1 Prolog

Saat alam Dewa jatuh ke dalam kekuasaan alam Iblis akibat kekalahan Raja Langit atas peperangan alam Dewa dan alam Iblis, menjadi saat-saat yang teramat sulit bagi para Dewa-Dewi.

Bara api dari alam Neraka tak henti-hentinya menyala di atas tanah subur alam Dewa. Mengubahnya menjadi tanah kering yang tak dapat menghidupi apa pun.

Selama pandemi yang sedang berlangsung itu, terdengar banyak kabar duka, penderitaan, serta rintihan yang amat memilukan.

Pada masa saat para Dewa-Dewi sedang gencar-gencarnya memberikan persembahan hidup kepada Iblis demi keberlangsungan hidup mereka sendiri, seorang Dewi dari daerah Tenggara akan dipersembahkan demi keselamatan satu desa tempatnya tinggal.

Hal itu dianggap biasa saja. Sudah sering dilakukan, bahkan di daerah lain.

Di balai desa, Dewi itu diseret hingga sampai di depan sebuah kereta kuda bercorak ular menyeramkan, yang merupakan tanda bahwa kereta tersebut adalah kereta untuk mengantar persembahan hidup kepada Iblis.

Semua orang dari desa berkumpul mengerubungi balai desa bagai laron yang mengerubungi lampu. Semuanya menatap ke arah sang Dewi: ada yang menatap dengan penuh harap, ada juga yang menatap dengan tatapan menghakimi.

Namun, sang Dewi tetap diam saja. Tidak berbicara, juga tidak meronta. Dia seolah sudah sangat pasrah dengan keadaannya, sudah sangat pasrah dengan kehidupannya. Tatapannya amat sayu dan kosong, seperti jiwanya sudah tak melekat di dalam tubuhnya.

Dewi lain menutup kepalanya menggunakan sepotong kain transparan panjang berwarna hitam. Kemudian, Dewa-Dewi lain mulai bergosip tentang dirinya.

"Ckck… padahal umurnya masih sangat muda. Kasihan sekali dia."

"Alam semesta memang tak pernah pandang bulu ya!"

"Betul, tidak membeda-bedakan sama sekali. Lihat saja Kepala Desa kita yang dulunya adalah salah seorang

Pemimpin serta Petinggi Besar di Tenggara, sekarang dirinya tidak lagi siapa-siapa, hanya menjadi seseorang yang terukir di masa lalu. Dengar-dengar, dulunya dia suka bersikap semena-mena sementang menjadi Petinggi Besar. Sekarang, dia sedang terkena buah karma-nya sendiri."

"Bukannya diberkati oleh alam semesta, dia malah diberkati oleh Dukkha! Hahaha…."

"Tapi, dia seperti Dewi rendahan tidak sih?"

"Oh, kamu tidak tahu? Namanya saja sudah Zainan (灾难 - Zāinàn; yang berarti malapetaka). Mungkin semenjak kelahirannya, alam semesta sudah memperingatkan Ayah dan Ibunya untuk membunuhnya karena dia akan membawa malapetaka ke alam Dewa. Sayang sekali orang tuanya bodoh, lebih memilih untuk membesarkan anaknya ketimbang memikirkan hajat hidup orang banyak."

"Benarkah? Benar-benar Dewi Rendahan!"

"Ssttt… kedengaran loh…."

Zainan yang mendengar hal tersebut pun hanya bisa diam saja. Dia merasa bahwa perkataan Dewa-Dewi itu ada benarnya. Jika saja Ayah dan Ibunya membunuhnya, mungkin alam Dewa akan menang dalam peperangan melawan alam Iblis. Dan, alam Dewa tidak perlu menderita di bawah tekanan yang diberikan oleh Iblis.

Mereka benar, tidak seharusnya aku berada di sini. Tidak seharusnya aku dilahirkan ke dunia ini. Aku adalah 'tanda besar' bagi kekalahan alam Dewa. Semenjak alam semesta memberikan nama itu kepadaku, pikir Zainan.

"Oh Penguasa!"

Upacara Persembahan pun dimulai.

"Karena persembahan yang kami berikan ini akan menuju ke tempatmu, jagalah dia sepanjang jalan yang gelap dan panjang!"

Kemudian, Zainan dipapah masuk ke dalam kereta kuda. Dia tetap diam saja, tidak melawan, tidak juga menolak. Dia merasa kalau dia harus bertanggung jawab atas segala hal yang sudah terjadi di alam Dewa. Dia sebagai 'pertanda buruk' kehancuran alam kelahirannya.

Sebelum masuk ke dalam kereta kuda, Zainan sedikit menengadah, menatap ke arah langit alam Dewa yang mulai berwarna oranye-kemerahan, tanda dari malam panjang yang menakutkan akan segera tiba.

Tiba-tiba salju turun memadamkan api. Entah apa yang sedang alam semesta pikirkan. Dewa-Dewi yang berkumpul di balai desa pun kaget akan fenomena alam yang tak disangka-sangka.

