webnovel

Friend With(Out) Benefits

Wendy, terjebak dalam hubungan yang sedang digandrungi banyak remaja kekinian. Dengan peraturan di mana keduanya tidak diperbolehkan menaruh hati. Suatu kebodohan membuat dirinya terjerumus dan semakin terperosot. Kesalahan yang sudah pasti berisiko tinggi tetap ia lanjutkan hingga hatinya siap tak siap harus menghadapi kehancuran.

HuskyUsagi · Teen
Not enough ratings
11 Chs

#1

Mata cokelat hitam menatap nanar ujung rambut pria di depan. Derai peluh mengalir, membanjiri sepetak bentuk tubuhnya. Sorot mata bersuara meronta tak tenang, menolak hal yang sedang terjadi. Namun hati tak dapat berbohong, kalbunya menyerah pada keadaan, menerima dengan lapang dada.

Terpejam ketika sebuah benda tumpul memasuki rongganya. Meringis. Dia tahu sosok di balik kelambu ungu bersama dirinya. Pria itu berhenti sejenak, mengamati paras manis di depannya yang kini pasrah menunggu atraksinya.

"I'll be gentle."

Decitan pelan mulai terdengar diiringi gumaman kecil. Ia mengintip dari sela bulu mata, melihat pria yang tengah menggagahinya dengan penuh hati-hati. Tak hanya untuk kesenangan pribadi, dengan gemulai jemari berukuran besar mengelus bagian yang seharusnya dimanjakan.

"A-ah!" serunya kecil.

Seutas senyum senang, pria itu mulai memahaminya. "Di sini?" tanyanya meledek yang hanya dijawab dengan anggukan kecil.

Tak perlu menunggu lama untuk mengerti di mana letaknya. Hal ini cukup mudah bagi pria tampan yang terbilang sudah biasa memahami 'spot' para wanita. Apalagi, lawannya kali ini gadis muda yang masih polos akan hal seksual.

Permainan liar jemarinya merangsang gadis itu untuk menjepit kedua kaki di pinggangnya. Meremas seonggok daging yang bersarang di goa sempit, lantas mengguyurnya dengan cairan. Lenguhan puas menandakan Si Gadis usai.

Keduanya menautkan pandangan, lantas saling tersenyum. Mendaratnya kecupan mesra di bibir diiringi hentakan keras dari bawah. Si Gadis mengerang, namun tak menolak. Ia diam, menikmati hingga keduanya sama-sama terpuaskan.

=====

Dering alarm mengiringi langkah kaki para karyawan yang hampir terlambat masuk kantor. Berdesakan dalam lift atau merelakan energi paginya untuk menaiki tangga darurat. Berpacu dengan waktu, hari Senin yang luar biasa dengan jam kerja baru.

Pukul setengah tujuh harus sampai di kantor untuk rapat. Tanpa pengumuman seminggu lalu—atau setidaknya dua hari lalu—kantor yang menyediakan jasa pakaian dan berfokus pada fashion ini membuat geger pekerjanya. Benar. Rapat dadakan karena ada kendala yang serius.

Segera setelah mengawali pagi hari dengan terburu dan penuh gerutu, mereka berkumpul di ruang rapat. Tidak semuanya, hanya beberapa bagian tertentu dan perwakilan. Namun tetap saja, ini membuat kepanikan. Karena, ya, bisa saja ancamannya potong gaji atau bonus bulanan. Kejam.

"Kita kebocoran data. Banyak data yang bocor dan sudah berada di tangan kompetitor. Tidak ada yang tahu siapa di balik ini semua. Tapi Saya sangat yakin jika ada orang jahil di dalam kita. "

Pengumuman yang tidak terlalu membuat terkejut orang lama. Kebocoran data, bukankah ini sudah kasus ke.. empat, mungkin?

"Data yang sangat penting! Ini lebih penting dari data sebelumnya."

Kemudian mengulangi kalimat yang sama dengan saat kebocoran data sebelumnya. Jadi, mana yang sebenarnya penting?

"Tim IT dan HRD sedang mengerahkan semua usaha untuk menguak kasus ini. Akan ada sidak dadakan di setiap divisi. Harap supervisor melakukannya dengan tegas!"

Akhir dari rapat yang kembali sama hasilnya dan omong kosong. Tim personalia yang mengerahkan semua usaha? Oh, maksudnya mencari muka?

