webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
Not enough ratings
165 Chs

Kehilangan

"Apa Tunanganmu tahu bagaimana sikapmu sebenarnya?"

Pertanyaan Simon yang terkesan tiba-tiba itu sukses membuat Caroll melepas pelukannya, dia menatap punggung Simon dengan pandangan aneh sebelum melenggang kembali ke ranjang yang berantakan.

"Well, karena aku belum memberitahunya secara langsung, ku kira dia belum tahu~" jawab Caroll santai sambil memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai. Bukan untuk dipakai kembali, melainkan memasukkannya ke keranjang di samping meja kerja. Sedangkan Caroll sendiri masih betah bertelanjang bulat ketika sedang merapikan kembali tempat tidurnya, mengganti sprei lama (dengan beberapa bekas cairan sisa mereka bercinta) dengan yang baru, berwarna putih bersih serta berbau wangi lavender.

Sementara itu, Simon masih terpaku menatap keadaan di luar sana, tanpa menggigil kedinginan. Dia seperti seorang pengidap 'Ekshibisionis' karena bertelanjang di depan kaca jendela, yang mana seseorang di luar sana dapat melihat keadaannya yang tengah bugil sekarang. Namun, itu cukup mustahil terjadi mengingat kamar apartemen ini terletak di lantai lumayan tinggi. Dan, meskipun kaca ini tampak transparan, sebenarnya hanya orang di dalam gedung saja yang dapat melihat pemandangan di luar, sedangkan orang luar tak akan bisa melihat bagian dalam gedung.

"Apa kau mau mandi bersama lagi?" tanya Caroll, rupanya dia telah selesai membereskan kekacauan akibat 'permainan' mereka beberapa saat lalu. Malahan wanita itu sudah memakai bathrobe, hendak menuju ke kamar mandi.

Tak ada jawaban dari Simon. Dia sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri, menyelami setiap titik bekas tetesan hujan yang menjadi gerimis. Telapak tangan berjari-jari panjang nan lentik bergerak ke keanan dan kiri, menghapus bekas embun yang terbentuk akibat turunnya temperatur. Dengan begitu pemandangan di luar sana tampak terlihat jelas lagi. Lampu-lampu dari gedung juga jalanan di bawah sana mendominasi, mengalahkan kegelapan selepas tenggelamnya matahari.

Lama kelamaan telapak tangan yang tadinya kering menjadi basah akibat mengusap embun-embun tipis, terkumpul dalam permukaan kulit menjadi bulir air. Dingin lebih terasa ketika cairan tipis berpadu dengan udara dingin menelusup memasuki pori-porinya. Simon berusaha menghilangkan air yang menempel di telapak tangan, pada tubuhnya sendiri, yang mana semakin membuatnya menggigil. Dia telah kembali pada kesadarannya ketika merasakan tubuhnya memerlukan benda lain untuk menepis hawa dingin.

Simon kemudian memunguti lagi pakaiannya yang sudah di letakan di keranjang berisi pakaian kotor lain. Memakai satu persatu tanpa melupakan satupun barang. Dari mulai pakaian dalam hingga kaos kaki, semuanya sudah menempel dengan sempurna membalut tubuh indahnya. Hingga, lagi-lagi dia tersadar setelah semuanya sudah terlambat.

Cincin berwarna hitam metalik yang biasanya tersemat di jari manis tangan kanan, sekarang tak pada tempatnya. Raib, hilang, lenyap, atau segala hal yang mendeskripsikan bentuk ketiadaan dari barang tersebut. Wajah Simon semula datar nyaris tak berekspresi kini berubah panik, dengan garis-garis wajah menegang juga dahi yang mengernyit. Dia berusaha mencari-cari dimana kemungkinan benda itu terjatuh. Dimulai dari ruangan kamar cukup luas ini, tempat mereka bercinta dan melepaskan pakaian, sangat masuk akal jika tanpa sengaja cincin tersebut jatuh lalu menggelinding ke bawah kolong ranjang.

Kolong? Mungkin disitu.

Maka tugas Simon adalah merangkak ke bawah kolong, tangan kanannya menggenggam ponsel, nyala dari cahaya flashlight dapat memberi penerangan dalam kolong yang gelap.

Sayangnya kosong.

