webnovel

Si kaya vs si miskin

Saat jam makan siang tiba, Christian dikejutkan dengan kedatangan Kainer yang datang ke ruangannya bersama seorang gadis cantik yang terlihat sangat rapi. Gadis itu memiliki tinggi yang nyaris sama dengan Kainer, tapi Christian yakin hal itu dikarenakan sepatunya yang memiliki hak cukup tinggi.

"Selamat siang, Tuan. Saya datang bersama sekretaris yang sudah berhasil terpilih, namanya Elena Wilson."

Christian tidak memberikan reaksi apapun, dia mencoba membaca karakter sekretaris barunya dalam diam. Kainer yang sudah hafal dengan karakter bosnya pun hanya bisa tersenyum kecil tanpa berani mengeluarkan perintah apapun pada Elena yang berdiri di sampingnya.

"Berikan satu alasan kenapa aku harus menerimamu bekerja di perusahaanku?" ucap Christian datar tanpa merubah ekspresinya.

"Saya butuh uang, sudah hampir dua tahun tanpa pekerjaan membuat saya selalu menjadi bahan ejekan tetangga yang sering datang ke toko kue kami."

Satu alis Christian terangkat. "Toko kue?"

"Ya, kedua orang tuaku memiliki toko kue kecil yang menjadi sumber mata pencaharian kami satu-satunya, Sir," jawab Elena hati-hati.

Christian menutup mulutnya kembali namun kedua matanya beralih menatap Kainer, Kainer yang paham dengan arti tatapan Christian kemudian segera memberikan berkas milik Elena yang masih dia pegang pada Christian. Setelah Kainer meletakkan berkas yang dia inginkan, Christian segera meraihnya dan langsung membacanya dalam diam. Otak cerdasnya membaca cepat biografi Elena, tidak ada yang menarik!

Tiga kata itulah yang dapat Christian sebut untuk seorang Elena, calon sekretaris terpilihnya. What the hell? Seorang Christian Clarke punya sekretaris yang biasa-biasa saja?

"Pergi ke bagian Finance, ambil gajimu bulan ini dan kau tidak perlu datang besok."

"What?"

"Tuan..."

Christian menyeringai, melemparkan berkas milik Elena ke atas meja dengan kasar. "Seorang Christian Clarke tidak mungkin memiliki sekretaris tanpa skill khusus sepertimu."

Kedua tangan Elena terkepal kuat, menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya.

Di tempat duduknya Christian pun sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan dia dapatkan, mulai dari makian keras hingga lembaran benda tumpul dari calon sekretarisnya itu hingga akhirnya secara mengejutkan Elena mengulurkan tangan, meraih berkasnya yang sudah nyaris jatuh dari atas meja kerja Christian dengan mata yang sudah dipenuhi air mata.

"Terima kasih atas kebaikan anda, Sir. Tapi maaf saya tidak akan menerima bayaran sebelum saya bekerja. Sekali lagi terima kasih dan terima kasih sudah meluangkan waktu anda membawa berkas tanpa skill saya, selamat siang."

Apa-apaan ini?

Dada Christian tiba-tiba terasa sesak, rasanya dia sangat terluka mendapatkan perlakuan sesopan itu dari seorang gadis yang sudah dipecatnya hanya dalam sekali temu. Ada rasa yang tidak bisa didefinisikan oleh Christian saat ini.

"Kalau begitu saya pamit undur diri, Tuan. Saya akan menyeleksi beberapa pelamar lainnya untuk saya interview terlebih dahulu," ucap Kainer sopan mengembalikan Christian dari lamunannya.

Diam berarti 'iya' itu adalah jawaban non verbal yang selama ini Kainer pahami jika sedang berhadapan dengan Christian, setelah menundukkan kepalanya sedikit Kainer akhirnya keluar dari ruang kerja Christian. Meski masih sedikit bingung dengan keputusan Christian memecat sekretaris yang berhasil lolos dengan nilai paling tinggi itu namun Kainer tidak bisa berbuat apa-apa, pria keturunan timur tengah asia itu pun kembali menjalankan tugasnya dengan baik.

