webnovel

One and Only

"Ngapain senyum-senyum, Mas?" tanya Binar dengan nada lembut.

"Eh, iya. Maaf," jawab Arga canggung.

"Ada apa ya, Mbak?" lanjutnya.

"Mmmhh, gini Mas. Bisa nggak kalau kita atur ketemuan di luar, aku ijin ayah pergi sama Mas Arga, tapi sebetulnya aku sama Arya. Please, aku udah lama nggak ketemu Arya," pinta gadis itu.

Sikap Binar sangat jauh berbeda dengan tadi di ruang makan.

"Pak Danang pasti tahu, Mbak. Saya tidak bisa mengambil resiko itu. Ayah Mbak Binar sudah sangat membantu saya. Maaf, saya tidak berani melanggar kepercayaan beliau," Arga mencoba menolak permintaan Binar dengan halus.

"Mas saya bayar untuk itu, jangan kuatir," Binar masih mencoba bersabar menghadapi sikap lelaki di hadapannya. Bagaimanapun ia butuh bantuan Arga untuk bisa tetap bertemu kekasihnya.

"Bukan soal uang, Mbak Binar. Saya benar-benar tidak ingin membohongi siapapun, apalagi orang yang sangat saya hormati seperti beliau. Bersabar dulu, Mbak. Tunggu Arya berhasil jadi pengusaha. Nanti saya bantu membujuk Pak Danang untuk merestui hubungan kalian," Arga meyakinkan Binar sambil tersenyum.

"Janji?" tanya gadis itu.

"Iya, janji. Tapi berhasil tidaknya membujuk beliau, saya tidak berani berjanji ya. Hanya bisa menjanjikan membantu membujuk. Keputusan tetap di tangan ayahnya Mbak Binar," tegas Arga.

"Oke, fine. Maaf ya kalau tadi saya kasar sama Mas Arga. Boleh tahu, rencana usaha Arya apa sekarang?" Binar ingin tahu. Sudah lama tidak berkomunikasi dengan Arya, karena ia tidak ingin lelaki itu mendapat masalah dari ayahnya.

"Sementara belum ada, Mbak. Saya mau ikutkan dia di beberapa pelatihan wirausaha dulu. Dengan demikian, Arya bisa memiliki kemampuan enterpreneurship yang lebih baik. Semoga dengan itu bisa lebih mudah baginya sukses sebagai seorang pengusaha. Menjadi pengusaha kan tidak mudah. Perlu mempelajari banyak hal," Arga memberikan penjelasan dengan cukup gamblang.

"Iya, sih. Apa yang Mas Arga katakan memang benar. Selama ini Arya hanya menuruti nafsunya saja tanpa membekali diri dengan baik. Saya akan coba selipkan uang sedikit demi sedikit uang. Nanti bisa dipakai tambahan modal. Ayah sangat mengawasi keuanganku sekarang," sikap gadis ini sudah sangat melunak.

Arga kagum pada Binar yang terlihat sangat mencintai Arya. Semoga saja adiknya bisa berubah lebih baik dengan gadis ini di sampingnya.

"Terima kasih, Mbak Binar sangat menyayangi adik saya. Arya beruntung," kata Arga lega.

"Hehe, iya, saya memang sangat sayang sama dia, Mas. Arya juga beruntung punya kakak yang baik dan perhatian," balas Binar dengan tersenyum. Senyuman tulus yang akhirnya muncul dengan sendirinya.

"Sudah malam, Mbak. Saya pamit pulang dulu ya," Arga bangkit dari duduknya.

"Sebentar, Mas. Minta nomor HP. Biar kita mudah komunikasi," tahan Binar.

"Wah tapi lupa, HP saya di kamar. Mas aja simpan nomor saya," lanjutnya.

Arga mengambil telepon genggam dari saku celananya.

"Berapa, Mbak?" tanya Arga.

"Nol ganol ganol, ganol ganol, ganol ganol," Binar menyebutkan serentetan angka dan disimak dengan serius oleh Arga.

"Sudah saya miskol, Mbak. Saya pamit dulu ya," kata Arga sembari mengangguk.

"Hati-hati di jalan, Mas. Makasih banyak ya," balas Binar sembari melambaikan tangan.

Mereka pun berpisah. Arga melaju bersama motornya dan Binar kembali ke kamarnya.

