webnovel

01.05.1816

Untuk kamu di balik awan,

Beberapa hari terakhir ini, buruk untukku. Aku berada di persimpangan jalan antara melepaskan atau mendekap erat. Apa yang harus kulakukan?

Huh!

Aku lupa kalau kamu sudah berpura-pura mati, maaf.

Namun, apakah kamu mendengar sebuah kisah tentang dilahirkan kembali?

Aku berfikir akan mencarimu agar cinta kita bisa bersama dalam ikatan bernama pernikahan.

Muach

£¢

Pena diletakan di samping sisi kanan atas. Kertas berisi goresan dibiarkan terbuka dalam pahitnya genangan air mata.

Liliana Cyena mengusap pipinya yang basah, "Sampai kapan kamu akan seperti ini?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Kepalanya diangkat untuk melihat arah luar jendela rumah sakit. Pemandangan terlihat indah dengan pesonanya untuk menenangkan pasien maupun keluarga yang menunggu.

"Ibu..."

Suara lirih di perdengarkan supaya Liliana Cyena menyadari akan kehadirannya yang lama.

"Pergi!"

"Ibu, ini sudah waktunya ibu minum obat"

"Pergi!"

"Ibu, kamu sakit. Tidak seharusnya berlebihan untuk melakukan sesuatu yang tidak penting"

"Tidak penting?"

"Ibu, dokumen pemindahan aset bergerak dan tidak bergerak menunggu persetujuan. Apakah ibu tega membiarkan kami anak-anakmu berperang satu sama lain demi harga murah?"

Liliana mengengam sapu tangan kotor. Bekas ingus bahkan mungkin bau disana berasal dari makanan maupun minuman.

"Marie Chinla jika kamu tidak keluar dari sini sekarang, ibu tidak tahu akan bertindak apa padamu"

"Ibu, mengancam? apakah ibu tahu tanpa bantuan dariku, ibu sudah lama mati!"

brak!

"Apa maksudmu Marie Chinla?"

"Paman kedua dan ketiga sudah sejak pagi menunggu kabar kematian ibu. Aku hanya bisa menahan dengan berkata ibu belum bisa menandatangani"

Seumur hidup menanggung semua beban dalam hati. Liliana Cyena mulai menyesali keputusannya bertahan dalam 25tahun pernikahan.

"Dimana ayahmu?"

"Tidak tahu, mungkin bersama kekasihnya"

Kata-kata Marie Chinla menggores kuat dalam hati Liliana Cyena. Tangan gemetaran meraih tumpukan dokumen di dekatnya.

Deretan huruf bahkan angka yang fantastis merubah semua ekspetasi dan ekspresi Liliana Cyena.

"Bu, aku keluar dulu. Paman kedua memintaku keluar sebentar untuk berdiskusi"

Tanpa mengatakan obat diminum dalam sekejap, Liliana Cyena kembali masuk dalam pikirannya. Marie Chinla tersenyum saat menutup pintu, "Apa sudah di tanda tangani?" tanya paman kedua dengan resah.

"Tenang, semua sudah dimengerti oleh ibu"

Pelukan di dapatkan Marie Chinla, wajah otomatis merah tomat. Paman kedua melonggarkan untuk menariknya duduk di kursi.

"Katakan sejujurnya pada paman"

"Sesuai prediksi paman, ibu meminum obatnya secara teratur. Mungkin dua tiga hari lagi, ibu akan sukarela menandatangani semuanya"

"Bagaimana dengan ayahmu?"

"Dia sibuk dengan perusahaan barunya. Ini masalah harga diri katanya. Marie tidak dapat mencegahnya"

"Tidak apa. Selama ayahmu tidak memperhatikan maka semuanya baik-baik saja. Paman pergi dulu ke rumah, bibi menunggu"

"Hati-hati di jalan"

Marie berdiri lalu membungkuk 90° arah pamannya sebagai penghormatan. Paman kedua cepat berjalan pergi arah pintu keluar.

Pintu di buka, Marie melangkah masuk dengan menggunakan langkah yang ringan.

"Marie, ibu tidak merasa baik sekarang ini"

"Tidur Bu"

"Tidak bisa. Ibu masih menunggu"

"Menunggu? ayah sibuk di kantor"

"Hmm"

Liliana Cyena memejamkan mata, air mata diam-diam mengalir keluar membasahi bantalnya. Marie duduk di sofa, asyik menikmati membaca dokumen di atas meja.

Desir angin di luar terdengar lembut. Liliana merasa badannya semakin berat tenggelam.

"Marie..."

"Apalagi Bu? tidur saja"

"Jika ada kehidupan lain, apakah kamu masih mau jadi anak ibu?"

