1 PESTA

Zizi mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya. Harus diakui dia tidak pernah terlihat secantik ini sebelumnya. Gaun halter neck berwarna merah menyala membalut tubuh rampingnya. Tali yang mengikat lehernya dan bagian punggung yang terbuka memancarkan aura kulitnya yang jarang terekspos. Zizi terlihat elegan sekaligus seksi dengan potongan rendah di bagian depan gaunnya yang memperlihatkan garis leher dan belahan dadanya. Ini adalah pesta seorang pengusaha elit di kotanya. Dia tidak mau mempermalukan papanya di depan para kolega dengan penampilan jelek. Ditambah lagi, karena mamanya pasti telah mengeluarkan uang puluhan juta untuk membelikannya gaun, heels, dan perhiasaan yang dipakainya malam ini. Zizi merasa gugup. Ini pertama kalinya dia akan menghadiri pesta semacam itu. Dia menggantikan mamanya yang tidak bisa mendampingi papanya karena harus menemani adiknya di rumah sakit. Zizi memahami itu. Betrand lebih membutuhkan mamanya saat ini.

Zizi berbalik dan berjalan ke arah mamanya yang duduk di pinggir tempat tidur. Wanita paruh baya itu bersikeras menunggunya berangkat sebelum kembali ke rumah sakit. Zizi bisa merasakan hati dan pikiran mamanya berada di tempat lain. Matanya yang menanggung air mata pastilah karena memikirkan adiknya. Namun, mamanya tetap melaksanakan tanggung jawabnya membantu Zizi mempersiapkan diri malam ini.

Wanita itu berdiri lalu memeluknya erat.

Setelah mencium kedua pipinya, dia berkata dengan suara bergetar, "mama minta maaf. Kakak tidak perlu pergi ke sana seandainya keadaan keluarga kita tidak seperti ini."

Air mata yang dihalaunya akhirnya tumpah. Zizi berusaha tegar karena dia tidak mau menghancurkan make-upnya. Dia tidak punya sisa waktu banyak.

"Tidak apa-apa, ma. Abe lebih membutuhkan mama."

Zizi tersenyum, berusaha menguatkan mamanya dan dirinya sendiri.

Setelah hampir satu jam perjalanan, mobil papanya memasuki kawasan perumahan elit. Kepala Zizi berpaling dari jalan raya ke deretan bangunan mewah di kiri jalan. Sejak kecil Zizi selalu memimpikan tinggal di sebuah mansion mewah seperti istana itu. Rumah yang memiliki pilar-pilar tinggi, kolam renang, dan kebun bunga. Saat ini Zizi membayangkan dirinya berada di kamar tidur yang luas dengan kamar mandi yang dilengkapi bathtub marmer di dalamnya. Tempat tidurnya berukuran besar. Ada wardrobe panjang. Sofa dan meja di samping jendela kaca berukuran besar. Mobil papanya berhenti di depan sebuah pintu gerbang. Zizi menghela napas mengetahui dirinya kembali ke dunia nyata.

Papanya merogoh handphone, berniat menghubungi seseorang, namun segera diurungkan ketika melihat pintu gerbang terbuka secara otomatis. Papanya melajukan mobil melintasi halaman rumput kemudian berhenti di depan bangunan utama. Zizi terperangah melihat pemandangan di depannya. Rumah ini jauh lebih mewah dari rumah-rumah yang dia lihat tadi. Seorang pria berkumis dengan setelan formal serba hitam telah menunggu kedatangan mereka. Dia menghampiri dan membuka pintu mobil untuknya. Zizi keluar dari mobil masih dengan rasa takjub sehingga dia tidak sadar hanya mobil papanya yang terparkir di sana.

Pria berkumis tadi membawa mereka masuk. Sepi. Tidak ada tanda-tanda pesta. Zizi menoleh pada papanya. Tatapannya melekat pada punggung pria itu. Dia tidak menyadari tolehan Zizi. Sejak Betrand kecelakaan seminggu yang lalu papanya menjadi pendiam dan sering melamun. Papanya pasti sangat terpukul melihat keadaan Betrand dan memendam perasaannya sendiri. Anak itu mengalami cidera parah. Tulang rusuk, kaki, dan tangannya patah. Dia tidak sadarkan diri selama dua hari.

