10 Kehadiran Binar

*

Hadirmu adalah sebuah kenyataan

Mengenalmu mungkin ketidaksengajaan

Mencintaimu bukanlah keharusan

Memilikimu hanya sebatas angan

Bukan salah Tuhan menciptamu

Salah diriku memujamu

Mata harusnya tertutup

Seperti hati layak terkunci

*

Arga tersenyum kecut setelah menulis dua bait puisi di buku agendanya. Untuk Melia, gadis pujaan sedari SMA. Entah kenapa, pagi ini ia teringat kembali pada gadis tersebut. Ada kerinduan menyeruak tanpa dapat dikendalikan. Walau beberapa kali ditolak dengan kalimat pedas dan menghunjam, tetap saja ia tak bisa melupa. Cinta pertama, bahkan mungkin selamanya.

'Ngaca, nggak nyadar, lo siapa, tidak pantas, mustahil.' Banyak sekali sumpah serapah diucap oleh bibir tipis, manis, berwarna merah alami, menggiurkan. Sakit hati? Tidak bagi seorang Arga Eka Putra.

Saat itu, Arga sadar bahwa ia hanyalah seorang pemuda yatim, dari kalangan biasa, penampilan standar saja, dan memiliki kehidupan teramat sederhana. Berbeda jauh dengan Melia, gadis kalangan menengah ke atas, cantik, gaul, populer. Hanya satu hal Arga menang darinya, kecerdasan.

Menjadi juara umum sejak awal hingga lulus sekolah, satu-satunya kebanggaan bagi seorang pemuda seperti Arga. Di saat kebanyakan teman bersaing rupa, harta, juga popularitas, ia justru berjibaku dengan tumpukan buku.

Bukan tak ada gadis yang melirik, tapi Arga hanya cinta pada satu hati saja. Melia. Pengendara kendaraan roda empat, berbanding terbalik dengan dirinya, penunggang kuda besi berwarna merah. Sebuah motor kedaluwarsa yang berusia lebih tua darinya.

Pun demikian ketika ia menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Status jomlo abadi, masih tetap Arga pertahankan. Penolakan Melia menjadi pemacu semangatnya untuk sukses.

"Kalo lo dah sukses, punya rumah mewah, mobil bagus, baru lo layak di samping gue!"

Masih terngiang penolakan terakhir Melia saat itu. Tentu saja, setelah berkali-kali Arga menyatakan cinta dan selalu berakhir dengan jawaban sama. Tidak.

Kini, Arga telah mulai meniti karir di sebuah perusahaan besar. Baru satu tahun, tetapi ia memiliki harapan tinggi untuk bisa berhasil di tempat ini.

Bisikan Novi, rekan seruangan Arga, membuyarkan lamunan. Pemilik perusahaan memanggilnya ke ruangan.

Ia bergegas menuju ruangan komisaris. Sudah setahun bekerja sebagai staff finance di kantor ini, belum pernah Arga berbicara langsung dengan pemilik perusahaan, apalagi sampai dipanggil ke ruangannya.

Arga mengetuk pintu tiga kali.

"Masuk!" Suara lantang terdengar dari dalam ruangan.

Dibukanya pintu perlahan. Seorang pria tampan paruh baya tersenyum, mempersilakannya duduk.

Arga duduk, sekilas memandang sekeliling. Ruangan tidak terlalu besar, tapi ditata dengan sangat apik dan mirip kafe bergaya Amerika. Sebuah lukisan Marilyn Monroe beraliran pop art tampak menyolok di dinding belakang kursi Pak Danang. Sangat nyentrik, seperti kepribadian beliau.

Pak Danang jarang ke kantor. Biasanya hanya di hari Kamis untuk menghadiri rapat mingguan manajemen. Itu pun jarang memakai pakaian resmi. Ia lebih sering mengenakan kaos polos, celana jeans, dipadu dengan jaket beraneka gaya. Gaya unik untuk seorang pemilik perusahaan besar.

"Saya banyak mendengar laporan tentangmu. Positif, kok," kata Pak Danang.

Hufffttt, untunglah. Arga bernapas lega.

"Temuanmu di internal audit sangat bermanfaat untuk perusahaan. Karena itu, saya secara pribadi ingin mengucapkan terima kasih, sekaligus menawarkan posisi asisten manager finance untuk Mas Arga. Pak David saya pindah tugaskan ke Jakarta. Apa kamu berkenan?"

Arga terkejut mendengar promosinya. Ia baru bekerja satu tahun, tiba-tiba sekarang ....

