webnovel

GILA

Iya, Andres meyakini fakta ke sepuluh bahwa Bella, gadis yang saat ini berbaring bersamanya, tangannya yang merangkul pundaknya, dan tatapannya yang mengunci wajahnya, mencintainya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Andres.

Bella menggeleng sambil tersenyum lalu menarik kepala Andres ke dalam pelukannya. Andres menarik tubuhnya sendiri sedikit ke bawah agar kepalanya bisa bersandar di dadanya. Payudaranya empuk. Lebih nyaman dari bantal. Andres dapat merasakan ketenangan dan kedamaian. Dia mengantuk lagi dan memejamkan matanya. Dia terbangun mendengar Bella berbicara dengan Mustar. Mereka berdebat kecil antara membangunkannya atau membiarkannya tidur. Mustar meminta Bella membangunkannya untuk sarapan sementara Bella bersikeras membiarkannya istirahat lebih lama. Andres tersenyum.

Bella mengalah. Gadisnya membelai wajahnya dan menggerak-gerakkan kepalanya pelan sambil membisikkan namanya. Andres enggan melepaskan pelukannya dan kepalanya dari dadanya. Dia hanya bergumam.

"Kamu harus sarapan," bisiknya lagi.

"No tengo hambre [Aku tidak lapar]." Andres terlalu malas berbicara dengan bahasa Indonesia saat ini karena dia harus mempekerjakan otaknya lebih keras agar menerjemahkan bahasa Spanyol yang digunakan pikirannya.

"Dia tidak lapar." Mustar menerjemahkan dengan nada kesal.

Andres merasakan pelukan Bella diperdalam. Dia kemudian membiarkan dirinya hanyut dalam tidur.

Andres terbangun lagi ketika mendengar orang berbicara. Kali ini yang terdengar suara Mustar dan Dika. Andres berbalik dan menoleh padanya.

"Mengapa lama sekali datangnya?" Andres bertanya kesal.

Dika tersenyum lalu menjawab, "aku sedang menangani pasien. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja sebelum ada yang menggantikanku."

"Kamu bisa membunuhku."

"Setidaknya kamu akan mati dalam kedamaian," jawab Dika sambil mengingatkan posisinya sekarang yang berada dalam pelukan seorang gadis.

Andres merasakan cengkeraman di lengannya.

"Tadi itu hanya, broma." Dia segera menoleh dan menjelaskan pada Bella, tapi otaknya tidak menemukan kata itu dalam bahasa Indonesia.

Bella menggeleng pelan. Wajahnya pias.

"Lelucon. Humor. Joke." Dia menyebut semua kata yang muncul.

Air mata gadis itu cepat sekali menggenang di pelupuk matanya lalu mengalir begitu saja.

"Mereka hanya bercanda." Mustar memberitahu.

"Iya, kami hanya bercanda." Suara pelan Andres terdengar serak.

Bella terkejut dan air matanya mengalir lebih deras. Andres segera memeluknya. Gadis itu menangis sesenggukan. Dia membiarkannya menangis hingga tangisnya mereda dengan sendirinya. Penjelasannya hanya akan membuat tangisnya semakin menjadi. Sama halnya dengan jika dia memintanya berhenti menangis. Andres melepaskan pelukannya.

"Kamu tidak percaya apa yang aku katakan. Tapi kamu percaya pada ucapan dokter kan?"

Bella tidak menjawab.

"Dika." Panggilnya.

"Iya." Jawab Dika lalu menjelaskan pada Bella, "kami hanya bercanda."

"Dia mengira aku sekarat." Andres memberi tahunya tanpa meninggalkan tatapannya dari Bella.

Dika tertawa. "Tidak. Dia masih bisa melempar tubuhku keluar kalau dia mau."

Andres melihat seulas senyum di bibir gadisnya. Dia melanjutkan, "dia juga mengira aku sedang menderita penyakit mematikan."

Andres melihat kedua bola mata hitamnya melirik pada Dika yang sekarang tertawa keras. Dia melihatnya tersenyum kecil sekilas lalu matanya melihat ke bawah. Bella malu. Andres mendaratkan sebuah kecupan di keningnya.

"Jangan mengkhawatirkan aku lagi," pintanya.

Bella mengangguk-angguk kecil.

Andres menyatukan keningnya dan menekan lembut hidungnya.

"Ehem. Aku tidak meninggalkan pasienku di rumah sakit untuk menonton drama." Dika memberi tahu.

Andres menarik kepalanya sedikit lalu mengumpat dengan suara tertahan. "Diam, bodoh!"

"Aku dimarahi karena datang telat. Sekarang aku dimarahi lagi karena mengingatkannya. Ada apa dengan adikmu ini?!" Tanya Dika pada Mustar.

"Kita tunggu di luar saja," jawab Mustar dengan tawanya.

Dika mengerang, "kita bahkan dianggapnya tidak ada!"

Andres melihat alis Bella terangkat dan bibirnya tersenyum lebar.

"Aku sudah boleh diperiksa?" Tanyanya pelan.

Bella mengangguk.

"Kamu tetap disini," suruh Andres lalu melepaskan pelukannya dan berbaring.

Dika bersiap-siap dengan peralatan medisnya.

"Tidak usah melirik padanya!" Andres memberi peringatan ketika matanya melihat Dika melirik pada Bella sebelum melilitkan manset tensimeter di lengannya.

"Kamu tidak mau mengenalkanku?" Pintanya.