Zizi mengira pestanya berada di taman belakang rumah. Bukankah biasanya orang kaya mengadakan outdoor party? Zizi mengingatnya dari beberapa film yang pernah ditontonnya. Pria berkumis itu menaiki tangga. Mungkin saja pestanya di lantai atas, pikir Zizi lagi. Ketika menaiki tangga, rasa bahagia melambungkan hatinya. Ini adalah adegan yang selalu muncul di dalam imaginasinya. Tangganya mirip tangga istana di film Disney. Dia membayangkan seorang pangeran tampan pemilik istana ini mengapit lengannya dan berjalan beriringan menaiki satu persatu anak tangga. Zizi menggeleng. Dia masih waras tentu saja. Dia yakin pemilik rumah ini pastilah seorang pria tua. Namun tanpa bisa dibendung, muncul sebuah harapan dalam benaknya semoga orang tua itu memiliki putra tampan dan masih single.

Pria berkumis yang mereka ikuti membuka pintu lalu mengisyaratkan Zizi dan papanya masuk. Mata Zizi langsung menangkap seorang pria yang sedang duduk santai di atas sofa dan sama sekali tidak menyadari kedatangan mereka atau mungkin tidak peduli. Zizi menebak usianya di akhir 20-an atau awal 30-an. Dia berwajah bule. Kulitnya cenderung kecoklatan dan entah mengapa langsung mengingatkannya pada warna buah Zaitun. Rahangnya tegas. Alisnya hitam dan tebal. Warna matanya antara hijau dan biru. Dari tempatnya berdiri Zizi tidak bisa melihatnya dengan jelas. Satu hal yang jelas bahwa pria itu benar-benar terlihat tampan, lebih tampan dari wajah yang Zizi bayangkan beberapa menit yang lalu. Dia memakai setelan jas hitam dan kemeja berwarna putih dengan dua kancing atas terbuka yang memperlihatkan bulu halus di dadanya. Pria tampan ini memiliki aura seksi yang memikat. Zizi seperti menyaksikan langsung man in suit photoshoot. Dia jadi penasaran siapa pria ini sebenarnya. Rasanya tidak mungkin dia pengusaha kenalan ayahnya yang mengadakan pesta malam ini. Zizi lebih yakin pria ini juga tamu seperti mereka. Mungkin dia seorang model atau artis luar negeri yang menjadi tamu istimewa.

Pandangan mereka bertemu. Tiba-tiba saja pria itu tersenyum. Dia tersenyum padanya. Zizi merasakan dadanya bergemuruh. Pria itu berdiri dan berjalan ke arahnya. Zizi berdiri mematung. Dia berusaha menjawab senyum itu tapi sepertinya senyumnya gagal. Dia gugup luar biasa. Pria itu telah berdiri di depannya. Zizi menengadah demi memastikan warna matanya. Sulit untuk mempercayai dia bisa bertemu seseorang dengan mata berwarna hijau terang seperti ini. Setelah puas menatap mata hijaunya, Zizi baru menyadari pria itu telah menjulurkan tangannya. Zizi berupaya menyambutnya. Sentuhan tangannya terasa lembut di kulitnya dan mengantarkan kehangatan di jemarinya yang dingin. Pria itu kemudian membungkuk dan mencium punggung tangannya. Zizi merasa jantungnya akan meloncat saking kerasnya berdetak dan wajahnya memanas.

"Ternyata kamu jauh lebih cantik dari fotomu," kata pria itu dengan senyum menggoda.

Tidak ada aksen bule dalam ucapannya. Zizi yang tadinya tersipu malu kini menoleh pada papanya menuntut penjelasan dari maksud ucapannya. Papanya tidak bergeming. Wajah papanya terlihat pucat. Zizi tidak pernah melihatnya segugup ini.