Para supervisor yang dikumpulkan segera kembali ke tempat divisi masing masing. Seperti perintah atasan, mereka menyidak, menginterogasi anak buahnya dengan tegas dan cekatan.

Di salah satu divisi bagian desain pakaian, di sana tampak sosok pria tampan dengan senyum menyapa anak divisinya. Tidak sidak seperti bagian lain, dia hanya bertanya ringan. Karena dia sangat percaya mereka tidak akan berbuat macam-macam.

"Tidak untuk divisi kita. Ayolah. Atasan yang harus disidak," celetuk seorang pria dengan kacamata bulat dengan rambut dikucir belakang—rambutnya agak panjang dari pria kebanyakan. Tampak cupu, tapi mulutnya cukup pedas.

Yang lain tertawa renyah, mengiyakan. Lantas kembali bekerja seolah tidak terjadi apa-apa.

"Aku mau beli kopi. Ada yang mau titip?" tanya seorang gadis seraya beranjak dari kursi empuk birunya. Semua teman sedivisi mengangkat tangan, termasuk supervisornya.

Ia menghela napas. "Kirim di WhatsApp. Aku pikunan," ujarnya berlalu diikuti tawa teman kerjanya.

=====

Pria berambut cokelat kehitaman melangkah mengikuti gadis langganan titipan temannya. Berniat baik, ia menawarkan tangan untuk membawa setengah pesanan kopi yang ditentengnya.

"Duh, makasih, Sur. Kalo ga ada kamu, gila aku. Temen-temen ga ada yang jelas," syukur gadis mungil itu seraya tertawa. Surya, laki-laki yang membantunya, hanya cengengesan.

"Lagian ada OB yang bakal bawain. Kenapa kamu repot bawa sendiri, sih?" Sembari berjalan mereka mengisi langkah kakinya dengan mengobrol.

"Ya gapapa. Gabut aja."

"Gabutmu tiap hari? Wah, Nona Wendy. Kayaknya kamu cukup santai di atas penderitaan divisimu," ledek Surya, dibalasnya Wendy dengan tawa kecilnya.

Perjalanan keduanya tetap diisi dengan cerita ringan dan tawa. Santai, sampai mereka sampai di ruang divisi. Dengan mata berbinar teman-temannya memandang Wendy, seolah melihat penyelamat.

"Dewi Kopiku dan ajudannya sudah datang!" seru supervisor yang juga berada satu ruangan—sekaligus tukang titip.

"Ini aku," Wendy menaruh gelas susunya di mejanya. Kemudian dia berputar menaruh kopi-kopi pesanan. Surya sudah lebih dulu memilih kopi dan kembali ke tempatnya.

"Ini Petra, kopi mix." Menaruh gelas kopi ke meja pria cupu bermulut pedas. Petra tersenyum dan berterima kasih.

"Sandi." Wendy meletakkan gelas kopi hitam pahit di sebelah tangan pria gondrong yang asik bermain game di komputernya. "Bilangin Roni, nih," ancam Wendy sebelum beranjak ke meja Roni.

Supervisornya, Roni, yang duduk di paling ujung ruangan. Wendy memberikannya ke tangan Roni yang sudah siap menerimanya.

"Gapapa, San. Main aja, potong dua ratus ribu seronde." Gelak tawa menyambut kalimat Roni, begitupun dengan Sandi yang langsung menutup game FPS miliknya.

"Makasih, Wen," ucap Roni ketika Wendy hendak pergi. Wendy hanya membalas senyum dan kembali ke mejanya.

=====

"Pengumuman!! Kumpul!"

Seru seorang anggota personalia dengan raut garang. Berbadan gemuk dan besar, lantangnya ia berteriak di tengah ruangan kerja. Berhamburan seluruh anggota divisi keluar dari ruangan masing-masing.

Roni masuk ke dalam ruang desain dan menyuruh anak-anaknya keluar untuk berkumpul. Raut wajah pasinya menandakan tidak baik-baik saja. Segera seluruh anak buahnya keluar.

"Divisi desain lebih punya peluang besar untuk membocorkan data!"

Fitnahan kembali terlontar kepada divisi desain milik Roni. Penjuru mata memandang barisan desain dengan terkejut.

"Pernyataan macam apa itu? Tidak berdasar! Mana faktanya?" Salah satu anggota personalia lainnya masuk ke ruangan, menyangkal tuduhan terhadap divisi desain.

