webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
Not enough ratings
165 Chs

Menemukan Simon

Itu dia, itu Simon yang Ashley cari.

Tetapi sosok pria pemaki seketika hilang dari isi kepala Ashley. Entah bagaimana, tapi wajah damai dan dada yang bergerak naik turun secara stabil benar-benar meleburkan kesan pertama ketika mereka bertemu dulu. Bagaikan dua orang yang berbeda.

Semakin mereka mendekat, Ashley dapat merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Seperti ketika hendak berbicara dengan orangtuanya mengenai rencana bersekolah di luar kota. Menegangkan. Tetapi ternyata bukan hanya dia saja yang sedang gugup, gadis di sebelahnya menunjukkan respon tak kalah gelisah. Posisi Ashley yang berada di belakang memudahkannya untuk mengamati lebih jelas bagaimana pundak Emily bergerak naik turun secara cepat.

Ashley ingin menanyakan keadaan gadis itu, tetapi dia harus mengurungkan niatnya karena mereka telah berada tepat di sebelah pemuda yang tengah duduk terpejam.

Tangan Emily terulur, hendak menepuk bahu pemuda yang tertidur, sebelum berhenti menggantung di atas udara ketika kepala Simon bergerak. Seakan memiliki insting setajam puma, Simon menoleh ke arah samping dan menemukan dua orang tengah menatap ke arahnya.

Bukan Simon yang terkejut, malahan Emily.

Si gadis tersenyum canggung, sebelum mengutarakan sapaan yang tak kalah kaku. "Hay.."

Sorot mata Simon terkesan dingin meskipun wajahnya tampak seperti orang yang baru saja terbangun dari tidur. Seketika membuat Emily semakin gugup, bahu gadis itu bahkan sudah bergetar. Mungkin akan menangis. Arah pandang Simon berubah saat menyadari bukan hanya Emily saja yang ada di dekatnya. "Kau?"

Ashley mengangkat telapak tangan sebatas telinga, isyrat sapaan paling canggung yang pernah dia lakukan. "H—halo.. Senior.. " Dia meneguk paksa ludahnya sendiri. Entah bagaimana tatapan pemuda itu sukses menghilangkan sebagian besar kalimat yang telah tersusun rapi di dalam kepalanya.

Simon melirik ke arah Emily yang masih berdiri diam dengan wajah tertunduk lesu sembari memainkan jari jemarinya sendiri.

"Ada yang ingin ku sampaikan, mengenai majalah kampus—"

Simon bangkit. Bunyi decitan meja terdengar saat lututnya tak sengaja menendang kaki meja. Dia langsung menyambar lengan si pemuda tinggi. "Iya.. iya. kita bisa bicara di tempat lain." Dan menarik Ashley menuju pintu keluar, mengabaikan sosok lain di sana.

Emily menggigit bibir bawahnya saat menatap punggung Simon yang kian menjauh, lalu benar-benar menghilang di balik pintu kaca. Tubuhnya memerosot, terduduk tak berdaya di sebelah kaki meja. Wajahnya menunduk dan punggungnya bergetar hebat. Menangis tanpa suara.

.

.

.

.

.

"Hey—"

Ashley tak mengerti bagaimana tubuh kecil pria di depannya mampu menarik tubuhnya yang lebih besar. Selama ini dia salah telah salah sangka, ternyata dibalik tubuh yang tampak lemah itu menyimpan kekuatan yang lebih besar. Memang sudah seharusnya tidak boleh menilai hanya dari luar saja.

"Hey.. Tunggu.."

Kini malah Ashley sendiri yang mulai merasa kelelahan. Kakinya dipaksa melangkah panjang, cepat secara konstan. Itu sempurna untuk membuat kakinya kelelahan lebih cepat. Dia juga tak tahu sampai mana si senior menariknya. Mereka tidak keluar dari komplek kampus, malahan semakin masuk ke dalam. Menyusuri lorong koridor dimana masih banyak orang-orang berlalu lalang, ini masih dalam jam pelajaran.

"Kita.. hhh.. mau hh.. kemana?" tanya Ashley dengan nafas memburu. Kalau begini caranya, bisa dipastikan dia akan pingsan karena kelelahan. Tenaga si kecil tidak main-main. Setidaknya, sebelum pingsan dia bisa mengetahui akan kemana mereka pergi.