"Ambilkan mapnya!" Perintah pria itu pada pria berkumis yang mengantarnya tadi. Seketika Zizi yakin dia bukan tamu di rumah ini.

Pria bermata hijau itu meraih mapnya dan menyodorkannya pada papanya.

"Anda boleh pulang," ucapnya, lebih terdengar seperti perintah.

Papanya meraih map itu dengan tangan bergetar lalu menoleh pada Zizi dengan kepala setengah tertunduk dan berucap lirih, "maafkan papa."

Kemudian semuanya berjalan dengan cepat. Zizi berhasil menangkap kilatan di mata papanya, ekspresi yang sulit dia pahami. Papanya berbalik dan berjalan pergi. Zizi pun berbalik dan mengambil langkah untuk mengejarnya, namun dia ditarik. Dia menoleh. Pria bermata hijau itu mencengkeram lengannya.

"Kamu tetap disini," ucapnya dengan suara tertahan.

Zizi menghela napas. Dia masih berusaha memahami apa yang terjadi. Kepalanya menoleh pada papanya yang sekarang telah menghilang di balik pintu diikuti pria yang mengantarnya tadi. Ketika pintu ditutup, dia tidak lagi mendengar suara langkah kaki. Tempat ini menjadi sepi. Sunyi senyap. Dia bergelut dengan pikirannya sendiri, teringat tujuannya datang ke sini untuk menemani papanya ke pesta. Sekarang, papanya malah pergi meninggalkannya dengan orang asing. Tidak ada pesta, tentu saja. Tidak ada pesta. Zizi menggeleng. Zizi kembali teringat map itu. Kepalanya tiba-tiba pusing. Dia tidak sanggup berpikir lebih jauh.

Tangan hangat itu masih mencengkeram lengannya. Zizi menghembuskan napas sambil menutup mata lalu menoleh pada pria itu. Mata mereka kembali bertemu. Zizi menunggunya mengucapkan sesuatu. Bibir pria itu mengatup rapat. Mereka saling berpandangan dalam waktu yang lama hingga dia merasakan cengkeraman di lengan satunya. Tubuhnya tertarik dan membentur tubuh pria itu. Dia seketika sadar dirinya dalam bahaya. Dia belum sempat memikirkan cara melepaskan diri, pria itu telah menciumnya. Dia berusaha berontak, tapi tubuhnya terkunci. Bibir pria itu terus melumat bibirnya.

Zizi mengayunkan kaki kanannya dan menendang tulang kering pria itu. Berhasil. Tubuhnya terlepas. Pria itu terjajar ke belakang. Zizi segera melakukan serangan kedua, namun kali ini pria itu berhasil menghindar. Zizi sadar dia tidak boleh menyia-nyiakan waktu untuk melawan. Meski pria itu sedang kesakitan, dia tidak akan menang melawannya. Yang harus dia lakukan sekarang adalah kabur. Dia segera berbalik dan berlari.

Beberapa jam yang lalu dia merasa sangat beruntung bisa memakai high heels bermerk ini, namun saat ini dia merasa sebaliknya. Salah satu kakinya terkilir dan dia hilang keseimbangan sehingga terjerembab ke depan. Zizi membuka mata dan menemukan posisi kepalanya masih jauh dari lantai. Entah bagaimana caranya pria itu berhasil menangkapnya dari belakang. Zizi memijakkan kedua kakinya ke lantai. Rasa ngilu menjalar dari kaki kirinya. Dia tidak bisa berdiri tegak.

"Sakit?"

Zizi terkejut mendengar bisikan pertanyaan yang keluar dari mulut pria itu.

"Kakimu terkilir," ucapnya lagi.

Pria itu telah bergeser ke depan dan saat ini sedang membungkuk untuk melepaskan sepatu di kaki kirinya. Zizi meringis ketika sepatunya ditarik. Pria itu mengurungkan niatnya. Zizi menghela napas.

"Duduk dulu," perintahnya.