"Tidak!"

Dika menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu tahu," Dika berkata pada Bella.

"Jangan bicara padanya!"

Dika pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan, "dia gila."

Andres mendengar suara tawa gadisnya.

"Kamu harus istirahat. Tidak boleh kecapaian. Tidak boleh begadang. Tidak boleh tidur pagi. Harus menyempatkan tidur siang." Itu pesan dari Dika setelah menaruh plaster kompres di dahinya dan memberinya obat.

"Aku sudah tahu," jawab Andres.

Itu pesan yang sama setiap kali dia jatuh sakit.

"Ya, tapi kamu tidak mengikutinya. Aku memaksamu untuk cuti sampai akhir pekan."

"Tidak bisa. Aku ada beberapa pertemuan penting besok. Hari sabtu-"

"Jangan membantah! Kamu sudah bekerja seperti robot selama bertahun-tahun. Ambillah cuti dan nikmati hidup. Pergilah liburan dengannya."

"Jangan menatapnya lama-lama."

"Kalau kamu meninggalkannya sendirian besok, aku akan menculiknya."

Satu bogem mentah menghantam pipinya. Dika tertawa sambil meringis.

"Kamu lihat. Dia tidak sedang sekarat," katanya pada Bella sambil memegang pipinya yang berdenyut-denyut.

"Pulanglah sebelum aku melemparmu ke luar," kata Andres masih dengan nada kesal.

"Oke. Jangan lupa makan. Aku akan mampir nanti sore." Dika menepuk-nepuk pundak Andres lalu mengambil tasnya dan berjalan pergi.

Dika berbalik, "ah, kamu harus mengganti upah kerjaku pagi ini dan uang transportasi masing-masing dua kali lipat. Dan jangan lupa, ganti rugi pada tindakan penganiayaan."

"Akan aku ganti 10 kali lipat," jawab Andres dengan seulas senyum di bibirnya.

"Lekas sembuh! Aku menyayangimu!" Dika mencium ujung jemari tangannya lalu melempar ciuman itu pada Andres lewat udara.

"Aku seperti pernah melihatnya," kata Bella setelah dua pria itu menghilang di balik pintu.

"Iya, dia pemilik rumah sakit tempat adikmu-" Andres tercekat. Dia menghela napas dan mengulangi perkataannya lagi sampai selesai, "dia pemilik rumah sakit tempat adikmu dirawat."

Sudah saatnya Bella mengetahui apa yang sedang terjadi padanya, tapi Andres tidak bisa memberitahunya sekarang.

Andres berkata lagi, "akan aku ceritakan kalau keadaanku sudah membaik."

Bella mengangguk. "Aku masih bisa menunggu. Kamu boleh menceritakannya kapanpun menurutmu itu waktu yang tepat."

Andres meraih kepala Bella dan menciumi bibirnya. Dia membutuhkan energinya kembali.

***

Zizi membuka tutup satu paper bowl bubur ayam, menaruhnya di atas nampan di atas nakas, lalu meringsek ke dekat Andres yang sedang menyandar di atas tumpukan bantal.

"Aku suapi?" Tanyanya terlebih dahulu.

Andres mengangguk. Zizi menyingkirkan tumpukan toping dan menyendoki buburnya. Matanya melihat pada bibir pucat Andres sambil menggerakkan sendok ke arahnya. Zizi merasakan getaran di tubuhnya. Bibir itu terbuka lalu tertutup sambil memasukkan bubur ke dalam mulutnya. Bibir itu bergerak-gerak pelan ketika giginya mengunyah. Ada sisa bubur menempel di bibir atasnya. Zizi menyodorkan satu sendok lagi sedangkan matanya terus mengawasi bibir itu. Setelah suapan ketiga, Zizi menaruh paper bowlnya di atas nampan. Dia memandang Andres yang saat ini kebingungan menatapnya. Zizi tersenyum tipis lalu menekan kedua lututnya sambil mengulurkan tangannya pada bahu Andres. Zizi memiringkan kepala sambil mendorongnya lalu membuka mulutnya kemudian menjilat bibir itu. Dia menelan sisa bubur yang berpindah ke lidahnya.

"Kamu bisa tertular penyakitku," protes Andres.

"Kalau memang menular, harusnya waktu kamu menciumku, kamu tidak memasukkan lidahmu di mulutku."

Andres menghela napas. Zizi menyeringai. Dia menjulurkan tangannya meraih paper bowl dan mulai menyuapi Andres lagi. Dia mengulanginya lagi dan lagi ketika melihat ada bubur menempel di bibir Andres sehingga Andres harus membersihkan bibirnya setiap selesai menelan buburnya.

"Kamu membuatku takut." Andres memberitahu setelah suapan terakhir.

Zizi tertawa. "Itu juga yang aku rasakan kalau kamu menyentuhku."

"Kamu balas dendam?" Tanyanya dengan mata menyipit.

Zizi mendekatkan wajahnya lalu menyenggol-nyenggolkan hidungnya pada hidung Andres.

"Bisa dibilang begitu."

Andres menghela napas lagi, "huft!"

Zizi tertawa senang. Kini gilirannya makan dengan tenang karena pria itu sedang tidak bernafsu menggodanya.

Beberapa menit setelah itu, ajudan masuk ke kamarnya membawakan Andres pakaian. Zizi menggunakan kesempatan itu untuk mandi dan berganti baju.

Gracias por todo

Giralda_Blancacreators' thoughts
Next chapter