webnovel

Lilac (1)

Alvaros memastikan arahnya berjalan sebelum berangkat menggunakan peta, lalu memacu kudanya keluar dari kota.

Alvaros menuju arah barat laut, lokasi Castella di peta.

Seperti yang dikatakan oleh pengurus kuda tadi, kuda yang Alvaros tunggangi berlari dengan cepat dan staminanya sungguh luar biasa.

"Mantap nih kuda." Pikir Alvaros.

Akhirnya Alvaros sudah dekat dengan Castella. Dari kejauhan ia bisa melihat puing-puing kota yang di atasnya berdiri tenda-tenda Ceres.

Alvaros lalu berhenti dan turun dari kudanya di bawah sebuah pohon yang cukup dekat dari situ.

Ia berganti pakaian dan mengikatkan kudanya di situ.

"Baiklah, sekarang saatnya bekerja."

Alvaros berjalan mendekati Castella dan sukses masuk ke kamp Ceres.

Meski ia terlihat seperti orang Ceres, tetap saja ia gugup karena memasuki kamp musuh sendirian. Prajurit-prajurit di situ cukup banyak, ada yang sedang mengasah senjatanya, bercanda dengan rekannya, ada juga yang hanya berlalu lalang.

"Hei kau!" Seru seorang prajurit.

Alvaros terkejut mendengar seruan prajurit tersebut. Ia menoleh kanan dan kiri memastikan kalau bukan dia yang dipanggil.

"Iya, kau! Malah celingak-celinguk!" Seru prajurit itu lagi.

"Mampus aing." Pikir Alvaros.

Alvaros lalu berjalan menghampiri prajurit yang memanggilnya.

"Sini lah, kita makan dulu. Tidak usah kaku begitu, kau berjalan seperti orang ketakutan saja!" Kata prajurit itu ramah.

"I... Iya..." Balas Alvaros.

"Kau dari kesatuan mana? Aku belum pernah melihatmu." Tanya prajurit itu.

"Emm... Aku... Aku dari Baer..." Jawab Alvaros gemetar.

"Oh, yang baru datang yah! Pantas aku belum pernah melihatmu! Aku dari Acharn! Lalu mereka berdua ini dari Strondum dan Naur!" Kata prajurit itu sambil mengenalkan beberapa prajurit yang duduk dengannya.

"Ah... Iya... Anu..." Alvaros mencari alasan agar ia bisa keluar dari perkumpulan itu.

"Kenapa? Tak usah malu-malu begitu! Kita ini kan sama-sama prajurit Ceres." Katanya.

"Anu... Ngomong-ngomong kita ini dari mana saja ya?" Tanya Alvaros, berusaha mencari informasi mengenai jumlah pasukan.

"Banyak, bro! Yang pertama kami dari Acharn, yang berhasil menduduki kota ini, lalu dari Strondum, Baer, Naur, Haradren, Othron, dan Dunael." Kata prajurit itu bangga.

"Wah, banyak juga ternyata. Ngomong-ngomong berapa ya jumlah pasukan kita ini?" Tanya Alvaros lagi.

"Ahh... Nggak tahu pastinya sih. Tapi kurang lebih 4000 orang, itu belum termasuk penyihir-penyihirnya." Kata prajurit itu.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal penyihir, penyihir dari divisi kami kasihan lho. Dia kehilangan batu kelahirannya." Kata prajurit yang dari Strondum.

"Eh serius? Kok bisa?" Tanya prajurit yang dari Naur.

"Iya, kami berangkat menggunakan mesin teleportasi. Mesin itu menggunakan kristal penyihir kami. Saat orang terakhir yang diminta untuk membawa serta kristalnya dikirim, ternyata pengirimannya tidak sempurna, hampir setengah dari tubuhnya hilang, termasuk kristal kelahiran Nona Rashuna." Cerita prajurit itu.

Mendengar nama itu Alvaros menelan ludah.

"Orang itu lagi... Jangan sampai aku bertemu dengannya." Kata Alvaros dalam hati.

