webnovel

Perkenalan

Rouebuck Matthew sedang berada di ruang kerjanya, membuka surat-surat yang datang pagi itu. Perabotan serba mewah menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang berada.

Tiap sudut ruangan tidak ada setitik debu pun terlihat. Setidaknya pasti ada dua orang pembantu, seorang pelayan kamar serta kepala pelayan yang tidak akan membiarkan anak buahnya berayun-ayun kaki.

Matthew masih duduk di ruang kerjanya. Dia menatap lurus ke langit sabil memilin kumisnya. Dia adalah orang yang paling berpengaruh di Groningen, bahkan tatapannya sudah cukup untuk memberi pesan isyarat ke pasukan yang siap melaksanakan tugas mereka. Hanya dalam aspek ini sajalah dia berkesan militer. Dalam aspek lainya tidak sama sekali.

Kesan paruh wibawa yang dimilikinya justru timbul dari keaktifan dalam kehidupan sipil.

Ekspresi wajahnya ramah dan tenang. Hal ini dikarenakan dia telah mendapatkan kekuasaan atas posisi Jendral bintang enam. Artinya sudah tidak ada lagi yang bisa menghalanginya.

Matthew bukan hanya sekadar Jendral yang sangat disegani. Dia adalah ketua dari perkumpulan orang-orang terhormat, presiden direktur dari para direktur, penasihat utama dari para penasihat serta ketua dari para penasihat utama.

Dua jalur rambut kelabu besi yang tampak cepat akan memutih melintas diatas telinganya.

Dia gemar mengenakan mantel hitam sepanjang lutut yang hampir menutupi kemeja putih di baliknya. Ada juga celana panjang yang sulit ditentukan warnanya, antara biru ataukah hitam atau hitam kebiruan atau biru kehitaman. Ini adalah warna campuran yang dihasilkan pabrik-pabrik tekstil untuk membuat paduan yang serasi dengan agama orang-orang terhormat.

Hari ini dia belum sama sekali keluar rumah dan lebih sering memendamkan diri di ruang kerja. Padahal kepala pelayan sudah memoles sepatu boots miliknya namun tak kunjung segera dikenakannya.

Ruangan itu masih tampak sunyi, bahkan dia tidak memiliki sekretaris yang senantiasa siap dengan catatan steno serta mesin tik.

Bisa dibayangkan betapa sedikitnya gangguan yang mungkin diderita rumah tangga ini. Terhindar dari serbuan iklan-iklan perusahaan kapal pesiar, yang menawarkan kesempatan hidup sebagai gentelman selama dua hari di lautan Groningen mulai hari Sabtu sampai Minggu seharga dua gulden, termasuk tiket pulang pergi kelas satunya.

Matthew berkelahiran darah Jerman dan Belanda. Pada tahun 1838, dia sudah menganut paham Unitarian dan ikut dalam bisnis Perdagangan Bebas. Sebagian besar hidupnya bersama keluarga penganut paham evolusi, yang sangat fanatik terhadap karya Darwin, The Origin of Spacies. Sejak saat itu, Matthew merasa dirinya sebagai manusia pemikir yang maju dan pendobrak yang tak kenal takut.

Suara ketukan pintu terdengar lirih.

"Masuk!" Tegas Matthew yang masih duduk di dekat jendela.

Pintu berderit membuka. Kepala pelayan masuk dan memberi hormat. Di belakangnya ada beberapa pelayan bawahan yang membawa keranjang buah, kereta teh dan kue diantarkan ke meja Matthew dengan sopan.

"Tuan, ini menu pagi ini," gumam kepala pelayan. Bibirnya hampir tidak bergerak. Pelayan sisanya membereskan sedikit ketidak pantasan yang seharusnya tidak terjadi di ruangan orang berada.

Dinding sebelah kiri ditempati sebuah rak buku besar yang posisinya tepat di belakang Matthew. Dinding depan Matthew bersandar dua pilar yang menopang dua patung dada. Patung sebelah kiri adalah Tuan Herbert Spencer dan di sisi kanannya adalah John Bright.

Di antara dua patung itu tergantung beberapa ukiran, terpampang wajah John Locke, foto-foto J.J Rousseau, Voltaire, Adam Smith, David Ricardo, Montesquieu, dan karya-karya alegoris Boris Kustodiev. Matthew memiliki selera yang mendalam terhadap seni murni, seperti yang biasanya dimiliki oleh orang-orang aristocrats.

