webnovel

Utang Arya

Braaakkk!

Arum gemetar melihat pria di depannya menggebrak meja dengan kasar.

"Saya tidak mau tahu ya, Bu. Kalau anak ibu tidak segera membayar bunga pinjamannya, rumah ini kami sita. Kalian keluar dari sini!" teriak pria itu, padahal jarak mereka hanya terpaut satu meter.

"Iya, nanti saya kasih tahu dia," jawab Arum sambil terisak.

Arum sangat ketakutan. Susah payah dia menahan diri untuk tidak pingsan menahan rasa sakit di dadanya.

Empat pria tinggi besar itu kemudian meninggalkan rumah Arya setelah meninggalkan secarik kertas bertuliskan sebuah nomor telepon genggam. Arum memandangi kepergian mereka seraya memegangi dada yang seperti ditusuk paku besar.

"Sudah pergi ya? Bu, minta mas Arga lunasi hutangku ke mereka ya, kalau nggak bunganya aja dulu. Aku coba temui Binar minta bantuan," Arya keluar dari kamar begitu melihat para penagih tak lagi di tempat.

"Arya, kakakmu apa punya uang sebanyak itu? Lagian kamu juga kenapa meminjam sebanyak itu? Kemarin bilang cuma mau pinjam lima puluh juta, kenapa jadi 150 juta?" Arum menunduk sambil terus memegangi dada.

"Nggak cukup kemarin buat buka cafenya. Ibu bayangin aja, beli mesin untuk bikin kopi aja udah 50 juta sendiri, belum sewa, furniture, seragam. Itu aja udah mentok banget," jawab Arya.

"Ya kan sudah ditambah tabungan ibu 38 juta, Ya. Itu sebetulnya simpanan untuk biaya kuliahmu. Sekarang ibumu ini bingung semester depan bayar kuliah pakai apa?" Arum semakin sedih mengingat uang di rekeningnya pun telah ludes.

"Repot amat, nggak usah kuliah. Dari dulu juga sudah bilang kan, Arya nggak mau kuliah. Aku mau jadi pengusaha. Salah siapa maksa kuliah, jadi ribet sendiri kan?" ketus Arya lalu berlalu meninggalkan ibunya menangis.

Seperti biasa, dia pasti menuju kafe Kopipa Alaihom Gambreng yang terletak sekitar empat ratus meter dari rumah, berkumpul dengan teman-temannya sambil bermain billiard.

Arum terus menangis untuk melampiaskan rasa takut, kesal, marah, dan sedih. Hampir sejam kemudian dia mendengar sepeda motor Arga di depan rumah. Segera diusapnya air mata yang masih meleleh di pipi.

"Assalamu 'alaikum," suara Arga terdengar penuh semangat.

"Wa 'alaikum salam," Arum memaksakan diri tersenyum menyambut kedatangan anak sulungnya, yang memiliki pembawaan sangat jauh berbeda dengan sang adik.

"Ibu menangis? Kenapa, ada masalah?" tanya Arga khawatir melihat mata ibunya sembab.

Kemudian Arum menceritakan tentang masalah hutang rentenir yang sedang dihadapi Arya. Arga sangat terkejut mendengar penuturan wanita paruh baya ini. Tanpa sepengetahuan Arga, ibu meminjamkan sertifikat rumah pada adiknya untuk mendapatkan sejumlah dana. Uang tersebut digunakan untuk modal membuka sebuah cafe. Arya berhasil meyakinkan Arum bahwa kali ini usaha yang dibuat pasti akan menghasilkan keuntungan dan secepatnya akan mengembalikan pinjaman.

Dua bulan lalu, melihat semangat menggebu dan rasa iba terhadap anak bungsu ini, akhirnya Arum merelakan sertifikat rumah sebagai jaminan yang katanya untuk teman Arya sendiri, sekedar formalitas saja. Dia tidak menyangka pemuda itu meminjam pada rentenir dan akan seperti ini dampak yang ditimbulkan.

"Aduh, Bu. Bukannya sudah tahu kalau dia selalu gagal membuka usaha? Arya harus bekerja dulu, belajar dari tempat lain baru merintis sendiri. Orang dengan nol kemampuan dan pengalaman mana bisa berhasil," Arga terlihat gusar.

"Maafin ibu. Ibu salah, Ga," Arum kembali mengucurkan air mata.

