehadyan

Discord: bluehadyan#7481

Next chapter