***

Dengan menahan tangis Elena naik bus yang akan mengantarnya ke halte terdekat di rumah tinggal sederhananya bersama kedua orang tuanya yang sudah renta, Elena terlahir saat ibunya sudah nyaris menginjak usia empat puluh tiga tahun. Sebuah hal mustahil jika tidak ada campur tangan Tuhan, karena itu di usia Elena yang akan menginjak usia dua puluh empat tahun ini umur ayah dan ibunya sudah memasuki usia yang tidak dianjurkan untuk banyak beraktivitas. Karena itu Elena memutuskan mencari pekerjaan di kantor dengan gaji yang lumayan dari pada harus meneruskan usaha kue kedua orang tuanya.

"Kak Elena!"

Panggilan dari anak usia sepuluh tahun yang sedang berlari-lari kecil ke arah Elena berhasil membuat Elena mengurai kesedihannya dengan senyum, perlahan Elena melambatkan langkahnya dan akhirnya memilih berhenti menanti gadis kecil berkuncir kuda itu mendekat padanya.

"Oh Clare, kenapa pagi ini kau wangi sekali?" goda Elena pelan pada gadis kecilnya tanpa ragu.

Gadis kecil bernama Clare itu tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya yang sudah rapi untuk anak seusianya. "Aku baru selesai mandi setelah membantu di toko."

"Clare membantu di toko?" ulang Elena pura-pura kaget, orang tua Clare adalah pegawai kedua orang tua Elena. Meski penghasilan toko kue mereka tidak besar, tapi kedua orang tua Elena tetap mempekerjakan kedua orang tua Clare karena rasa iba. Pasangan yang sudah tidak muda itu memilih membagi sedikit berkat yang dimilikinya dengan orang yang lebih membutuhkan dan karena alasan itu pula yang membuat uang tabungan kedua orang tua Elena tidak menunjukkan pertambahan yang signifikan tiap bulannya.

Clare mengangguk penuh semangat. "Tentu saja, Clare ingin menjadi Head Baker toko kue paling enak didunia. Karena itu Clare harus banyak belajar."

Elena terkekeh geli mendengar celotehan malaikat kecil digendongannya. "Ok ok calon Head Baker, kita bahas itu lagi setelah sampai dirumah, ya. Sekarang kita pulang."

"Ok."

Tawa kembali menghiasi wajah Elena, kepolosan Clare benar-benar berhasil membuat rasa sedih dan kecewa yang menyesakkan dada Elena hilang. Ketika sepuluh meter nyaris sampai di toko sekaligus tempat tinggal Elena dan kedua orang tuanya terdengar suara teriakan seorang lelaki yang menyebut nama Elena dengan keras.

Merasa namanya disebut Elena menghentikan langkah dan mengedarkan pandangan, mencoba mencari tahu siapa orang yang sudah memanggilnya. Ketika berhasil melihat sang empunya suara senyum Elena mengembang semakin lebar.

"Bagaimana harimu, Jason?" sapa Elena hangat pada pemuda dengan pakaian seragam pemadam kebakaran yang baru saja berhenti di hadapannya yang masih menggendong tubuh kecil Clare.

Alih-alih menjawab pertanyaan lembut dari Elena, pemuda bernama Jason itu justru mengambil alih Clare dari pelukan Elena.

"Coba tebak makanan apa lagi yang aku bawa," ucap Jason pelan menggoda Clare yang sangat menyukai makan itu, anak seusia Clare memang sedang memiliki nafsu makan yang menyenangkan untuk dilihat.

"Pizza?"

"Bukan."

"Spaghetti?"

"Bukan juga."

"Burger."

"Masih salah."

Bibir Clare mencebik kesal, salah menebak tiga kali berturut-turut membuat kesabaran gadis kecil itu hilang. "Akh aku tidak tahu!"

Jason tertawa terbahak-bahak, tidak tahan melihat betapa menggemaskan dan lucunya Clare saat ini. Bahkan Elena, orang yang tidak ikut dalam percakapan itu ikut tersenyum geli.

"Ok princess maafkan aku, makanan yang aku bawa adalah Red Velvet cake," ucap Jason pelan.

"Red Velvet cake?" ulang Clare dengan mata berbinar.

Jason menipiskan bibir, mengalihkan pandangan ke arah Elena dengan senyum hangat. "Iya, Red Velvet cake kesukaan kak Elena."

Bersambung

Next chapter