Tak tega melihat ibunya bersedih, dan tentu saja khawatir pada sertifikat rumah, Arga memutuskan untuk melunasi hutang Arya. Dimintanya nomor telepon si rentenir.

Arum hanya mampu melihat dan mendengar Arga berbicara dengan seseorang di seberang sana. Ia bisa melihat wajah anaknya menegang dan nada suara sedikit emosi.

"Gila, dia hutang 150 juta, bunga 30%, jadi Arga harus bayar 195 juta," katanya frustasi.

Arum tak mampu berkata apapun. Dipandanginya anak lelaki yang menjadi kepala keluarga di usia muda ini.

Maafkan ibu, Nak, katanya dalam hati.

"Arga cuma punya tabungan 22 juta. Besok aku coba minta tolong bos. Semoga beliau mau membantu," kata Arga sambil menuju kamarnya.

Pikirannya sangat penat. Akhir minggu ini, ia harus ke Jakarta menemui Melia. Kenapa masalah seberat ini harus hadir sekarang? Tadi siang dia begitu bahagia akan segera bertemu hani bani switinya di akhir pekan, tapi begitu pulang dia disambut dengan masalah besar.

Sepertinya Arya tak pernah bosan membuat masalah. Sejak SMA dia sudah membuat ibu dan kakaknya kalang kabut. Tidak terhitung sudah berapa tawuran dan perkara dia lakukan. Pemuda itu rupanya seorang aktivis. Ya, aktivis pertengkaran, keributan, dan perkelahian.

Arum seringkali harus menghadap guru tata tertib karena kelakuannya. Dari membolos, merokok di sekolah, minuman keras, dan koleksi pelanggaran lainnya. Hobi ini rupanya tak berhenti, masih saja dilakukan walau ia sudah menjadi seorang mahasiswa.

Arga segera meraih telepon genggamnya, lalu menghubungi adiknya.

I cant stand to fly, I'm not that naive ....

"Ya, Mas, ada apa?" tanya Arya.

"Pulang sekarang! Mas mau bicara," kata Arga.

"Isssshhh, kek presiden aja lo. Gue lagi sibuk," tukas Arya sembari menutup panggilan telepon.

Reseh anak satu ini, rutuk Arga dalam hati. Dengan gemas, dia tekan tombol panggilan ulang.

"Apaan sih! Kagak ada kerjaan lo?" Arya menjawab setengah berteriak.

"Astaga, sibuk apa kamu sampai marah seperti itu. Mas cuma mau bicara soal hutangmu di rentenir. Pulang sekarang!" teriak Arga tak kalah keras.

"Udah bayar aja, kelar masalah. Kalau lo kagak mau bayar, ya udah. Siap-siap aja pergi dari rumah," jawab Arya santai dan kembali menutup panggilan teleponnya, lalu menekan tombol power beberapa saat. Handphonenya dimatikan agar Arga tidak mengganggu lagi.

Sudah dibilang gue sibuk, ngeyel, katanya dalam hati lalu melanjutkan kesibukannya, bermain billiard.

Arga hanya bisa mengelus dada melihat kelakuan adik semata wayang ini. Sabar memang tak ada batasnya. Tapi hati ini punya ambang batas, kuat atau tidak untuk bertahan. Tak ada yang bisa diharapkan lagi. Masalah ini sepenuhnya harus dia yang selesaikan. Mengharapkan Arya turun tangan menyelesaikan kerumitan, ibarat Paimin jadi sales, nggak mungkin keles.

Bagaimana dia mau berubah, sedangkan menyesal dan merasa bersalah saja tidak pernah, apalagi untuk mengatakan maaf.

"Tabunganku 22 juta, setidaknya untuk bayar hutang 20 juta. Dua juta lagi untuk berangkat ke Jakarta dan menemui Melia. Terpaksa kutemui Pak Danang untuk minta tolong. Tapi besok kan Selasa, biasanya beliau Kamis baru ke kantor," Arga berpikir keras mencari solusi membayar rentenir.

Brrrr ... Brrrr ....

Telepon genggamnya bergetar. Dilihatnya ada pesan masuk.

[Ada baiknya kamu lebih mengenal anak saya. Malam ini datanglah ke rumah saya pukul 7, kita makan malam bersama. HARUS!]

Pesan dari Pak Danang.

Sebetulnya Arga sedikit enggan untuk memenuhi undangan tersebut. Tapi di sisi lain, ini kesempatan baginya meminta bantuan. Dengan terpaksa ia menjawab pesan tersebut.

[Baik, Pak.]