webnovel

00. Three Children and Disappeared

"Lily, tolong timba air di sumur desa. Seember tidak perlu penuh." Anak kecil itu mengangguk semangat. Seorang wanita paruh baya tersenyum hangat pada anak kecil bernama Lily. Sungguh tak menyangka ia akan mendapatkan anak semanis dan sebaik Lily. Lantas Lily dengan semangatnya berlari ke belakang untuk mengambil ember dan segera berlari ke sumur desa.

Sesampainya di sumur, Lily melihat punggung seseorang yang sudah dihafalnya keluar kepala. Anak itu sedang mengantre sambil membawa ember di depan tubuhnya. Dengan langkah pelan dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara, lantas menepuk pundak sahabatnya itu dengan kencang sambil berteriak. Anak kecil yang dikagetkan itu balas menjerit lebih kencang, membuat orang-orang lain menatap mereka berdua.

"Sstt, diam dong, Del. Malu tau dilihatin." Anak kecil yang dipanggil 'Del' tersebut masih menetralkan detak jantungnya yang hampir copot, lalu menatap Lily dengan berkacak pinggang. Yang ditatap hanya cengar-cengir tidak jelas.

"Hai, Dandel. Mau nimba air juga?" Dandel masih sebal dengan Lily sehingga ia tidak menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya tersebut.

"Udah dong, Dandel jangan marah, ya? Nanti kita ke padang Dandelion, deh." Tepat dugaan Lily, anak perempuan itu menatap Lily dengan mata yang berbinar. Dandel suka bunga dandelion, tentu saja karena namanya sendiri adalah Dandelion Karve.

"Beneran?" Binar mata Dandel terlihat sangat menginginkannya. Lily hanya mengangguk sambil tersenyum. "Katamu jauh." Lily menggeleng.

"Aku bohong saat itu."

"Kecil-kecil kok sudah diajari berbohong." Tiba-tiba seorang pria berperut buncit dengan kumis tebal ikut menyeletuk dengan percakapan Lily dan Dandel. "Nggak benar nih didikan orangtuanya."

"Nggak usah bawa-bawa orangtua Lily!" Lily berteriak sambil menatap tajam pria buncit tersebut. "Kalau mau protes ya protes saja sama Lily, nggak perlu membawa orangtua Lily!"

"Dasar anak kecil sok berani." Pria buncit itu jelas tidak terima telah dibentak oleh seorang anak berumur sembilan tahun. "Kalau memang keluarganya tidak benar ya bicara saja!"

Tanpa diduga, Dandel segera menerjang pria buncit tersebut dan mendaratkan satu pukulan pada pipi kirinya yang membuatnya mendapat batingan keras karena dilempar oleh pria buncit tersebut. Lily menatapnya kaget dan segera berlari menghampiri Dandel yang sedang terkapar dan menangis kesakitan.

"Kamu ini orangtua apa, sih? Beraninya melawan anak kecil, tidak malu dengan kumis lebatmu itu? Cepat minta maaf pada mereka berdua!" Seorang wanita berwajah cantik yang menggenggam anak laki-laki di samping tubuhnya itu jelas tampak tidak suka pada perilaku pria buncit.

"Enak saja aku meminta maaf pada anak kecil. Anak itu yang menyerangku dulu." Pria buncit itu masih menatap angkuh.

"Minta maaf atau kulaporkan pada pihak berwenang karena menyakiti anak dibawah umur! Kebetulan suamiku salah satunya, nanti dia bisa kukabari." Pria buncit itu tampak pucat dan segera meminta maaf pada Lily dan juga Dandel. "Pulang sekarang! Jangan pernah menampakkan dirimu pada kedua anak ini!" usirnya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya wanita cantik tersebut pada Dandel.

"Apa tidak sakit dibanting begitu?" Anak laki-laki disebelah wanita itu bertanya polos lada ibunya. Membuat Dandel menangis semakin keras karena menjadi teringat bahwa ia terbanting. "Eh, apa Alder salah?" Anak laki-laki itu panik dan mulai ikut menangis.

Wanita cantik itu melihat Lily dan meringis. "Sudah-sudah, jangan menangis. Ayo kuantar ke klinik." Wanita cantik itu menggendong Dandel yang serasa tubuhnya remuk dan menggandeng tangan anak laki-laki bernama Alder sambil menenangkan kedua anak tersebut.

