1 01. Rain Frecuency

HAPPY READING ♡

"Hubungan kita cukup sampai sini."

Aku bangkit berdiri, membuat kursi kayu itu berderik keras hingga mundur selangkah. Suasana di dalam kafe menghening, hiruk pikuknya yang berada di luar sana berpadu antara hujan dan petir yang menyambar.

Jeno terpaku ketika mendengar kalimat yang mengejutkan. Matanya memicing. "A-apa?"

"Nggak usah pura-pura budeg, aku gak mau ulang kedua kalinya."

Menghela napas kasar, Jeno bangkit berdiri dan mengentak kasar kedua tangannya di atas meja. "Jangan seenaknya sendiri kamu membuat keputusan," ujarnya dingin, dan raut wajahnya berubah gusar.

Terdiam. Kedua mataku terpusat pada dua orang yang sedari tadi menonton pertunjukan drama kami berdua.

Untungnya saja, suasana di dalam kafe tak terlalu ramai, tapi itu sama saja akan mengganggu beberapa orang yang menetap di dalam kafe ini. Memalukan.

"Terima kasih telah singgah selama ini dihidupku, Lee Jeno."

Tanpa berpikir panjang, derap langkah kakiku berjalan pergi meninggalkan Jeno yang entah aku tak tahu bagaimana perasaannya.

Dipandangnya kesal punggung gadis itu yang telah keluar dari pintu kaca.

Dalam kesal dan emosi, Jeno mencengkeram kepalanya frustrasi. "Aargh! Kim Jemi!" pekiknya. Tak lama kemudian, Jeno bergegas pergi menyusul gadis tersebut.

Berjalan cepat di tengah derasnya hujan. Seluruh tubuhku jadi basah kuyup, dinginnya angin yang menerpa menjalar ke seluruh tubuh.

Tidak peduli, aku suka hujan.

Ini saatnya aku telah membuat keputusan terhadap laki-laki yang egois itu.

Rude and selfish men.

Kini, Jeno terpaksa harus menerobos air hujan. Ia berlari mengejar gadisnya yang jaraknya tak terlalu jauh, dan berulang kali ia meneriakkan namaku.

"Jemi!"

"Hei! Lepas!!"

Aku refleks menoleh ketika Jeno menarik kasar pergelangan tanganku. Pergerakan laki-laki itu memang cekatan dari yang aku kira.

"Kamu nggak bisa menghindar dariku," desis Jeno, masih menggenggam erat lenganku yang berusaha ingin menghempas.

"Hubungan kita udah berakhir, dan jangan ngejar-ngejar aku lagi," desakku masih menepis tangannya. Menatap intens wajah laki-laki itu, napasku jadi terengah-engah.

Kedua ujung alis Jeno menyatu di tengah, menatapku secara mendalam. Atmosfer berubah menjadi suram, hujan terus mengguyur ditambahnya gemuruh petir dari atas langit yang mengusik.

Demi apa pun, sepertinya laki-laki ini akan bersikeras terhadapku.

"Ikut aku."

"Jen!"

Jeno menarik kasar lenganku hingga badanku nyaris terhuyung ke depan dan hampir terjatuh. Mempercepat langkah kakinya berjalan ke arah mobil miliknya yang berwarna silver metalik.

Oh, sial, ini mungkin akan terjadi hal buruk padaku.

Aku memberatkan diri dengan meronta. Tangan besarnya itu masih mencengkeram erat pergelanganku hingga dirasa nyeri akut berulang.

Kemudian, Jeno membuka pintu mobilnya. "Ayo masuk!"

"Nggak mau!"

"Masuk!!" serunya, mendorong-dorong kasar badanku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. "Aku harus melaporkan pada papa kamu, jika kamu telah memutuskanku."

Dukgh!

Tepat sekali. Aku baru saja menendang bagian vitalnya, membuat dia memekik kesakitan, dan memegangi bagian pusatnya.

"Jangan sekali-kali kamu mengadu pada papaku," timpalku, menukik tajam.

Oh, kenapa di saat frekuensi hujan yang hadir, sama halnya membawa masa laluku yang getir dengannya? Layaknya sebuah skenario yang murahan.

Napas Jeno tersengal-sengal. Tak lama kemudian, dia beralih menatap nanar padaku.