"Wah... Kasihan betul... Dia pasti sangat sedih." Sahut prajurit dari Acharn.

"Tentu saja, bagi seorang penyihir kan kristal itu bagian dari hidupnya. Kalau itu sampai hilang ya sudah, dia tidak bisa apa-apa."

"Err... Maaf. Aku harus pergi dulu. Aku belum mengambil jatah makanku." Kata Alvaros.

"Ah, iya! Nanti gabung saja di sini kalau kau mau!" Kata prajurit itu.

Alvaros lalu beranjak dari situ. Ia mencari gudang logistik pasukan. Tak butuh waktu lama ia pun menemukannya.

"Ada apa?" Tanya penjaga gudang.

"Anu... aku belum dapat jatah makan." Kata Alvaros.

"Hah? Bukannya sudah semua?" Tolak penjaga gudang itu.

"Mmm... Saya belum dapat. Tadi waktu pembagian jatah saya masih mendirikan tenda untuk Baer." Kata Alvaros.

"Oh, kau dari Baer toh. Ya sudah, tunggu sebentar." Penjaga gudang itu masuk ke gudang makanan.

Tak lama kemudian ia keluar membawa beberapa potong roti dan mentega.

"Nih, yang mendirikan tenda 4 orang kan?" Kata penjaga gudang sambil menyerahkan makanan pada Alvaros.

"Terima kasih. Ngomong-ngomong makanannya banyak juga." Kata Alvaros.

"Yah, lumayan. Kurang lebih buat seminggu masih bisa itu." Kata Penjaga gudang.

Alvaros lalu pergi dari situ lalu mencari jalan keluar dari kamp.

Meski ia berputar-putar cukup lama karena kamp Ceres cukup luas, Alvaros akhirnya menemukan jalan keluar.

Ketika ia hendak kembali ke tempat kudanya berada...

"Lho, kau kan..."

Alvaros bertemu dengan Rashuna yang sedang kembali dari mengambil air.

"Aranel! Apa yang kau lakukan di sini!?" Seru Rashuna.

Tanpa pikir panjang, Alvaros berlari menjauh sekencang-kencangnya tanpa melihat arah.

Rashuna mengejarnya, kali ini ia bertekad tidak akan melepaskannya lagi seperti saat di Strondum.

Mereka lalu memasuki hutan.

"Tunggu pengkhianat!" Teriak Rashuna.

Alvaros masih berlari secepat mungkin, ia tak melihat ada sebuah lubang di bawah kakinya.

Ia terperosok ke dalam lubang tersebut.

"Hosh... Hosh... Hosh... Ke mana larinya orang itu?" Pikir Rashuna sambil terengah-engah. Ia lalu berlari lagi.

Sama seperti Alvaros, ia tidak melihat lubang di bawah kakinya. Ia ikut terperosok ke dalam lubang tersebut.

"AAAA!!!" Teriak Rashuna diiringi tubuhnya yang terjatuh.

Mereka ternyata masuk ke dalam sebuah goa bawah tanah yang cukup besar.

Rashuna mendarat tepat di punggung Alvaros.

"Aduh!" Seru Alvaros.

Mereka berdua mengaduh bersama.

Rashuna lalu membuka matanya.

Ia terkejut.

Sekitarnya gelap, hampir tidak ada cahaya sedikitpun.

Badannya gemetar, keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya.

"AAAAA!!!" Teriaknya dengan sangat kencang.

"BERISIK!" Balas Alvaros dengan teriakan juga.

Rashuna tidak berani membuka matanya kembali, badannya masih gemetar.

Ia sangat ketakutan.

"Kau kenapa sih?" Tanya Alvaros kesal.

"J...Jangan..." Jawab Rashuna amat ketakutan.

Alvaros lalu mengerti bahwa Rashuna takut dengan kegelapan.

"Hmm... Goa ini sepertinya goa yang disinggung Oliver waktu di Baer..." Pikirnya.

Alvaros berpikir bagaimana cara untuk keluar dari sini. Ia juga merasa kerepotan bila harus membawa Rashuna yang tidak bisa apa-apa saat ini.