"Err, Tante?" Wanita itu menoleh sambil tersenyum.

"Ada apa, sayang?"

"Lily boleh pulang dulu untuk memberikan air ini pada keluargaku dan Dandel? Nanti Lily janji akan ke klinik." Lily menunduk tak berani melihat wajah wanita itu.

"Iya, tidak apa-apa, pulanglah. Dandel akan tetap menunggumu di klinik, Lily." Katanya sambil tersenyum hangat. "Sampai jumpa, sayang."

Lily mengangkat wajahnya dan tersenyum senang. "Sampai jumpa, Tante." Tangan Lily melambai-lambai semangat. Lalu namanya dan Dandel dipanggil, sudah giliran mereka rupanya. Lily membawa dua ember itu ke sumur dan mengisinya dengan air. Pertama-tama ia membawa ember milik Dandel terlebih dahulu untuk diberikan pada keluarga Dandel sekalian untuk mengabarkan kondisi Dandel.

"Permisi." Lily menyapa santun dari depan rumah.

"Eh, ada Nak Lily. Ada apa? Di mana Dandel saat kamu sedang berkunjung seperti ini?" Seorang pria yang bertubuh sedang, ayah Dandel tersenyum hangat pada Lily.

"Ee, Dandel sedang di klinik, Paman. Tadi dia terjatuh saat menolong Lily, maaf ya, Paman." Wajah Ayah Dandel terlihat menegang sebentar lalu senyum kembali terpoles pada wajahnya.

"Tak perlu meminta maaf, sudah sewajarnya dia membantu temannya bukan?" Seolah senyumnya suatu ukiran yang tak bisa dihilangkan, senyum itu masih setia terpatri di wajah Ayah Dandel.

"Paman tidak marah?" Lily masih menatapnya bersalah.

Ayah Dandel menggeleng. "Tidak. Paman justru bangga punya Dandel yang mau membantu sahabatnya dan kamu, sahabat Dandel yang baik."

"Terima kasih, Paman." Ayah Dandel mengangguk. "Eh, ini airnya Dandel, Paman." Lily meletakkannya pada undakan tangga rumah Dandel. "Lily pergi dulu ya, Paman. Lily minta maaf juga pada Bibi." Lily melambaikan tangannya pada Ayah Dandel yang sedang membalasnya dan mengangguk.

Lily akan kembali ke sumur dan mengambil embernya.

"Hai, Lily. Mau kubantu?" Seorang wanita paruh baya rada gemuk menawari bantuan pada Lily.

"Tidak usah, Bi. Terima kasih." tutur Lily dengan sopan sebelum ia mengangkat embernya dan pulang ke rumah. Lily harus segera pulang dan meletakkan airnya lalu mengunjungi Dandelion di klinik desa, sedikit jauh dari rumah Lily yang terletak di pinggir sungai perbatasan.

"Lily kok baru pulang?" Suara lembut nan halus datang dari dalam rumah, nadanya terlihat khawatir. Seorang wanita paruh baya--ibu Lily--keluar menghampiri anaknya dengan wajah tak kalah khawatir.

"Tadi di sumur rame banget, Bu. Terus, ada sedikit masalah juga. Jadi, lama pulangnya. Maaf, nunggu airnya jadi lama." Lily nenunduk. Ember yang tidak terisi penuh itu ia letakkan di hadapannya.

"Yang penting kamu tidak apa-apa," ucap ibu Lily sambil tersenyum lembut keibuan. "Memangnya ada masalah apa?" Ia mengelus rambut anaknya yang masih menunduk.

"Dandel sakit, jadi aku harus ngantar airnya dulu, sekarang Dandel sedang berada di klinik desa."

"Lily sudah jenguk Dandel?" Anak kecil itu hanya menggeleng sebagai jawaban. "Ya sudah, kamu ke klinik sana! Embernya biar ibu yang bawa masuk." Ibu Lily menepuk pundak anaknya pelan. Lily mendongak dan senyumnya merekah.

"Terima kasih, Ibu. Lily pergi dulu." Ibunya tersenyum melihat anaknya bersemangat.