"Beraninya kamu!!" sergahnya, langsung mencengkeram erat rahang bawah gadis itu, membuat badannya terbentur keras pada bodi mobil sedan miliknya.

Jeno mengangkat daguku. Mendengus, dan menatap tajam dengan urat nadi yang kentara di sudut lehernya. Mendadak kedua mataku menatap serius mata Jeno yang berkelabu. Menghembuskan napas berat, keadaanku saat ini mendesak.

Demi Tuhan, salah apakah hidupku selama ini dengannya? Terjepit dalam situasi yang pelik seperti ini?

Siapa pun tolong aku!

Tahu begini, lebih baik aku lari dari Jeno tanpa terjebak dalam hal sulit seperti ini.

"J-Jeno... lepaskan aku..." dengusku, berusaha menepis tangan Jeno.

"Nggak akan, kamu sudah membuatku marah."

Aku berusaha melepaskan jari jemari panjang Jeno, tapi tak mampu. Napasku begitu sesak karena ulahnya.

Sejujurnya, aku masih bisa memukul, atau menendang laki-laki ini, namun tenagaku telah terkuras, dan sialnya aku malah berakhir dengan lelaki kurang ajar mengukuhkan dirinya.

.

.

Ada seseorang yang telah keluar dari minimarket, ia membawa barang belanjaan sekaligus payung merah yang digenggamnya.

Saat itu juga, kedua maniknya menyorot pada siluet dua orang yang berada di seberang jalan. Samar-samar dipandangnya dari kejauhan, kelamaan tampak semakin jelas.

Laki-laki dan perempuan sedang berdebat, dan membiarkan tubuh mereka kehujanan. Dalam batinnya, ia berfirasat tidak enak saat melihat dua orang tersebut.

Lalu, Jeno mengeratkan cengkeramannya di dagu gadis itu. "Tolong jawab aku. Kenapa kamu harus membuat keputusan yang konyol itu, hah? Apa kamu tak ingin bertunangan denganku?"

"Enggak!"

Plakk!

Jeno tercampak, kalimat yang meluncur cepat dari gadis itu telah menyakitkan hatinya.

Dia telah menampar keras pipinya hingga wajahnya tertoleh ke samping.

Tamparan keras Jeno membuatku perih sampai ke ulu hati. Dan itu juga sering. Tanganku tremor menyeka pipi kananku yang terasa panas. Air mataku langsung luruh berbaur dengan air hujan.

"Dasar perempuan gak tau diri!!" bentaknya.

Brengsek, laki-laki seperti apa dia? Itulah yang membuat diriku tak menyukainya.

"Hei!"

Kami berdua langsung menoleh saat mendengar suara yang menyeruak. Sosok lelaki datang dengan payung merah yang meneduhkan dirinya.

Mungkinkah lelaki itu telah melihat adegan kami berdua?

Jeno diam-diam menelisik lelaki itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Termasuk aku juga.

Seorang lelaki dengan penampilannya yang mengenakan hoodie hitam, celana jeans, dan sepatu sneakers adidas. Sepertinya, dia seumuran dengan Jeno, dan tinggi badannya pun hampir sama.

Oh, tampan sekali dia.

Tunggu. Aku pernah melihat lelaki itu sebelumnya. Tapi kapan? Dan di mana?

"Jangan kasar sama perempuan," ujar lelaki itu, menatap datar ke arah Jeno.

Jeno mendecih dan menghela napas kasar. "Jangan ikut campur urusan orang."

"Saya bukannya ikut campur, tapi... bisakah anda bersikap baik dengan perempuan?"

"Ck!" Kedua alis Jeno tertaut dalam, menatap sarkas laki-laki itu. "Lebih baik lo pergi, daripada harus campur tangan sama gue," celanya sambil mengangkat jari telunjuknya ke samping, menyuruh lelaki itu pergi.

Laki-laki itu bergeming, rasanya enggan sekali untuk menuruti apa katanya. Beberapa detiknya, Jeno maju selangkah ke arah lelaki asing itu. Demi apa pun, kini perasaanku ada yang menjanggal. Raut wajahku bingung diiringi dengan bibir yang terlipat rapat, dan helaan napas berat.

Bugh!

"Jeno!"

Tbc...

Thank you for reading ♡

avataravatar