Rashuna mulai menangis terisak.

"Walah... Malah nangis..." Kata Alvaros dalam hati.

"Sini kau." Alvaros menarik tangan Rashuna, membantunya berdiri.

"Aduh..." Kata Rashuna pelan sambil menangis.

"Kenapa? Kakimu terkilir?" Tanya Alvaros.

Rashuna mengangguk pelan, ia masih terisak dan belum berani membuka matanya.

"Dasar, bikin repot saja. Sini!" Kata Alvaros sambil mengangkat Rashuna di punggungnya.

"Pegangan!" Kata Alvaros.

Rashuna menurut, ia berpegangan pada bahu Alvaros.

"Dasar, katanya penyihir kuat. Sama gelap aja takut." Ejek Alvaros kesal.

"Habis... Habisnya..." Kata Rashuna terbata-bata.

"Sudah, tidak usah menangis! Suaramu bikin telingaku jadi sakit tahu!" Kata Alvaros.

Rashuna lalu berusaha untuk menahan tangisnya. Ia masih belum mau membuka matanya.

Selang beberapa saat...

"Hosh... Hosh... Hosh... Ini goa gaada ujungnya bener deh." Kata Alvaros sambil terengah-engah.

Rashuna masih terdiam di gendongan Alvaros.

Alvaros pun lelah berjalan sambil menggendong Rashuna. Mereka lalu beristirahat.

"..."

"..."

Mereka berdua tidak ada yang berbicara sepatah katapun.

"Terima kasih..." Kata Rashuna pelan.

"Hm? Apa?" Tanya Alvaros karena tidak begitu mendengar perkataan Rashuna.

"..."

Rashuna tidak menjawab.

"Kau masih hidupkah?" Tanya Alvaros.

"..."

Tidak ada jawaban lagi.

"Hei, hei, Rashuna? Kau masih hidup kan!? Hei!" Kata Alvaros sambil menggoyang-goyang tubuh Rashuna.

"Masih." Rashuna menjawab pelan.

"Bisa tidak sih suaramu keras sedikit? Toh tidak ada orang lain juga di sini." Kata Alvaros lega.

"..."

Rashuna kembali terdiam.

"Hahh... Terserah kau sajalah."

Kruyuuukk....

Perut Alvaros berbunyi. Ia lapar.

Ia teringat masih membawa roti dan mentega dari kamp Ceres.

"Kau lapar?" Kata Alvaros menawarkan sepotong roti pada Rashuna.

Ia mengangguk lalu menerima roti dari Alvaros.

Mereka berdua mulai makan.

Rashuna makan dengan sangat perlahan, badannya masih gemetar namun sudah mulai tenang.

Sementara Alvaros makan dengan sangat lahap hingga ia tersedak.

"Ini" Rashuna menyodorkan sebotol air pada Alvaros

Alvaros mengambil botol air itu lalu meminum isinya.

"Ah... Terima kasih."

"Sama-sama" Kata Rashuna pelan.

Setelah makan, mereka berdua saling diam kembali.

Beberapa waktu berlalu, Alvaros sudah pulih, ia lalu berdiri.

"Ayo lanjut." Alvaros kembali menggendong Rashuna.

Alvaros berjalan terus menyusuri goa hingga sampai di sebuah percabangan.

Ia menjilat jari telunjuknya lalu merasakan adanya angin di cabang sebelah kanan.

Ia lalu berjalan melewati jalur kanan karena yakin di mana ada angin berembus, di situ pasti ada jalan keluar.

Alvaros kembali kelelahan setelah berjalan cukup lama. Ia menurunkan Rashuna lagi lalu beristirahat.

Rashuna masih belum mau membuka matanya.

"Hei, sampai kapan kau mau menutup matamu? Buka saja, tidak apa-apa." Kata Alvaros.

Mendengar itu, Rashuna mencoba membuka matanya sedikit, tapi karena tidak melihat apapun selain kegelapan, ia kembali menutup matanya.

"Ya ampun..." Kata Alvaros dalam hati.