webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
Not enough ratings
165 Chs

Sudah Ketemu

"Anda belum menemukan barang anda?" sosok pemuda tinggi terlihat keluar dari ruangan lain, tepatnya berdekatan dengan meja saji, mungkin tempat penyimpanan persediaan.

Apapun itu Simon tak terlalu peduli, dia terlalu sibuk untuk menjawab pertanyaan yang lumayan penting itu. Karena bisa saja si pemuda tadi akan segera menutup Cafe ini, hanya tinggal mendapat jawaban dari Simon lalu kemudian mereka akan keluar secara cepat. Maunya memang begitu, tapi nyala senter dari ponsel tak cukup untuk membuat pencahayaan menjadi lebih terang. Simon merasa dirinya menjadi karakter game horo yang pernah dia mainkan. Berada di gedung gelap, hanya berbekal senter dan sendirian.

Lupakan saja si pemuda besar di ujung ruangan, manusia itu tak membantu sama sekali.

Baik, harusnya perkataan itu dibalikkan pada Simon. Karena pada dasarnya dia sendiri tak meminta bantuan apapun pada si pemuda tinggi.

"Ah, maaf! Saya lupa menyalakan lampu!"

Ashley tergopoh-gopoh berlari menuju saklar lampu di dekat mesin penghancur kopi. Menekan beberapa tombol berwarna putih lalu cahaya mulai menyeruak dari lampu-lampu gantung di langit-langit Cafe, kegelapan yang tadi mendominasi langsung hilang. Bersamaan dengan si pemuda tinggi yang berjalan ke arah Simon.

"Biar saya bantu.."

Si pemuda tinggi menawarkan diri, entah karena inisiatif atau sebenarnya dia bisa membaca isi pikiran Simon. Benar, diam-diam Simon telah banyak menggerutu di dalam hati, memaki tentang ketidakpekaan sosok tinggi besar satu ruangan dengannya, tentang kebodohan sosok itu karena tak langsung tanggap menyalakan lampu, atau mungkin Simon hanya butuh pelampiasan saja untuk mengurangi kadar darah yang sudah tinggi sampai melampaui batas kenormalan.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri."

Simon dengan harga diri kuat menolak dengan tegas bantuan yang ditawarkan oleh si pemuda besar. Dia bahkan tak menatap barang sedetik pun dan masih berjalan ke seluruh penjuru ruangan, kepalanya menunduk dan masih menyoroti dengan cahaya flashlight dari ponsel di tangannya. Walaupun cahaya lampu di atas cukup untuk menerangi bawah kolong meja sekalipun, Simon tak mau menerima itu semua.

"Akan cepat untuk menemukan barang anda jika kita mencarinya bersama-sama."

Saran dari si pemuda tinggi sangat masuk akal. Semakin banyak orang semakin baik bukan. Namun, mungkin Simon sudah terlanjur malu jika dia menerima bentuan dari pemuda yang telah ia maki-maki dalam hati. Seperti menjilat ludah sendiri dan Simon tak mau melakukan itu.

"Kalau kau ingin membantu, setidaknya berdiri saja dan tunggu sampai aku menemukan barangku."

Di belakang , Ashley mengerucutkan bibir, untung saja Simon tak melihatnya karena sudah pasti dia akan menjatuhkan tatapan risih atas tindakan Ashley yang terkesan tak sadar umur.

"Kalau anda mencarinya sendirian, kita pasti akan menemukannya saat fajar tiba," ujar Ashley dan lagi-lagi dia membeberkan fakta sebenarnya. Yang tentu saja hal itu membuat Simon di depan sana mendecak sebal.

"Heh.." Simon mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk, lalu memutar badan menghadap ke arah si pemuda tinggi yang berada lima langkah di belakangnya. "Siapa namamu?"

"Ashley Pak!" jawab Ashley dengan pose tegap seperti tentara. Ah, dia tampak gugup sekarang. Ruangan yang telah terang benderang membuatnya jadi lebih mudah melihat sosok pemuda bertubuh kecil, tepatnya pada paras rupawan yang mulus dan putih seperti porselen. Di mata Ashley, seolah yang berdiri di depannya adalah sosok vampir seperti dalam film fantasy romance. Kulit putih berpadu dengan bibir semerah darah.

"Pak? Aku tidak setua itu."