Ternyata pria itu tidak seburuk yang dipikirkan Binar. Ayahnya begitu membenci Arya karena tidak mengenal dekat. Sama seperti dirinya, yang dulu begitu membenci Arga, karena tidak mengenalnya. Ia sedikit lega, setidaknya Arga bisa membantu memberikan masukan pada ayahnya tentang Arya.

Segera diambilnya telepon genggam miliknya, dan menyimpan nomor Arga.

Sementara Arga, sepanjang perjalanan masih heran dengan cara alam ini bekerja. Sungguh tidak disangka, selama ini Binar adalah pacar adiknya.

Ah, sudahlah. Sekarang yang terpenting adalah selesaikan masalah dengan renternir, pikir Arga.

Sesampainya di rumah, semua lampu sudah dimatikan kecuali yang ada di luar.

Ibu pasti sudah tidur, kata Arga di dalam hati.

Perlahan dia masukkan motor agar ibunya tidak terbangun. Sebelum ke kamar, ia menyempatkan melihat ibunya. Dibukanya pintu kamar Arum pelan-pelan, dan melongokkan kepalanya ke dalam.

"Baru pulang, Ga?" ternyata, Arum belum tidur.

"Iya, Bu. Ibu kok belum tidur, tumben," jawab Arga sambil duduk mendekati ibunya.

"Nggak bisa tidur, Nak. Kepikiran masalah adikmu, lebih tepatnya masalah kita sekarang," Arum menggenggam tangan Arga.

"Besok Arga selesaikan masalah rentenir, Bu. Jangan khawatir. Bos sudah membantu dengan meminjamkan uang untuk kita," Arga menenangkan ibunya.

"Alhamdulillah, kamu nggak bohong kan, Ga?" kata Arum semringah sembari duduk.

"Mana pernah Arga bohong sama Ibu sih," senyum Arga mengembang. "Sudah, sekarang Ibu istirahat, besok biar Arga yang selesaikan semuanya," lanjutnya.

"Terima kasih ya, Ga. Ibu banyak membebanimu," Arum memeluk anak kesayangannya ini.

"Semua itu tidak bisa membalas semua kebaikan Ibu dan Ayah, dan rasa syukur Arga menjadi anak kalian," Arga membalas pelukan erat ibunya. Ia sangat menyayangi wanita ini, sekaligus mengagumi kegigihan dan kesabarannya menghadapi situasi apapun.

"Arga ke kamar mandi dulu, lanjut tidur ya, Bu," pamitnya.

Arum hanya membalas dengan tersenyum dan sedikit anggukan, sembari sekilas mengusap rambut anaknya ini.

Arga bergegas mengganti pakaiannya dengan kaos santai dan celana pendek. Lalu menuju kamar mandi untuk cuci muka dan menggosok gigi.

Tadinya ia berniat untuk langsung tidur. Tapi entah kenapa hatinya ingin sekali mengirim pesan pada Melia. Diambilnya telepon genggamnya, lalu membuka aplikasi media sosial cuiter.

[Mel, can't wait to see u. Btw, boleh minta nomor teleponmu?]

Arga baru ingat, kalau dia belum meminta nomor telepon Melia.

Brrrr... Brrrr...

Tak disangka pesan itu langsung dibalas oleh Melia.

[08123456789. Can't wait too. See u soon, Ga.]

Aw... Arga meremas rambut sendiri saking girangnya. Sepertinya malam ini ia akan susah tidur. Melia menunggu dia datang? Arga melompat-lompat di atas kasur seperti anak kecil.

Sementara itu di seberang sana, Melia tersenyum membalas pesan Arga.

Yeah, I can't wait to see u too, Ga. Skripsi gue kudu cepet kelar, ucapnya dalam hati.

Arga tidak mau terlarut dalam kebahagiaan sementara ada masalah penting yang harus diselesaikan. Ia segera mengirim pesan singkat pada rentenir tadi siang.

[Besok pagi bisa datang jam 8 ke rumah? Saya lunasi sekaligus bunganya, bawa sekalian sertifikat rumah dan perjanjiannya.]

Tak selang berapa lama, ada jawaban masuk.

[Siap, Bos. Kalau kayak gitu kan enak. Jam delapan, ya!]

Besok semua masalah ingin diselesaikan Arga, sehingga kepergiannya ke Jakarta tidak akan terganggu. Ia bisa pergi dengan tenang. Ups, kok jadi seperti orang meninggal? Dia ingin fokus pada masa depannya ketika tiba di Jakarta. Ya, tentu saja, Melia.