webnovel

Pembunuh

Bayangannya memudar. Beringsut. Aku berada di masa ketika dunia hampir musnah. Kata ayah, ia akan mengajakku melihat sirius di langit sana, canopus dan acturus yang paling terang. Mereka berbohong, ayah berbohong, ibu berbohong, ucapan orang dewasa hanyalah sebuah kebohongan. Aku tak mau berkata lelah karena itu memuakkan.

Ibu berdiri di hadapan ayah, memegang lengannya dengan bergetar, seperti pasien yang sesungguhnya. Pria tak bermoral, hidup dengan menenggak alkohol, kokain. Masih tanpa warna, hitam dan putih bak layar dokumenter. Akulah yang sekarang delusi, ilusi palsu yang kuciptakan dalam keraguan dalam diriku sendiri. Rupanya aku senaif itu.

Mereka bermain drama.

Memerankan peran masing masing. Ayah memaki ibu, hingga ketakutan dibuatnya, dengan bibir pucat, dahi berkerut. Beberapa kali ayah menggertakkan giginya, amarahnya membuncah seperti iblis. Melempar lengan ibu ke udara dengan kasar dan beringas. Sesekali ibu ingin memeluk ayah, ingin merasakan kehangatan suaminya, namun suami apanya. Bang*at. Padahal ibu sangat yakin, ayah mencintainya. Ayah mencintainya dan mencintainya. Tapi sayangnya, kami tak bahagia meski telah mempunyai segudang cinta. Cinta tak beretika. Semuanya berubah tak berharga. Pandanganku akan dunia telah berubah. Mengenai ayah, ibu, dan orang dewasa.

Dengan liar dihempaskannya vas bunga, memecahkannya dengan kekuatan penuh. Membanting pintu dan jendela. Merobohkan dinding dan lampu besar gantung. Menyobek tirai kesayangan ibu. Sumpah serapah memenuhi air luirnya. Bola matanya memerah, persis seperti perokok berat. Candu alkohol membutakannya. Ia menyebut ibu jal*ng

Aku membisu. Apa yang mereka bicarakan?

Ia telah gila, dan hanya berdiam diri menghadapi ayah. Meski dibanting tubuhnya dengan tongkat hingga memar di sekujur tubuh. Luka sana luka sini, namun ia tetap tersenyum seperti orang gila. Bersabar yang berujung kebodohan fatal. Tua bangka itu juga meninggalkan bekas merah di pipinya. Rambut kepalanya rontok, sekitar matanya lebam. Kulitnya penuh sayatan. Kapan aku bisa makan nasi dengan tenang? Lalu lagi, melemparnya ke dinding, kaca retak, potongan gelas di lantai. Semuanya diterima begitu saja. Bercak darah bahkan mengotori rumah tuli ini. Ibu bersimpuh di kaki ayah. Mengemis pengampunan, mengemis harapan dan masa depan. Ibuku sudah gila. Lalu...

Untuk apa aku harus tumbuh dewasa, jika hidupku berakhir sama seperti mereka? Ah, aku telah diracun secara perlahan. Fluoxotine, Risperidone, Remital telah kutenggak semua itu bertahun tahun. Dokter tak akan berbohong padaku. Kubilang ingin mengakhiri segalanya mengenai dunia indah di negeri seberang. Tapi, kenapa aku tak mati mati? Lagi lagi dokter itu berbohong. Semua orang adalah penipu. Termasuk alter ego, yang menjerumuskanku dalam ilusi tak berkesudahan.

Sungguh, aku tak ingin berkata lelah. Seharusnya merekalah yang lelah, karena menyiksa satu sama lain tanpa empati, naluri mereka berubah seperti binatang. Aku hanya penonton tak bernyawa, yang menyaksikan dari stadion seolah pertandingan sepak bola. Kadang aku juga ditendangnya dengan bola, sampai mataku mau copot. Tapi sayangnya, kali ini lebih membosankan. Sampai aku ingin tidur saja untuk selamanya. Kenapa juga aku masih di sini.

"Bu, kenapa kita tak melarikan diri saja dari neraka ini?" pintaku menggaung.

"Tidak. Kau salah. Ayah mencintai kita, menyayangi ibu dan juga dirimu. Ayah ingin melindungi kita. Ia hanya kecapaian setelah pulang kerja. Percayalah pada ibu."

Darah bercucuran dari mataku. Oh Tuhan!

Sejak kapan pria tua bangka itu bekerja keras? Ia hanyalah peminum rutin kelas bisnis, pemabuk tak waras, yang mencuri uang di jalanan. Sejak kapan kata 'cinta' berubah jadi noda darah di sekujur wajah dan tubuh kami?

Aku memegang kepalaku. Kesakitan yang tak lebih dari ciptaannya. Aku terjatuh, hampir menyerah pada kehidupan.

