9 Doa Terbaik

Arga menjemput Mikha di tempat kos, lantas mengajak makan malam di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Kafe bernuansa putih dengan hiasan banyak pipa menjulur dicat berbagai warna itu memberi kesan apik. Nuansa industrial, kekinian, tidak membosankan.

"Di sini, menu pancake-nya yang handal, Cha. Aku mau cobain itu aja. Kamu mau pesan apa?"

"Toast bread aja, deh. Nanti bisa nyobain pancake kamu juga. Biar beda."

"Minum?"

"Terserah, deh, yang penting dingin. Lagi nggak kepikiran mau pesen apa."

"Oke. Aku pesan dulu, ya. Kamu tunggu di sini aja." Arga melangkah menuju kasir, memesan makanan mereka, membayar, lalu segera menyusul Mikha.

Mikha sudah merasa bahwa pasti ada hal penting yang ingin disampaikan Arga. Tidak biasanya Arga mengajak bertemu lebih dahulu. Selama ini, Mikha lebih aktif mengajak ketemu atau sekadar pergi makan juga jalan-jalan.

"Aku nggak bakal nanya ada apa karena sudah tahu jawabanmu. Nanti, tunggu makanan dateng, baru kita ngobrol," ucap Mikha menirukan gaya bicara Arga.

"Nah, itu tahu." Arga tertawa.

Mereka berbincang santai tentang persiapan wisuda nanti sembari menunggu pesanan datang. Tak berapa lama, makanan dan minuman sudah siap di hadapan mereka untuk dinikmati.

"Mmhh, beneran. Ini pancake oke banget. Cobain, Cha."

Mikha mengulurkan tangan kanan dengan garpu diapit di antara telunjuk dan ibu jari. Dia potong secuil pancake di piring Arga lalu menusuknya.

"Wah, memang enak banget, Ga. Pas. Nggak terlalu manis, terus madunya itu yang bikin oke." Mikha memuji rasa cake itu.

Arga mengangguk dan meneruskan menikmati pancake itu. Dia terlihat mulai mengambil ancang-ancang untuk berdiskusi. Terlihat dari cara dia mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak lalu berdeham.

"Cha, gini ... sepertinya aku tetap nggak bisa lupa dari Melia. Kita sudah mencoba sekian lama, tapi memang tidak berhasil. Bukan soal kamu, masalahnya memang di aku. Bisa dibilang, kamu nggak ada cacat atau kurang sama sekali sebagai seorang cewek. Cantik, baik, juga perhatian."

"Tapi kamu tetap nggak bisa cinta sama aku. Gitu, kan?" tukas Mikha.

"Maafin aku, Cha."

Walau sudah menandatangani perjanjian, tetap saja Arga merasa tidak enak. Dia tahu, gadis di hadapannya ini terluka. Mungkin tidak parah, tapi tetap saja itu luka. Pasti perih.

"Nggak papa, Ga. Kita kan udah sepakat bahwa ini memang mencoba. Masa percobaan. Kalau nggak berhasil, ya kita tetap jadi teman, kan?" Mikha berusaha keras menahan embun panas untuk tidak mengalir dari kelopak mata. Tangannya terlihat sedikit gemetar menahan kesedihan membuncah di dada.

Ah, ternyata sangat menyakitkan. Andai aku tahu bahwa akan sesakit ini, mungkin lebih baik dari awal membunuh rasa, batin Mikha.

"Kamu serius nggak papa, Cha? Aku minta maaf, ya." Melihat ekspresi mendung di wajah Mikha, Arga merasa tidak tega.

"Nggak papa, kok." Mikha tersenyum. Senyum yang sangat dipaksakan. "Aku ke toilet sebentar, ya."

Mikha beranjak menuju kamar kecil di sudut ruangan. Dia ingin sejenak melepaskan gundah sendirian. Gadis berhidung mancung dengan wajah kearab-araban itu melepaskan air mata yang sedari tadi dia tahan sambil berdiri di depan wastafel.

Kemungkinan terjadi seperti ini sudah dia pikirkan dari dulu. Namun, tetap saja rasanya sakit walau sudah dia persiapkan. Hati tidak bisa dibohongi. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita harapkan kehadirannya, memang selalu sakit. Siap atau tidak siap.