"Mereka, desain, lebih leluasa mengakses data di sini!" balas si gendut dengan ngototnya.

"Oh, ya? Maaf. Tapi tim IT dan atasan lebih luas aksesnya daripada kami," Petra menyela dengan raut marahnya.

Teman-temannya menoleh, terkejut dengan keberanian Petra. Personalia gemuk itu menajamkan tatapannya. "Divisi desain tidak ada laporan yang meyakinkan dari supervisor! Kalian terlalu santai dengan segala kasus kebocoran data seolah kalian sudah tahu tidak akan ketahuan!"

"Lalu kami harus apa? Panik? Daripada menyidak anak buah dan tidak ada tanda mencurigakan, sebaiknya sidak atasannya. Mereka lebih banyak punya potensi bermain di belakang," Petra berseru.

"Roni! Urus anak buahmu. Nanti kamu datang ke ruang HRD bersamanya!" Personalia itu segera meninggalkan ruangan dengan emosi yang meletup-letup. Sementara yang lain hanya saling pandang sebelum bubar ke ruang masing-masing.

=====

"Tidak ada pembelaan! Kamu dianggap tidak sopan! Skors dua minggu!"

Surat skors kini diterima Petra. Petra hanya tertawa di kursi kerjanya. "Bocah banget," ucap Petra pelan.

Teman-temannya menyayangkan hal ini. Mereka hanya bisa mendukung Petra. Roni tak bisa berbuat apa-apa karena posisinya kalah dan ego Julian—personalia gemuk dan ngotot itu—sangat tinggi.

"Selamat ketemu dua minggu lagi, Pet. Tiap malem mabar Valorant kita." Sandi menepuk pundak Petra, mencoba menenangkan Petra.

"Lah, tiap hari gitu juga," celetuk Roni disusul Sandi yang cengengesan.

Petra segera membereskan barang-barangnya. Ia tak akan duduk di kursi dan menempati meja ini untuk dua minggu ke depan. Huh, tidak ada wifi gratis.

=====

"Wen? Di mana? Aku udah keluar kantor nih. Jemput mana?"

"Toko bunga gang ke empat. Agak jauhan dari biasanya, ya."

"Oke tunggu, ya. Bentar lagi ke situ."

Wendy menutup telepon dari seberang. Memasukkan ponsel pintarnya di tas dan menunggu seseorang untuk menjemputnya. Ia berdiri di depan toko bunga sembari menyisir pandangannya, was-was jika ada orang sekantor yang melihatnya.

Hingga sebuah mobil sport warna merah mendekatinya, Wendy segera masuk di sisi sebelah pengendara.

Baru saja menutup pintu dan meletakkan bokongnya di kursi penumpang, pria di sebelahnya menarik dagu Wendy dan menyerobot bibir merah ranumnya. Mengulumnya penuh gairah. Wendy terkejut sebentar, sebelum akhirnya membalas.

Ciuman singkat itu tak lama diakhiri. Keduanya mengelap bibir masing-masing dan membenarkan posisi duduk.

"Hotel kota sebelah, ya. Aku stress. Mungkin nanti agak lamaan."

"Gapapa, sebebasmu aja, sih. Ngerti juga aku tuh kondisimu kayak gimana," jawab Wendy sembari melepas jas kerjanya.

Selimut kesunyian membungkus perjalanan mereka. Wendy tak berbicara banyak, malah menghabiskan waktu untuk terlelap di sisi penumpang. Karena dia tahu sebentar lagi energinya terkuras untuk menemani pria di sampingnya.

Hingga sampai di hotel, keduanya segera masuk. Hotel berbintang tentunya. Check-in di salah satu kamar mewah, pria itu memberikan identitasnya.

"Atas nama Roni Syahputra. Kamar nomer 102," resepsionis memberikan kunci kamar setelah mendata pengunjungnya.

Pria itu yang kita ketahui namanya, Roni Syahputra, menggandeng Wendy untuk berjalan ke lift dan mendatangi kamarnya. Benar. Roni Sang Supervisor dan Wendy.

Keduanya tengah menjalani hubungan yang sama-sama mendapatkan keuntungan, tapi tak terikat satu sama lain. Friend With Benefits.

== === ==

Hai. Selamat datang di ceritaku!

Aku author baru di sini~ salam kenal ya (bow)