"Tidak! hidup kita susah. Paman pertama dan kedua sibuk menjegal kita dimana-mana. Harta harus dibagi oleh anak yang lain. Mana ada enaknya"

"Apa harta lebih penting daripada kasih sayang orang?"

"Ibu ini aneh. Kasih sayang atau cinta atau apapun itu tidak membuat kita kenyang. Lihat saja ibu, begitu tua mana ada yang peduli"

"Kakak dan adikmu sibuk. Kamu tak punya pekerjaan, membantu ibu sudah kewajiban. Apakah kamu menyesali?"

"Ibu! aku punya duniaku tapi gara-gara kamu, duniaku terbatas. Siapa yang akan menikahi aku jika begini terus? katakan padaku Bu, bisakah aku menikah dengan paman kedua?"

"Marie Chinla!"

"Dia bukan paman asliku. Kita tidak ada hubungan darah dengannya, wajar jika aku inginkan"

Liliana Cyena melihat putri bungsunya dengan wajah terluka, "Kamu bodoh jikalau lakukan itu Marie" serunya.

"Bodoh atau tidak, apa urusannya dengan ibu. Aku akan mendapatkan maka aku dapatkan"

"Paman kedua sudah mempunyai calon istri, jangan lakukan itu"

"Harta yang diinginkan ada padaku maka ia harus tunduk padaku. Ibu, kapan kamu mati? terlalu lama, aku sudah lelah"

"Kamu inginkan ibu mati?"

Marie menghampiri Liliana dengan senyum di wajahnya, "Aku lihat ibu sudah menandatangani semuanya, bukankah sebaiknya ibu mati jadi bisa dilaksanakan pembagiannya?" tanyanya pelan.

"Marie...."

"Tidak apa Bu, sakitnya hanya sebentar"

"Apa maksudmu?"

Liliana merasakan sakit di dadanya. Rasa sakit yang terasa seperti membakar dan nafasnya menjadi sulit.

"Mati Bu dengan tenang, jangan khawatirkan semuanya, aku akan mengurusnya"

"Kamu-- "

Udara dingin menerpa tubuh Liliana, mata terbelalak dan mulut menganga ingin mengatakan sesuatu tapi tak ada yang keluar.

Marie berdiri kaku melihat proses kematian Liliana, "Ibu, pergilah dengan damai" bisiknya menikmati setiap detiknya.

"Haus..." pikir Marie, berbalik menuju arah meja dekat jendela. Ia menuangkan air dalam gelas, terlihat butiran es yang meleleh dari botolnya. Senyum di wajahnya perlahan muncul, "Betapa mudah membunuhnya, harusnya sejak awal aku lakukan" gumamnya membuang air dalam botol ke bawah jendela demikian juga air dalam gelas. Nyaris saja meminumnya jika tak ingat telah bercampur dengan racun.

Marie memandangi sekitarnya, mulai bergerak menyingkirkan barang-barang yang dianggap memberatkan dirinya di masa depan.

Dua puluh menit kemudian,

Marie bergegas membunyikan lonceng di dekat tempat tidur, "Ibu....!!" teriaknya kencang dengan air mata berurai.

tap... tap...tap....brak!

Pintu di buka dari luar, berdatangan dokter dan suster membawa peralatan yang diperlukan.

"Nona Marie, silahkan keluar. Biarkan kami berupaya"

Tangan Marie di tarik keluar oleh suster, "Tolong selamatkan ibuku, harusnya aku tidak tertidur hik...hik...ibu...ibu, maafkan Marie karena tidak menjagamu dengan baik" serunya.

bum!

Pintu ditutup rapat dari dalam, Marie bergerak ke arah kursi di dekatnya. Duduk menunggu. Lorong terasa kosong sama seperti hatinya, namun kepuasan melihat kematian membuatnya hidup.

tap...tap...tok....tok... suara pecah di keheningan lorong, Marie melihat arah kosong, pecahan sinar matahari menyelimuti sebagian lorong.

Hembusan angin mengencang disekitar Marie lalu hilang, "Huh! angin sialan bikin takut saja" gerutu Marie seketika.

Arwah Liliana berjalan dengan santai meninggalkan tempat itu. Wajah sedih bercampur kemarahan merusak tatanan yang ada.

Hidup satu kali dan mati di tangan anaknya sendiri, betapa menyedihkan. Jika suatu hari dilahirkan maka ia tidak ingin berikan nama untuk anaknya, kalau perlu tidak ingin menikah atau punya anak pikirnya bersamaan tubuhnya menghilang dari dunia, lenyap.