Hampir lima menit di dalam toilet, Mikha kembali menemui Arga setelah hati sedikit lebih tenang. Tidak banyak, hanya sedikit. Dia mencoba bersikap biasa agar Arga tidak curiga.

"Ga, apa rencanamu setelah wisuda?" Mikha mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan. Minggu depan mulai masuk. Kamu sendiri, gimana?" Arga balik bertanya. Dia sedikit curiga melihat mata Mikha memerah. Arga yakin, gadis berkulit putih mulus ini habis menangis. Dia tidak akan bertanya. Lebih baik pura-pura tidak tahu agar Mikha segera lupa pada kesedihan.

"Aku belum tahu. Mungkin balik ke Semarang dulu. Nanti berunding lagi sama orang tua. Kalau nggak lanjut S2 ya mungkin cari kerja dulu. Masih bingung, sih."

"Kalau memang ada biaya, lebih baik lanjut kuliah aja, Cha. Sekalian cari-cari kerja sampingan. Situasimu berbeda dengan aku. Aku harus kerja dulu sambil nabung. Kalau sudah cukup, baru lanjut S2. Rencanaku gitu."

Arga juga masih harus memikirkan biaya kuliah adiknya. Memang sang ibu sudah mulai menabung dari jauh hari. Arum menyisihkan sebagian uang pensiun untuk tabungan pendidikan selain membayar tagihan rutin seperti listrik, air, juga biaya sekolah serta uang saku kedua buah hati. Untuk kebutuhan sehari-hari, dia masih bisa mengandalkan dari jualan kue yang sudah ditekuni lebih dari sepuluh tahun.

"Semangat, Ga. Aku yakin, kamu pasti berhasil. 99,99 persen, kamu pasti sukses jadi pria mapan, seperti yang diinginkan Melia." Mikha tersenyum, menutupi rasa sakit dan nyeri yang tiba-tiba menelisik masuk ke dalam hati. Cemburu? Pasti.

"Makasih, Cha. Selama ini, kamu selalu mendukung dan menyemangati aku. Aku juga yakin, kamu akan jadi orang sukses. Setidaknya, bisa jadi istri dan ibu yang baik kelak. Aku doakan yang terbaik untuk kamu."

Kalimat Arga sebenarnya indah. Namun entah kenapa, itu terdengar seperti nada perpisahan. Ah, ini seperti lagu kematian. Terdengar indah, kalimat bersajak dan memiliki rima, tetapi meninggalkan sejuta pedih serta luka.

Mikha menghela napas panjang. Dia tahu, ini adalah akhir dari segalanya. Mimpi dia untuk bisa menjalani hidup bersama Arga, sudah musnah. Semua harapan sudah terlerai. Tak ada lagi cahaya pengharapan walau hanya setitik saja.

Semoga kamu selalu bahagia, juga berhasil mendapatkan Melia.

Mikha mengucap doa tulus. Bagaimanapun, dia mencintai Arga dan berharap hal baik untuk pemuda itu. Dia yakin, doa baik akan berbalik pada sang pendoa.

"Sama-sama, Ga. Doa terbaikku juga untuk kamu selalu. Semoga berhasil dengan semua yang kamu harapkan, termasuk Melia."

"Amin amin amin," jawab Arga dengan perasaan lega karena masalah mereka berdua kini telah terselesaikan.

"Ga, apa kita masih bisa ketemu, ya." Mikha memandang sedih ke arah Arga.

Mikha harus kembali ke kotanya, sementara Arga juga akan terikat dengan pekerjaan dia sendiri di Yogyakarta. Pasti akan sangat sulit bagi mereka berdua untuk bisa bertemu lagi.

"Insya Allah. Kan, kita sudah sepakat untuk jadi sahabat selamanya. Nanti kita pasti bisa saling berkunjung kok, Cha. Yogya Semarang itu kan nggak jauh juga. Kamu kayak mau pindah ke luar angkasa aja, sih." Arga tertawa kecil melihat kekhawatiran sahabatnya itu.

Aku pasti akan kunjungi kamu, Cha. Aku hanya memberimu ruang untuk sesaat agar bisa melupakan aku, ucap Arga di dalam hati.

avataravatar
Next chapter