Ini pasti karena kepalanya sedang pusing hingga Zizi menurutinya. Pria itu membantu mendudukkannya di lantai. Dia melanjutkan membuka sebelah sepatunya tanpa mempedulikan sama sekali dirinya yang mengerang kesakitan.

"Ini akan terasa sakit. Teriak saja."

Zizi belum selesai memproses ucapan pria itu namun dia sudah mendengar suara teriakan menggema di ruangan. Itu teriakannya sendiri. Zizi merasa kakinya seperti dipatahkan ketika pria itu mengembalikan letak urat kakinya yang terkilir dengan sekali hentakan. Zizi mengatur ulang napasnya sambil melihat tangan pria itu memijat kakinya.

Pria itu memberitahunya, "sudah."

Pria itu menarik kedua tangannya dari kakinya lalu memandang ke arahnya sambil tersenyum. Zizi tidak menunjukkan ekspresi apapun. Meski begitu, matanya terus mengikuti apa yang dilakukannya. Pria itu membuka sebelah sepatu di kaki kanannya lalu berdiri dan mengulurkan tangan. Zizi hanya menatap tangan itu tanpa bergeming sedikitpun.

"Kamu mau terus duduk di situ?" Tanyanya.

"Eh."

Zizi tersadar dari lamunannya. Matanya melirik uluran tangan itu. Dia berpikir sebentar sebelum memutuskan menolaknya. Dia memilih berdiri sendiri.

"Pelan-pelan," pria itu tetap membantunya berdiri.

Zizi menjawab dengan gumaman, "hmm."

Zizi menggerak-gerakkan kaki kirinya. Sudah tidak sakit lagi.

"Kamu bisa bicara kan?" Tanya pria itu sambil tersenyum.

"Apa?"

Zizi bingung dengan maksud pria itu mempertanyakan kemampuan bicaranya. Tentu saja dia bisa bicara.

Pria itu terkekeh. Zizi melihat pria itu sedang lengah. Sekarang! Batinnya. Dengan mengepalkan tangan kuat-kuat, Zizi meninju perut pria itu dengan kekuatan penuh, kemudian segera berlari menuju pintu. Kali ini dia berhasil melewati pintu. Zizi telah merencanakan ini sejak melihat pria itu memijat kakinya. Zizi tergerak untuk mengambil kesempatan sekecil apapun untuk melarikan diri.

Zizi terus berlari menuju tangga sambil berdoa semoga saja pintu utama tidak terkunci. Ada yang menarik gaunnya lalu tubuhnya melayang di udara. Pria itu berhasil menangkapnya dan dengan entengnya memanggulnya di atas bahu. Zizi berteriak dan memukul-mukul punggungnya. Tubuh pria itu tidak bergeming. Langkahnya semakin cepat. Zizi tidak menyerah begitu saja. Dia terus memukul dan menggerak-gerakkan tubuhnya untuk mengacaukan keseimbangan pria itu meski tidak berhasil sedikitpun hingga akhirnya Zizi merasakan tubuhnya terpelanting. Pria itu melemparnya ke atas tempat tidur.

Zizi menggulingkan tubuhnya ketika pria itu sedang membuka jas. Tubuh Zizi kembali ditarik bahkan sebelum dia berhasil meraih pinggir tempat tidur. Tubuhnya dilentangkan dengan paksa. Kedua tangannya terkunci. Tubuh pria itu kini berada di atasnya. Kedua lututnya mengunci paha zizi. Zizi menatap mata hijaunya. Guratan iris matanya nampak jelas. Hembusan napasnya yang keras menerpa wajahnya. Zizi dapat mencium aroma tubuhnya menguar. Wangi parfum mahal.

