webnovel

Setia Menunggu

Arga menandatangani perjanjian itu seraya tersenyum geli. Ada-ada saja ulah Mikha ini. Urusan hati tak bisa dibatasi hanya karena torehan tinta semacam ini. Tetap saja akan ada resiko yang tersakiti nanti. Ya, meski Arga juga berharap kalau tidak ada yang tersakiti dalam kesepakatan mereka ini. Apa pun yang terjadi nanti, dia berharap kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Nah, sekarang giliran kamu." Arga mengulurkan kembali binder milik Mikha itu kepada sang empunya.

Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu akhirnya juga selesai menandatangani perjanjian. Dia tersenyum puas, lalu memandang lekat ke arah Arga yang duduk tepat di hadapannya.

"Ini memang bukan sebuah jaminan, tapi setidaknya kita ada upaya untuk meraih apa yang tertulis dalam perjanjian ini. Selain itu, anggap saja kalau ini adalah bukti keseriusan kita dalam niatan untuk membangun hubungan yang lebih dari sekadar sahabat ke depannya," kata Mikha dengan wajah semringah.

Bagaimanapun, dia telah berhasil melangkah satu tahap lebih maju dibandingkan sebelumnya untuk bisa mendapatkan Arga. Sampai di tahap ini saja, dia sudah merasa bahagia sebenarnya. Ya, meski dia sadar kalau perjalanan mereka masih teramat jauh. Dia punya dua tugas besar yang harus dijalankan. Pertama, dia harus bisa membuat Arga melupakan cinta pertamanya, Melia. Dan yang kedua, dia masih harus membuat Arga jatuh cinta kepadanya.

Sama-sama berat. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja. Masih ada cukup waktu. Setidaknya, sampai mereka lulus kuliah nanti. Selama itu, Mikha bertekad untuk berjuang semaksimal mungkin demi menuntaskan dua tugas besar yang kini telah menjadi prioritasnya.

Gadis manis dengan satu lesung pipi di sebelah kiri itu kemudian memotret perjanjian mereka. Mikha lantas mengirimkan foto itu kepada Arga.

"Perjanjian yang asli, aku simpan, ya? Kamu, fotonya aja." Mikha terkekeh setelah mengucapkan kalimat itu.

Kalaupun nantinya mereka ternyata tidak berjodoh dan harus mengakhiri kesepakatan, setidaknya dia bisa menyimpan perjanjian itu sebagai kenangan bahwa dirinya pernah sedekat itu dengan Arga. Gadis itu benar-benar well prepare. Dia sudah memikirkan berbagai kemungkinan, hingga jauh ke depan.

"Beres. Kamu simpan saja nggak apa-apa." Arga menjawab sambil tersenyum.

"Kamu kenapa senyum-senyum, sih?" tanya pemuda itu melihat Mikha yang tak berhenti tersenyum sejak tadi.

"Kamu ini. Ya aku bahagia lah, Ga. Akhirnya, aku bisa sedekat ini sama kamu." Gadis itu tertawa kecil.

"Tapi, kita kan tidak jadian, Cha." Arga mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati. Dia takut kalau apa yang dia ucapkan itu akan melukai hati Mikha.

"Iya, aku tahu. Tapi, gini aja aku sudah seneng, kok. Memangnya ... kamu enggak bahagia ya, Ga?" Mikha malah balik bertanya.

"Hmmm, bagaimana ya. Bahagia, sih," jawab Arga yang terlihat sedikit ragu.

"Idih, kok pakai kata 'sih'? Itu berarti, kamu nggak ikhlas bahagianya, Ga," keluh Mikha yang kini mengerucutkan bibirnya.

"Bukan begitu, Cha. Aku bahagia, kok. Bagaimanapun, kamu itu kan memang gadis yang paling dekat sama aku. Kamu itu ... sahabat yang paling bisa mengerti aku. Aku merasa nyaman ketika berbincang dan menghabiskan waktu sama kamu. Ya, setidaknya, itu bisa jadi modal utama kalau suatu saat nanti kita memang berjodoh dan kemudian menikah.