"Mas? Berkenan atau tidak?" Pertanyaan pria bertubuh tinggi besar itu menyadarkan Arga yang masih bengong.

"Eh, iya, Pak. Jika memang saya dipercaya untuk itu, insya Allah saya bersedia," jawabnya penuh semangat.

"Baguslah. Oh ya, sudah punya pacar, Mas?" tanya Pak Danang.

"Panggil Arga saja, Pak. Alhamdulillah masih jomlo. Ingin membahagiakan ibu dulu, jadi belum terpikir untuk mencari pacar."

"Wah, bagus, dong. Ibumu pasti bangga. Orang tuamu aktivitasnya apa?" tanya Pak Danang lagi.

Jadi berasa diinterogasi calon mertua ini, kata Arga dalam hati.

"Ayah sudah meninggal sewaktu Arga kelas satu SMA, Pak. Ibu membuat kue di rumah, lalu dititipkan di beberapa sekolah dan warung. Setiap pagi saya bantu mengirimkan kue-kue itu sembari berangkat kerja." Arga memberikan penjelasan.

"Kamu nggak malu, nganterin kue-kue gitu?" Pak Danang menatap heran.

"Kenapa harus malu, Pak. Usaha itu sudah membantu hidup kami sejak lama. Kami berhutang budi pada orang yang sudah menemukan resep brownies. Kalau saja kenal, pasti saya sudah kirim beberapa kotak kue brownies buatan ibu untuk dia, Pak," jawab Arga dengan ceria.

Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang gadis cantik masuk tanpa permisi, langsung marah-marah.

"Ayah, kenapa kartu kredit Binar diblokir?" Gadis itu setengah berteriak, tidak peduli bahwa di ruangan itu ada orang lain selain ayahnya.

Pak Danang menatap sebentar ke arah Binar, lalu beralih ke Arga dan memintanya kembali bekerja. Arga memahami situasi yang terjadi, segera bangkit dari kursi.

"Permisi, Mbak." Arga menyempatkan menyapa Binar sambil menganggukkan kepala.

Gadis itu hanya diam, kemudian menghempaskan tubuh di kursi tempat Arga tadi duduk.

"Yes!!!" ucap Arga lirih begitu keluar ruangan. Dia sudah tak sabar ingin segera pulang, memberitahu sang ibu tentang kenaikan jabatannya.

Anak Pak Danang ... cantik, tapi manja dan nggak sopan, batin Arga. Selama ini, ia hanya melihat Binar secara sekilas. Belum pernah sedekat ini.

Di dalam ruangan, Binar masih bersitegang dengan ayahnya.

"Yah, kenapa diblokir sih kartu kredit Binar?" katanya sambil sedikit melotot.

"Ayah lihat kamu tiap hari belanja nggak terkontrol. Banyak barang-barang cowok yang kamu beli. Sampai kapan kamu mau diporotin terus sama cowok brengsekmu itu? Masih kurang, beberapa tahun ini Ayah diam?" Ayahnya melotot lebih lebar lagi.

"Siapa yang morotin, sih. Binar cuma kadang aja beliin dia barang. Ayah jangan nuduh sembarangan gitu, dong. Ayah kan nggak kenal siapa Arya!" Binar mendengkus kesal.

"Oh, ok. Kalau gitu, nanti malam bawa cowok brengsekmu itu ke rumah. Ayah mau kenal. Tiga tahun kamu pacaran, tapi nggak pernah ayah ketemu sama dia. Kamu cari cowok mestinya seperti Arga tadi. Muda, kompeten, rapi, ganteng, smart, PUNYA PROFESI! Nggak seperti cowokmu, pasti pengangguran," ucap Pak Danang sinis.

Binar terdiam. Memang benar. Sudah hampir tiga tahun dia menjalin hubungan dengan Arya, belum pernah sama sekali mengenalkan pada ayahnya. Binar tahu, pasti akan ada pertanyaan kerja di mana, usaha apa, orang tuamu siapa, dan hal-hal menelisik lainnya.

Kekasihnya bukan siapa-siapa. Kuliah berantakan, orang tua biasa saja, usaha juga tak ada. Namun, Binar mencintai laki-laki itu. Hanya Arya yang mampu membuat hatinya berbunga-bunga dalam setiap kata juga sikap memanjakan. Pemuda gagah, tampan, dan tentu saja, bertato. Sebagian orang menganggap Arya pemuda ugal-ugalan karena sikapnya yang cuek, bad boy. Namun bagi Binar, justru di situ daya tarik seorang Arya di matanya.

avataravatar
Next chapter