***

Ayah Nina adalah seorang polisi. Pukulannya keras, tinjunya keras bahkan lidahnya juga keras seperti pisau. Jantung dan paru parunya mulai melemah, akibat alkohol dan rokok. Akal sehatnya juga hampir hilang. Namun beruntung, karena seseorang membunuhnya untuk mereka kala itu. Dia adalah Abraham

Waktu itu ibu memohon pada Nina, saat dimana ia ingin menghabisi tua bangka di ranjang rumah sakit. Ia ingin dia cepat mati, setidaknya nina mampu untuk mengurus pemakamannya, liang kubur untuknya akan dibuatnya. Kata ibu, ayah pasti akan menambah cinta dan kasih sayang untuk mereka, jika Nina menjenguknya dan tidak menjadi durhaka.

"Aku bukan Malin Kundang. Tapi mereka-lah yang membentuk diriku jadi sepertinya. Apa yang harus dilakukan? Ibu memang sudah tak waras. Gila."

Alter ego menciptakan sebuah paradoks yang membius di otaknya.

"Kau hanyalah seorang pengecut. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengambil sebilah pisau, lalu tusuk tua bangka itu tepat di jantungnya. Bukankah rencananya sangat mudah?" sebuah pantulan di cermin menceramahinya.

Nina POV

Langkah kaki berderap. Suara komputer dan dentum tetesan di botol darah yang tergantung. Memacu nyali, terbakar dari ubun ubun hingga mata kaki. Aku memandangi wajahnya, diam tak bereaksi. Aku tahu, ia belum mati. Tua bangka itu hanya tertidur, air mukanya biasa, dipenuhi kerutan. Ranjang putih melelapkannya beberapa hari. Apakah hari hari yang lalu, ibu selalu menemaninya disini? Ia melupakanku begitu mudah. Jari jari yang dipenuhi keringat bergetar mencengkeram selimut putih yang menutupi tubuhnya. Aku menggeram, tak sabar melakukannya. Aku ingin mencekiknya, sungguh.

Pisau mengkilap, yang ujungnya terpantul wajahku sendiri. Ekspresi kegelapan yang tiba tiba kudapatkan entah dari mana. Genggaman tangan yang bergetar. Aku keluarkan benda keramat itu dari balik jaket hitam. Dilapisi benci dan rasa membunuh yang kian membuncah. Detak jarum jam masih berdenting di ruangan tak bernyawa. Berputar tanpa arah, begitu juga otakku. Padahal aku putrinya, padahal ia adalah ayahku. Mengapa aku begini?

Kuangkat tinggi tinggi pisau kecil itu. Bahkan jika genggaman ini masih bergetar aku akan menahannya dan melakukannya lebih cepat, sesegera mungkin. Sesekali kulirik lagi wajah tenangnya dan selang selang infus di sekitar tubuhnya. Apa aku kasihan? Kenapa aku mengasihaninya? Apa dia bangs*t ini kasihan saat menyiksa ibu? Apa dia tak kasihan menelantarkanku dengan penyakit jiwa tak berkesudahan? Apa dia bahkan tahu? Jawabannya, tidak.

Jatungnya. Akan kutembus jantungnya dengan amarah yang mengalir diantara darah merah. Akan kuhabisi dengan tanganku sendiri. Meski harus menggeleng pedih. Kuangkat pisau tepat di atas jantungnya yang berdetak lemah. Dengan mata terpejam, aku sedang berusaha menancapkan pisau keji itu dis ana.

"Nina..."

Aku tertegun. Terkejut mendengar suara lemah itu, aku mematung. Seseorang memanggil namaku. Aku membuka mata perlahan.

Kudapati ia berdiri di sampingku. Dengan bercucuran tinta merah, mengalir di telapak tangan yang telah menua. Setetes, dua tetes. Semakin lama semakin deras, hingga membasahi selimut putih dan meninggalkan bercak merah pekat di sana. Tangan renta itu erat menggenggam ujung pisau milikku. Tanpa mempedulikan dirinya. Aku membisu, dibius oleh keegoisanku sendiri. Ibu mengorbankan dirinya menggantikan kebencianku pada ayah dan memilih untuk mengambil alih pisau itu.

"Ibu..." namun yang kulihat pisau itu menancap di telapak tangan ibu.

Kutarik pisau itu dari tangannya. Dan membiarkan ia bercucuran darah dan air mata. Tanah yang kupijaki bergoyang tak seimbang. Kakiku keram dan kaku bak digantungi takdir pedih ini. Seperti kehilangan diriku sendiri. Aku menatap ibu. Dadaku semakin sesak, udara tak membiarkanku bernapas bebas.

"Kenapa Nina? Kenapa kau..." ibu memandangiku dengan benci. "Ayah mencintaimu! Menyayangimu! Apa semua ini belum cukup! Apa belum cukup hanya dengan membiarkannya tidur nyenyak sebentar saja!"

"Ibu yang selama ini salah! Tua bangka itu bukan ayahku! Dia pembunuh! Dia memukul ibu! Dia memukuliku! Dia tak pantas dipanggil ayah! Dia pembunuh!!" teriakku.

"Berhenti mengatakan hal bodoh!"

"Aku lelah! Aku lelah, Bu! Aku lelah dengan kelakuan kalian berdua!"

Aku jatuh bersimpuh. Pisau itu terjatuh.