Sayangnya, Simon masih diam seribu bahasa. Seperti batu. Hanya saja deru nafas pemuda bertubuh kecil itu terdengar terengah-engah. Sama seperti Ashley, tetapi Simon lebih memilih diam.

Bahkan saat naik tangga pun, Simon tak memelankan laju langkahnya. Tetap seperti semula, cepat. Tentu saja hal ini semakin membuat nafas mereka lebih terengah-engah. Apalagi Ashley, dia berusaha untuk menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Simon. Namun ternyata sia-sia, sebab dia sudah terlalu kelelahan sampai tak bisa melepaskan genggaman.

Hingga akhirnya mereka sampai di sampai di depan pintu besi.

"Hhh... Senior.. Sebenarnya kita mau ke—"

Simon menoleh, tatapan matanya sontak membungkam mulut Ashley. Tidak ada sepatah kata keluar, Simon lebih memilih membuka pintu itu ketimbang menjawab pertanyaan juniornya.

Pria tinggi itu seketika memejamkan mata saat semburan cahaya merangsak masuk ke dalam retinanya. Sebuah bentuk pertahanan diri, mata akan menyesuaikan ketika terjadi perubahan kepadatan cahaya. Berpindah dari tempat yang lebih gelap ke tempat terang, begitu juga sebaliknya.

Ashley membuka kelopak mata saat merasakan genggaman di pergelangan tangannya memudar. Dia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatan, di sini sangat terang. Perlahan, retinanya mulai terbiasa dan Ashley mendapati pemuda bertubuh kecil sudah berada lumayan jauh darinya. Tepatnya tengah berdiri di dekat dinding pembatas. Oh tidak, apa orang itu hendak bunuh diri? Tanpa pikir panjang, Ashley langsung berjalan —berlari kecil— menghampiri Simon.

"Kau punya rokok?"

Sebelum Ashley membuka mulut menghentikan niat bunuh diri pemuda itu, Simon justru mendahului dengan bertanya mengenai rokok. Ini cukup mengherankan. Dalam satu hari Simon telah berhasil memutar balikkan pandangan Ashley terhadapnya. Dia pikir Simon sangat ramah, melihat dari paras pemuda itu yang lumayan menggemaskan, dia salah. Dia pikir Simon tak suka menyendiri karena pemuda itu memiliki teman cerewet seperti Jacob, Ashley salah lagi. Dia pikir Simon tipikal pria yang tidak merokok, karena Ya Tuhan, bagaimana bisa bibirnya semerah darah dan terlihat semakin kontras karena warna kulit Simon sangat putih, nyaris pucat. Ashley lagi-lagi salah mengira.

"Aku, tidak punya."

"Kenapa?"

Ashley reflek mengangkat kedua alisnya sekaligus. "Kenapa apa?"

Simon mendecak. Ashley bisa melihat lirikan tajam itu meskipun hanya sepersekian detik saja. "Bagaimana bisa kau tidak punya rokok."

"Yeah," Ashley menggaruk pipinya, entah kenapa kembali merasakan atmosfer kecanggungan. "..Karena aku tidak merokok."

"Tidak terduga," gumam Simon yang masih bisa didengar oleh Ashley. Jarak sangat memengaruhi.

"Harusnya aku yang bilang begitu," sahut Ashley tetapi dia langsung menutup mulutnya. Kalimat barusan harusnya tetap berada di dalam batin, bukannya malah terlontar begitu saja. Apalagi dengan suara keras.

"Memangnya kenapa? Wajar kan.." Simon berbalik badan, tak lagi menatap pemandangan di bawah sana tetapi memilih bersandar pada dinding beton. Tubuhnya memerosot ke bawah yang diikuti dengan kakinya lurus ke depan.

"Em.. ya, tergantung sih." Ashley tak tahu kenapa dia malah mengikuti apa yang dilakukan Simon. Duduk bersandar dengan kaki lurus ke depan. Tubuhnya seolah bergerak sendiri. "Kenapa di sini?"

"Kenapa tidak?"

Ashley tak bisa berkata apapun, seolah ucapan Simon menghipnotisnya. Merubahnya jadi dungu. Perasaan kesal beberapa saat lalu telah lenyap entah kemana. Mungkin karena langit di atas sana sangat cerah, mungkin sebab angin berhembus sepoi-sepoi menerbangkan helai rambutnya. Atau mungkin karena raut wajah pemuda di sebelahnya.