Namun, hal itu tidak menghentikan niat seisi desa: mempersembahkan Zainan kepada Iblis. Dewi itu dipaksa masuk ke dalam kereta kuda. Kemudian, rombongan mengikuti kereta kuda dari belakang sambil menjaga jarak.

"Kepala Desa! Kepala Desa! Kepala Desa, ada tamu penting yang datang!"

"Cih! Sudah kukatakan jangan bertindak gegabah! Apakah kau tak tahu kita sedang mengantarkan sesuatu yang penting untuk Penguasa?"

Kepala Desa terlihat sangat marah karena bawahannya berani menginterupsi proses 'Pengantaran Persembahan'.

"Bukan… bukan begitu! Anda harus paham betapa pentingnya tamu ini, Kepala Desa!"

Wajah si Bawahan terlihat sangat gugup dan ketakutan. Entah tamu penting mana yang dimaksudkan olehnya. Tetap saja, dia sudah lancang karena menghambat proses 'Pengantaran Persembahan'.

"Lancang sekali! Beraninya kau menghambat proses pengantaran untuk Penguasa!"

Kepala Desa mencabut pedang dari sarung dan mengarahkan benda tajam itu ke leher si Bawahan.

"Yang datang adalah Pangeran Bing Xuehua!"

"A- apa katamu?!"

Rombongan langsung menjadi ribut. Wajah Kepala Desa pun berubah menjadi sangat pucat.

"Benar, Kepala Desa! Yang datang adalah Pangeran Bing Xuehua (冰 雪花 - Bīng Xuěhuā: Kepingan Salju Es; sama seperti namanya, dia adalah Dewa yang dapat mengendalikan air, es, dan salju.)! Jika hamba berani berbohong, kepala hamba siap dipenggal!"

"Pangeran Bing Xuehua? Berarti… berarti salju yang memadamkan api ini… kenapa… kenapa dia dapat berkunjung ke sini di saat-saat seperti ini pula?!"

"Kebetulan saja aku lewat."

Kepala Desa yang sedang panik kaget dan langsung menatap ke sumber suara. Dia bisa melihat seorang pria bersurai seputih salju berdiri di atas sebuah pedang terbang yang terbuat dari giok berwarna biru cerah.

"Aku baru saja pulang dari bagian Selatan untuk memadamkan api Neraka, kebetulan sekali akan melintas ke Timur dan berpaspasan dengan sebuah rombongan kecil yang mencurigakan di sini. Sekalian aku ingin menagih hutang dari seorang kawan lama. Tak kusangka aku akan melihat proses Pengantaran Persembahan kepada Penguasa."

Bing Xuehua, Putra Mahkota Kerajaan Langit yang tidak bisa tersentuh bahkan oleh Penguasa Iblis, kalau tak ingin mati lebih baik diam saja.

"Lama tak berjumpa, Putra Mahkota. Ah, maksudku Pangeran Xue…."

Semenjak Iblis menjejakkan kakinya di alam Surga, Bing Xuehua membangun kerajaannya sendiri dan mengubah gelarnya menjadi Pangeran Xue. Tanah yang dipimpinnya sama sekali tak bisa disentuh oleh Iblis. Dewa yang sangat mengerikan.

"Petinggi Besar Gu Mingwan. Ah, sepertinya posisimu sudah diturunkan menjadi seorang Kepala Desa ya. Seharusnya kau menjaga orang-orangmu dengan baik. Tapi, masih beruntung ya hidupmu, tidak dipenggal oleh lalat-lalat dari alam Iblis itu. Sepertinya aku sangat tidak sopan ya, menagih hutang di saat-saat seperti ini."

Bing Xuehua menatap lurus ke arah kereta kuda yang digunakan dalam prosesi 'Pengantaran Persembahan'. Dia tertarik.

Kepala Desa Gu yang mendengar sindiran Bing Xuehua sedang menahan amarahnya agar tidak meledak. Dia masih sayang dengan kepala dan nyawanya.

"Tidak sopan? Ten- tentu tidak Pangeran! Justru kamilah yang salah tidak mengetahui kedatangan Anda."

Dusta Kepala Desa Gu tentu tidak akan berlaku bagi Bing Xuehua.

"Oh begitu ya? Kukira kau sangat tidak menginginkan kehadiranku, makanya raut wajahmu sangat masam sekarang."

Satu pisau tak kasat mata kembali menancap di punggung Kepala Desa Gu. Dan, dirinya hanya bisa tersenyum gugup.

"Mana mungkin saya berani. Tentu saja saya sangat menyambut kehadiran Anda, Pangeran. Kalau saja saat ini kami tidak sedang melakukan prosesi pengantaran…"

Bing Xuehua menyeringai dan memotong ucapan Kepala Desa Gu, "Bukan karena hutangmu yang belum lunas?"

Kepala Desa Gu terdiam.

"Setiap kali kau akan mengatakan bermacam-macam alasan."