Dengan semangat, Lily berlari menuju tengah desa, tempat klinik desa berada. Orang-orang menatapnya heran karena berlarian di tengah keramaian hingga ia hampir selalu menubruk orang.

Sesampainya di klinik, Lily segera masuk untuk melihat keadaan Dandel. Ketika masuk, Lily bingung dengan keberadaan Dandel yang tidak berada di tempat tidur. Lily menemukan Dandel sedang memojokkan seorang anak laki-laki yang dilihatnya di sumur tadi. Satu tangan Dandel menyentuh tembok untuk mengahadang anak laki-laki itu agar tidak kabur dan matanya tak berhenti memelototi anak di depannya yang terlihat sangat ketakutan.

"Dandel?" Lily memanggil. Yang dipanggil segera menoleh, pelototannya sudah lenyap. "Kamu kenapa? Kok nggak istirahat?" Lily bertanya dengan nada heran.

Dandel menghampiri Lily yang berdiri di samping kasur. "Siapa anak itu? Kukira kamu tidak bakal datang karena disuruh anak itu." Dandel duduk di pinggiran kasur.

Bukannya menghiraukan Dandel, Lily segera membungkuk pada anak laki-laki korban ancaman Dandel. "Maafkan temanku karena sudah mengancammu. Dan terima kasih karena sudah menemaninya."

"Ng-nggak papa, dia tidak melukaiku. Ya, dan sama-sama," ujar anak laki-laki itu dengan sisa ketakutan hingga membuatnya gemetar setengah mati.

"Apa yang telah kau lakukan pada anak orang, hah?" ucap Lily dengan nada naik satu oktaf setelah ia menegakkan badannya. "Dia dan ibunya yang telah menyelamatkanmu tahu!" Dandel terkejut mendengar perkataan Lily.

"Eh?" Buru-buru Dandel membungkuk pada anak laki-laki yang sedang ketakutan dengan ekstrim. "A-aku minta maaf. Sungguh. Maafkan aku, kumohon."

"Ya, kumaafkan. Tapi kumohon, jangan bungkukkan badanmu seperti itu, tulangmu bisa patah dan itu terlalu... ekstrim." Anak laki-laki itu meringis.

"Jadi namamu siapa?" Lily bertanya setelah membantu Dandel mengakkan badannya yang terasa sakit.

"Alderian Rason. Tapi panggil Alder saja." Anak laki-laki bernama Alder itu mengenalkan dirinya.

"Kenapa bukan Rian?" tanya Dandel. Alder menggeleng cepat-cepat. Sejak dulu Alder sangat tidak suka jika dopanggil Rian, entahlah, ia hanya tak suka saja. "Kenapa? Kan lebih bagus."

"Dandel, jangan memaksa!" Lily merasa kasihan dengan Alder yang dari tadi ditekan terus menerus oleh Dandel. Ditegur seperti itu, Dandel memanyunkan bibirnya kesal.

"Aku Lilyana Moriz, panggil saja Lily."

"Dandel. Dandelion Karve." Dandel mengenalkan dirinya dengan setengah kesal.

"Nama kalian berdua bunga semuanya, ya?" Suara lembut tiba-tiba tertangkap indra pendengaran mereka semua. Termasuk Alder yang tidak termasuk dalam 'kalian berdua' karena namanya bukan bunga.

"Eh, tante." Lily senang mendapati seorang wanita penolongnya berada di ambang pintu klinik.

"Kalau Alder itu nama pohon. Kalian bertiga sepertinya cocok." Wanita itu terkekeh. "Nama kalian sama-sama tumbuhan, makhluk hidup yang penting untuk kehidupan," ujar wanita itu dengan senyum yang hangat setelahnya.

Setelah mengatakan hal itu, wanita tersebut--yang ternyata merupakan ibunya Alder--lenyap begitu saja di depan mereka bertiga. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Lenyap begitu saja, seperti beliau tidak pernah berdiri di sana. Mereka bertiga yang terlalu terkejut, langsung terduduk begitu saja karena tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Dan Alder yang merupakan anaknya berteriak sebegitu kencangnya.

[]

Hai, ini cerita pertamaku, jadi maaf kalau kurang bagus. Kalau ada yang baca, terima kasih banyak karena sudah mau mampir membaca, jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Oh iya, cerita ini akan slow update. Sekian.

Inviciblee_creators' thoughts