Di belakang Matthew terdapat sebuah perapian yang diatasnya terdapat sebuah potret keluarga yang tidak bisa di kenali lagi.

Ada sebuah kursi di dekat meja tulis, disediakan bagi tamu-tamu yang mungkin datang untuk urusan bisnis. Ada juga dua kursi lain yang menempel di antara dua patung tadi.

"Jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu ingin mereka lakukan padamu. Minat mereka mungkin tidak sama. Jangan pernah melawan rayuan, buktikan kesemua hal dan pertahankan apa yang baik. Jangan mencintai sesamamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri. Jika kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri, itu adalah kekurangajaran, jika tidak, itu adalah sebuah kerugian. Aturan emasnya adalah tidak ada aturan emas." Isi salah satu surat yang Matthew buka. Dia membaca sambil meminum tehnya.

Kembali terdengar ketukan di pintu. Dari cara mengetuknya, kepala pelayan bisa tahu yang ada di depan sana adalah si juru pesan. Kepala pelayan segera memerintahkan bawahanya berbaris dibelakang. Dia dengan cepat merapikan pakaian dan memeriksa penampilan Matthew sebelum membiarka tuannya menemui tamu.

"Persilahkan dia masuk!" Ucap Matthew.

Kepala pelayan itu keluar lalu kembali bersama sang tamu.

"Tuan Erick Robinson datang menemui Anda," kata si juru pesan, dan kepala pelayan memberi isyarat kebawahannya untuk segera pergi dari ruangan tersebut.

Tuan Erick Robinson adalah seorang pemuda yang luar biasa menawan. Orang-orang akan menduga bahwa dia adalah titisan Arjuna. Karena, rasanya tidak mungkin lagi akan ada orang lain setampan dia di Groningen.

Tubuhnya kekar dibungkus oleh setelan berkabung yang elegan. Kumis tipis, mata bening, warna kulit sawo matang, rambut mengkilap tersisir rapi bergelombang dan berwarna gelap.

Lengkung alisnya memancarkan kepribadian yang simpatik, dahi lebar dengan dagu yang serasi. Semua ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang gentelmen yang tulus mencintai dan siap menderita.

Pada saat dia muncul, ekspresi Matthew berubah menjadi kebapakan dan menjadi sedih ketika pemuda itu mendekatinya dengan wajah muram. Matthew tampaknya tahu apa yang pemuda ini derita.

Sementara sang tamu berjalan menuju meja tanpa kata. Matthew bangkit dan menyodorkan tangannya melintasi meja, menjabat tangan Tuan Robinson dengan hangat. Sejenak ekspresi rasa duka yang sama-sama mereka rasakan terpancar memenuhi ruangan.

Matthew menyudahi jabat tangannya dan mencoba menghibur. "Sudahlah, Erick, kita semua akan mengalaminya juga suatu hari nanti. Duduklah." Robinson duduk di kursi tamu. Matthew kembali ke kursinya sendiri.

"Kita semua memang akan mengalaminya, Pak. Tapi, saya telah begitu banyak berutang budi pada beliau. Almarhum telah melakukan semua yang tidak bisa dilakukan ayah saya sendiri masih hidup," Robinson mengusap air matanya, tangannya sedikit gemetar.

"Dia tidak dikaruniai putra. Itulah sebabnya," Tegas Matthew.

"Tapi, bukankah masih ada putri-putri nya, dan Alhamrhum masih sangat baik kepada adik perempuan saya. Dan Bapak pergi begitu tiba-tiba!"

"Saya belum sempat mengucapkan terimakasih. Saya ingin Almarhum tahu bahwa saya bukan orang yang tidak tahu diri, yang hanya bisa menerima begitu saja pemberian kasih. Saya sadar saya bukan anak kandungnya. Saya menunggu-nunggu kesempatan yang tepat untuk mengatakannya, tapi tiba-tiba Bapak sudah pergi."

"Bapak tidak akan pernah tahu apa yang saya rasakan." Tangan Robinson melintasi meja untuk kembali mengambil tisu sambil mengangis tersedu-sedu.

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

Ariffakh_Arifcreators' thoughts