Di sana dia tak menemukan apapun selain hanya membuat seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya menjadi kotor karena debu, beberapa bahkan menempel pada kulitnya yang masih lengket. Bekas kegiatan beberapa waktu lalu, pergesekan dua kulit menimbulkan sensasi panas yang memunculkan bulir-bulir keringat, lalu menjadi lengket.

"Uhuk!" Simon keluar dari kolong sambil batuk-batuk. Pencariannya kali ini tak mendapatkan hasil apapun, malahan dia harus cepat-cepat mandi karena badannya jadi kotor. Tapi, dia tak bisa membuang waktu, tak bisa tenang sebelum cincin berwarna hitam dengan tekstur bergelombang itu belum dia temukan.

'Di mana lagi?'

Simon beranjak keluar dari kamar, bertelanjang kaki, menyeberangi lorong tak terlalu panjang sampai ke ruang tamu, ruangan tempat dia mendudukan diri pertama kali di tempat ini. Siapa tahu, tanpa sadar saat sedang mengarsir ruang depan sambil menyentuh beberapa parabotan, cincin itu tergelincir begitu saja. Meski kemungkinannya sangat kecil, karena Simon tahu bahwa cincin tersebut merekat cukup kuat pada ruas jari manisnya, perlu sebuah tarikan bertenaga lumayan agar bisa melepaskan cincin itu.

Atau cairan pelumas.

"Kau sedang mencari apa?"

Suara wanita terdengar dari arah pintu kamar. Aroma lavender bercampur mint menguar dar tubuh Caroll yang tampak basah, terutama pada bagian rambut. Mengeluarkan setengah bagian tubuh di pintu dengan celah terbuka setengah, memandang ke arah si pemuda yang tampak sibuk berjalan menyusuri seluruh bagian ruangan sembari mengangkat beberapa barang. Mengangkat sofa, menyingkirkan keset, membuka sebagian karpet.

"Aku tahu kau sedang kehilangan sesuatu, tapi jangan membuat rumah orang berantakan juga dong~" Caroll berjalan mendekat, merapikan kembali segala hal yang telah diberantakan oleh Simon.

"Bukankah kau tidak mengomel ketika Tunanganmu membuat ruangan ini berantakan juga?"

"Hey, itu lain cerita," Caroll menggeser kembali meja kaca di tengah-tengah karpet, setelah sebelumnya meletakan kembali posisi karpet merah maroon pada posisi semula. Dia kemudian duduk sembari mengeringkan rambut basahnya, membiarkan si pemuda berkulit putih pucat menyisir seluruh ruangan dengan pandangan awas. "Katakan padaku, kau kehilangan apa? Nanti ku ganti saja.." Caroll bukannya terlalu memanjakan Simon meski umur mereka terpaut lumayan jauh, hanya saja dia lebih baik merogoh uang sendiri ketimbang membiarkan ruang tamunya berakhir seperti kapal pecah.

"Itu bukan barang yang bisa diganti," kata Simon memutar badan ke kanan dan kiri guna untuk merenggangkan otot-otot yang tegang sebelum kembali pada kegiatannya.

"Kau membuatku penasaran.."

Simon melirik sekilas dari balik punggung, menatap ke arah si wanita berbalut bathrobe di sofa. "Kau sudah pernah melihat benda itu,"

Caroll mengernyitkan alisnya yang tipis, membuatnya tampak menyatuh. "Cincin hitam itu?"

Simon tak menjawab, tapi kepalanya terlihat mengangguk kecil. Masih berupaya menemukan benda yang dimaksud.

"Astaga~ ku kira kau kehilangan kunci mobil, kalau hanya itu saja aku bisa belikan sebanyak yang kau mau~"

Simon tiba-tiba saja berhenti mencari. Dia menegakkan tubuh lalu berputar menghadap ke arah Caroline.

"Sudah ku bilang, itu tak akan bisa diganti oleh yang lainnya."

"Kenapa? Itu kan hanya sekedar cincin," Caroll kemudian menyadari satu hal lain. "Ah, karena itu hadiah ulangtahun ke tujuh belas dari ku? Wah, sejak kapan kau jadi orang yang mempedulikan hal-hal semacam itu?"

"Kau.. lupa dengan- sudahlah, aku akan mencarinya di tempat lain saja," Simon bergegas keluar dari apartemen ini. Tak mempedulikan suara Caroll di belakang sana yang memanggil-manggil namanya.