Bing Xuehua turun dari pedang terbangnya dan mendekat ke arah Kepala Desa Gu. Sedangkan Dewa yang didekatinya hanya bisa terdiam seperti sebuah patung.

Orang-orang memberikan tatapan yang dipenuhi kengerian dan rasa takut. Mereka juga mulai berbisik-bisik.

"Apakah dia benar-benar Putra Mahkota dari Kerajaan Langit?"

"Katanya bahkan Iblis pun tak bisa mrnyentuhnya. Jika benar begitu, kenapa dia tidak menyerang balik dan memperebutkan alam Dewa?"

"Sungguh?"

Bing Xuehua melewati Kepala Desa Gu dan berhenti tepat di depan kereta kuda. Dengan pedang magisnya, dalam sekali tebas kereta itu hancur, menyisakan Zainan dengan kepalanya yang masih tertutupi kain hitam.

"Siapa perempuan ini?"

Bing Xuehua menatap Zainan dari atas sampai bawah. Dia menganalisis bahwa cara duduk sang Dewi sama persis seperti seorang keturunan keluarga Kerajaan. Sangat mencurigakan.

"Ah… i- itu… dia adalah…."

Sekali lagi Bing Xuehua memotong, "Persembahan, bukankah begitu?"

"Tak hanya itu, Pangeran, dia adalah 'malapetaka' bagi Tenggara. Maka dari itu, satu desa setuju untuk menjadikannya persembahan."

"Oh? Menarik juga…."

Gara-gara dia, wajahku jadi tercoreng. Tapi, aku penasaran. Apakah Pangeran Xue benar-benar suka pada wanita? tanya Kepala Desa Gu.

"Berhubung hampir semua orang di sini tampaknya mengasihani wanita ini, dan kau pun masih berhutang kepadaku, dia akan kubawa sebagai pengganti hutang. Seperti ini lebih baik, kan?"

Wajah semua orang tampak kaget. Sebenarnya, mereka sangat tidak setuju karena Zainan merupakan 'persembahan'. Namun, tak ada yang berani mengatakan sesuatu. Mereka masih dapat mencari persembahan lain, akan tetapi jika menolak permintaan Bing Xuehua, mereka akan segera mati di tempat.

"Bagaimana, Kepala Desa Gu? Apakah kau bersedia?"

"Apa itu artinya… An- Anda akan menghapus hutang saya se- seluruhnya?"

"Aku akan mengambil barang persembahan. Bukankah itu sebanding? Kalaupun masih bersisa, anggap saja itu adalah karma baikmu."

Kepala Desa Gu menelan ludah. Ini adalah kesempatan yang tak boleh kulewatkan. Toh dia hanyalah barang persembahan. Hutangku juga akan dihapus. Tapi, jika aku menerima dengan cuma-cuma di depan semua orang, bukankah akan terlihat sangat tidak menyenangkan? pikirnya.

Bing Xuehua tersenyum, kemudian berkata, "Oh, pasti sulit ya bagimu untuk memilih. Baiklah, anggap saja aku tak pernah menawarkan hal ini."

"Tidak! Maksudku, bawa saja wanita ini, Pangeran. Tapi, saya mohon untuk memberikan sesuatu yang dapat kami persembahkan kepada Penguasa."

Kepala Desa Gu menunduk dalam-dalam. Walau harga dirinya tercoreng, dia harus melakukannya agar tampak tidak mencurigakan.

"Tidak boleh, Kepala Desa!"

Seorang Dewi berteriak keras sampai-sampai semua perhatian tertuju kepadanya.

"Bu- bukankah alam semesta yang mengatur ka- kalau harus Nona Ying Zainan yang di- dijadikan persembahan…?"

Bing Xuehua menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah seringai. Dia seperti sedang menikmati drama yang hampir mencapai bagian klimaks.

"Kalau begitu," kata Bing Xuehua sambil mengelus lembut pedangnya. "Kenapa tak kau saja yang menjadi persembahan kepada Iblis yang kalian sebut Penguasa? Bukankah itu sebanding? Jika kau berkata alam semesta yang menunjuknya menjadi persembahan, maka tak mungkin aku akan berada di sini dan memintanya. Alam semesta yang kau maksud adalah dirimu, ya? Sungguh lucu."

"Lancang sekali! Tangkap dia dan jadikan persembahan untuk Penguasa!"

"Kepala Desa! Kepala Desa! Anda tak bisa seperti ini! Bukankah Anda egois sekali? Kepala Desa! Kepala Desa!"

Tidak ada seorang pun yang berani menyelamatkan Dewi yang diseret itu.

Bing Xuehua tersenyum puas. Dia mengalihkan perhatiannya kepada Zainan. Dia menyingkap kain hitam yang menutupi wajah sang Dewi.

Tampaklah wajah Zainan, dengan kulit putih bersih, bibir merah delima, rambut hitam pekat yang disanggul, serta mata senada dengan rambut yang sayu dan kosong. Bing Xuehua sedikit kaget melihat kecantikan si Dewi.

"Cantik juga. Halo, barang persembahan."

avataravatar