Zizi kembali mengingatkan dirinya dalam bahaya. Dia membenturkan kepalanya secepat dan sekeras yang dia bisa lalu segera mengangkat pahanya untuk menyerang selangkangannya. Tubuh pria itu jatuh menimpanya. Pria itu mengerang kesakitan. Zizi tidak bisa mengangkat tubuhnya yang berat. Dia menggeser-geser tubuhnya sendiri untuk melepaskan diri. Cengkeraman kuat kembali menarik tubuhnya. Mata hijaunya berkilat. Wajahnya berubah menyeramkan. Detik berikutnya pria itu menciuminya dengan ganas. Zizi melakukan perlawanan sebisanya namun serangan pria itu semakin menjadi. Dia merasakan remasan di kedua payudaranya. Zizi segera menjambak rambut pria itu setelah menyadari tangannya bebas. Pria itu menarik kedua tangannya dan mendudukinya. Zizi merasakan sakit yang luar biasa disebabkan hantaman pantat pria itu di perutnya.

Bunyi robekan gaunnya menghentakkan kesadarannya. Zizi melihat pria itu membuka branya. Kedua payudaranya tereksepos. Belum lagi Zizi menarik napas, mulut pria itu telah melumat payudaranya yang sebelah kiri. Pria itu menyedot dan menggigitinya. Serangan itu telah berpindah ke sebelah kanan. Zizi terlalu syok untuk melakukan sesuatu. Air matanya mengalir dan mengalir semakin deras seintens serangan di payudaranya. Dunianya telah hancur. Hidupnya telah hancur hanya dalam hitungan menit. Dia melihat masa depannya semakin buram lalu gelap. Dia mencoba memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah pria itu selesai dengannya. Dia tidak mungkin kembali pada keluarganya. Dia tidak punya muka lagi untuk menemui teman-temannya. Kemungkinan besar dia akan hamil. Apa yang akan dia lakukan selanjutnya? Apa dia akan menggugurkannya? Dia tidak tahu bagaimana caranya membesarkan seorang anak sendirian. Pikirannya terus berputar sampai menemukan rencana mengakhiri hidup.

Pria itu telah memasang kembali pengait branya. Dia kemudian melepaskan gaunnya dan membuangnya ke lantai. Zizi pasrah. Dia sadar dia tidak akan mampu melawannya saat ini. Pria itu berdiri di samping tempat tidur dan membuka ikat pinggangnya. Barangnya yang menekan perutnya masih mengacung dibalik celananya. Napas Zizi tercekat. Mata mereka kembali bertemu, namun anehnya Zizi tidak menemukan kilatan marah atau nafsu di wajahnya. Pria itu malah terlihat sama terkejutnya dengannya. Dia bergeser lebih dekat. Tangannya menarik kedua tangannya lalu mengikatnya dengan ikat pinggang. Dia juga menyelimuti Zizi tubuh hingga leher. Matanya memandangi wajahnya cukup lama lalu mencondongkan kepalanya untuk mencium keningnya. Zizi mendengar pria itu membisikkan sesuatu dalam bahasa asing sebelum pergi.

Zizi menghembuskan napas panjang ketika pintu kamarnya ditutup dari luar. Setelah apa yang terjadi setidaknya pria itu tidak sampai merenggut keperawanannya. Dia bahkan tidak menyentuh bagian bawah tubuhnya.

***

Andres menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia mengerang putus asa sambil menjambak rambutnya sendiri. Apa yang telah dia lakukan sama sekali di luar rencananya. Dan perbuatan bejat itu sama sekali di luar kebiasannya. Andres mengerang lagi. Tatapan ngeri gadis itu dan isakan tangisnya berputar-putar di kepalanya. Dia marah pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa lepas kendali? Bagaimana bisa dia berbuat seperti tadi pada gadis itu? Dia teringat ekspresi wajahnya setengah jam yang lalu ketika pertama kali melihatnya. Mata hitamnya yang bulat. Senyumnya yang malu-malu. Andres menoleh pada layar LED di kamarnya. Diambilnya remote dan menghubungkannya pada tangkapan kamera pengintai dari kamar gadis itu. Dia sedang berbaring menyamping. Andres sangat yakin gadis itu sedang menangis sekarang. Dadanya sesak. Ini pertama kali dalam hidupnya dia merasa sangat membenci dirinya sendiri.

avataravatar
Next chapter