"Yah? Kakak!" Ashley meralat ucapannya masih dengan posisi tegap sempurna.

Simon lantas menepuk dahinya sendiri, dia sudah kehabisan kata-kata untuk memaki si pemuda jangkung. "Jangan asal memanggilku begitu, kita sama sekali tidak akrab!" hardik Simon dengan suara tinggi, cukup membuat Ashley tersentak saking kagetnya. "Dan, berhenti bersikap konyol seperti itu, memangnya kau sedang wajib militer huh?"

Ashley menyisir rambut cepaknya ke belakang, menandakan dia sedang merasa gugup sekarang. Sepertinya, apapun yang dia katakan atau lakukan akan selalu terlihat salah di mata pria berkulit pucat ini. Tapi, bukan Ashley namanya jika tidak keras kepala. Tanpa diminta dan tanpa persetujuan, dia lantas ikut melakukan pencarian barang milik si pria Vampir. Ah, benar, Ashley tak menanyakan nama pria tersebut. Sepertinya juga percuma saja jika dia menanyakan hal itu sekarang.

"Benda apa yang anda cari Tuan?"

"Hey, sudah ku bilang tidak usah membantu—"

"Saya juga ingin segera pulang, jadi sebaiknya kita lakukan pencarian ini agar cepat ditemukan."

Diluar dugaan, respon Ashley yang terkesan dingin mampu membuat Simon membungkam mulut, tak ada lagi protes.

"Jadi, bisa tolong sebutkan ciri-ciri barang yang Anda cari?" tanya Ashley lagi.

"Cincin," sahut Simon. "Cincin berwarna hitam metalik dengan tekstur sedikit kasar karena terdapat arsiran bergelombang pada permukaannya," dia melanjutkan dengan penjelasan sedetail mungkin.

"Cincin?" Ashley menegakkan tubuhnya yang tadi membungkuk. "Maksudmu, cincin semacam ini?"

Simon sontak memutar kepala, matanya langsung menjadi fokus ke arah sebuah benda berwarna hitam metalik yang berkelip memantulkan sinar dari cahaya lampu di atasnya. Benda itu, cincin yang selama dia cari ternyata ada pada si pemuda jangkung berwajah menyebalkan -Simon tak terlalu peduli pada nama si pemuda yang baru saja dia ketahui- kalau tahu begini, untuk apa dia susah payah mencari dalam kegelapan apalagi menghabiskan waktu untuk sekedar mengobrol dengan orang asing tak menyenangkan. Buang-buang waktu saja.

Simon segera menyambar cincin miliknya secepat kilat, memperhatikan dengan seksama lewat iris mata sekelam langit malam di luar sana. "Di mana kau temukan ini?" tanya Simon tak santai.

"Saat mengepel lantai yang basah ketika... ketika saya tak sengaja menumpahkan minuman pada Anda," jawab Ashley agak takut, dia bahkan tak berani menatap langsung bola mata sipit yang terkesan menelanjanginya sekarang.

Otak Simon bekerja, dengan segala kejeniusannya langsung mengambil kesimpulan secara paten dan pasti. Cincin ini sangat merekat sempurna pada jari manisnya, butuh tarikan cukup kuat atau cairan pelumas yang licin agar dapat melepaskan dari jemari. Cairan itu, tentu saja si kopi dingin laknat. Dan si brengsek jangkung di depannya telah menyimpan cincin ini cukup lama.

"Kenapa kau tak bilang dari awal?!"

"Anda kan tidak menjawab pertanyaan saya tadi.." Ashley mundur selangkah dari tempatnya berdiri, jaga-jaga kalau pria ini hendak melayangkan pukulan atau sejenisnya.

"Sial!"

Simon mengepalkan tangan di udara sementara Ashley sudah memejamkan mata erat, pikirannya sudah dipenuhi oleh hujaman bogem mentah. Namun ternyata Simon hanya sedang menahan amarah, setelahnya dia buru-buru pergi dengan langkah tergesah dan menubruk pundak lebar Ashley, entah sengaja atau tidak sengaja.

Ah, anggap saja sengaja karena Ashley meringis kesakitan sembari memegangi pundaknya.

Meski bertubuh kecil, ternyata pria itu memiliki tenaga yang lumayan kuat.

"Yah, aku lupa menanyakan namanya..."