Meski aku belum tahu, apakah aku bisa mencintai kamu atau tidak, tapi setidaknya aku merasa nyaman kalau harus menjalani hidup ini berdua sama kamu nantinya. Second plan, tapi ya .... Plan utama tetap berusaha untuk menjadi pria yang sukses dan mapan, lalu menemui Melia," tegas Arga.

"Iya, iya. Nggak usah diulang-ulang juga kali. Aku sudah paham kok, Ga. Nggak apa-apa. Walaupun cuman jadi perempuan cadangan, aku juga nggak keberatan, kok. Minimal, aku bisa memiliki kamu sampai hari wisuda nanti. Aku akan memanfaatkan waktuku dengan baik.

Kalaupun memang pada akhirnya kita berdua ini tidak berjodoh, setidaknya aku sudah melewati hari-hari yang indah bersama kamu selama kuliah, Ga." Mikha mulai berani berterus terang. Ucapannya sudah tidak malu atau ragu-ragu.

"Kenapa kita dari tadi bicaranya, kalau, nanti, setidaknya, minimal." Arga tertawa.

Dia merasa terharu mendengar penuturan dari Mikha tadi. Gadis itu demikian tulus mencintai dirinya. Dia memang layak untuk dijadikan wanita di posisi kedua setelah Melia. Dalam hati, Arga berjanji kalau dia pasti akan kembali kepada Mikha kalau ternyata nanti Melia tetap menolak cintanya. Itu pun kalau Mikha memang masih single. Kalau dia telah menemukan tambatan hati, jelas Arga juga tidak akan mengganggu. Dia tidak seegois itu, apalagi pada sahabat terbaiknya sendiri.

"Iya, ya. Kenapa kita jadi berandai-andai. Mestinya ... kita, terutama aku, harus optimis, dong. Optimis kalau kita akan jadi suami istri nantinya," kata Mikha yang sengaja menggoda Arga.

"Tuh, kan. Nantinya lagi." Arga tertawa terbahak-bahak.

"Mmmh, Ga. Kamu nggak nyesel kan jadian sama aku hari ini?" tanya gadis itu hati-hati.

"Tidak, dong. Untuk gadis sebaik dan secantik kamu, bukankah itu sebuah anugerah bagiku? Jadi, kenapa harus menyesal?" Arga meminum teh leci hangat di hadapannya.

Hanya ada satu hal yang tetap mengganjal di dalam benak pemuda tersebut. Dia takut kalau Mikha akan terluka nantinya. Tidak ada seorang pun manusia yang bisa tahu tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Perjanjian ini hanyalah sebuah perjanjian. Perjanjian ini tidak bisa mengatur hatinya maupun hati Mikha untuk tidak terluka. Mana mungkin, deretan huruf dan tanda baca bisa mencegah hati untuk tidak terluka.

Ah, tapi ... semoga saja memang terjadi seperti apa yang Mikha tuliskan di perjanjian itu bahwa tidak boleh ada yang terluka nantinya, apa pun keputusan yang akan kami ambil. Anggap saja, perjanjian ini adalah doa serta harapan kami untuk masa depan, ucap Arga di dalam hatinya.

Hari demi hari berlalu. Selama kuliah, mereka berdua menjalani HTS sesuai perjanjian. Selama masa itu pula, hubungan keduanya bertambah dekat. Namun, Arga tetap membatasi untuk tidak sampai mengenal keluarga Mikha dan dia pun tidak mau mengenalkan Mikha kepada keluarganya. Arga tidak mau kalau harapan itu sampai tumbuh di hati orang tua dan saudara-saudara mereka, sementara mereka berdua saja masih belum jelas akan membangun hubungan seperti apa di masa depan.

Arga hanya berusaha untuk mencegah agar tidak banyak orang yang akan terluka jika ternyata dia dan Mikha memang tidak berjodoh untuk bisa jadi lebih dari sekadar sahabat. Karena itulah, sebaiknya hubungan mereka saat ini hanya melibatkan dua hati saja, yakni hatinya dan hati Mikha.

Mikha juga bisa memaklumi alasan Arga itu. Dia tetap sabar dan dengan setia menunggu sampai pemuda itu bisa melupakan Melia dan beralih jatuh hati kepada dirinya. Jatuh cinta itu memang penuh dengan ujian.