12 Camer Arya

Braaaak....

Binar meninggalkan kantor ayahnya dengan penuh rasa marah.

"Kita pulang!" kata Binar ketus pada sopirnya.

Sepanjang perjalanan Binar merasa tidak tenang. Ia tidak tahu, apakah malam ini adalah saat yang tepat untuk mengenalkan kekasihnya pada ayahnya. Sudah beberapa kali Binar membantu Arya dengan memberikan modal untuk usaha. Dari membuka bengkel motor yang hanya bertahan 3 bulan, toko onderdil yang malah hanya berusia satu setengah bulan, dan entah usaha apa lagi sampai Binar tak mampu mengingatnya. Semuanya GATOT, alias gagal total. Pria itu tak mampu mengelola satupun.

I can't stand to fly, I'm not that naive...

Telepon genggam Arya berbunyi, dan muncul sebuah nama di layarnya, Bintang. Ia segera menjawabnya.

"Sore, Bintang. Ada apa? Sudah kangen ya?" goda Arya. Dia memang terbiasa memanggil Binar dengan sebutan Bintang. Karena menurutnya, Binar adalah satu-satunya bintang di hatinya.

"Bee, nanti malam dandan yang keren, terus ke rumahku ya. Ayah pengen kenalan," kata Binar.

"Yang bener, Bin. Kamu bilang ayahmu pasti tidak suka denganku. Gimana dong?" Arya cemas.

"Ya gimana, kalau nggak sekarang kapan lagi, Bee. Kamu serius nggak sih sama aku?" tanya Binar balik.

"Seriuslah, Bintang sayang. Ya sudah, nanti bagaimanapun caranya kita harus bisa dapat restu dari ayahmu. Ok?" Arya menutup panggilan telepon lalu melompat dari tempat tidur dan mulai memilih baju untuk dikenakan nanti malam.

Akhirnya pilihan jatuh pada kaos putih dengan tulisan Tokyo di bagian dada, kemeja lengan panjang dengan motif kotak-kotak hitam merah untuk bagian luar, dan celana jeans hitam. Cukup rapi, dan tetap trendy. Tentu saja, lengan baju akan dilipat sedikit untuk menunjukkan tato di kedua lengannya. Arya tersenyum puas.

"Calon mertuaku tersayang, I'm coming ...."

Arya segera memesan taksi online. Gengsi untuk menggunakan motor ke rumah camer kaya raya. Di tengah perjalanan, telepon genggam Arya berbunyi.

I Can't stand to fly... I'm not that naive...

"Ya, Bin. Ada apa? Ini sudah on the way, sebentar lagi sampai." Arya menjawab dengan tenang.

"Oh, ya sudah. Ayah nungguin soalnya. Telepon aku kalau sudah di depan rumah, ya," pesan Binar.

"Siap, Bintang." Arya memang terbiasa memanggil Binar dengan sebutan Bintang. Hanya Binar satu-satunya bintang di hatinya, kata Arya.

Arya sangat gugup dengan pertemuan ini. Ia tahu, cepat atau lambat pasti akan terjadi. Sudah hampir tiga tahun mereka bersama dan selama ini selalu menghindar untuk bertemu dengan ayah Binar.

Bukan tanpa alasan untuk tidak bertemu. Arya ingin berhasil dulu sebagai seorang pengusaha, baru mau berkenalan. Namun, sampai tiga tahun perjalanan cinta mereka, Arya selalu gagal mewujudkan impian.

Apakah ia sangat mencintai Binar? Tidak juga. Biasa saja. Arya butuh pemodal untuk mendirikan usaha, juga membiayai gaya hidup selama merintis sampai bisa berhasil dan mandiri. Hingga saat ini, Binar adalah kandidat terkuat dan terhebat yang dimilikinya.

Sampai di depan rumah Binar, Arya tak perlu menelepon karena kekasihnya itu sudah menunggu di teras dengan cemas.

"Ayo, buruan. Ayah sudah nunggu dari tadi." Binar menarik tangan Arya begitu pintu taksi dibuka.

"Sabar, Bin," jawab Arya sembari menutup pintu mobil.

Binar membawa Arya ke ruang tengah. Tampak di sana, Pak danang sedang sibuk dengan telepon genggamnya. Terlihat secangkir kopi dan beberapa jajanan di meja samping.

Mendengar orang yang ditunggu datang, ia mengalihkan perhatiannya pada Arya. Pak Danang mengamati pemuda ini dari atas sampai ke bawah, ujung kaki hingga ujung kepala, seolah tak ingin melewatkan sedikit pun detil pada dirinya.

"Malam, Om. Saya Arya, pacarnya Binar." Arya memberi salam seraya mengulurkan tangannya.

"Duduk," kata Pak Danang tanpa menyambut uluran tangan Arya.

Binar menarik tangan Arya, mengajaknya duduk di sofa.

"Kamu kerja, kuliah, atau ... pengangguran?" tanya Pak Danang tanpa basa-basi.

"Kuliah, Om. Jurusan HI di Universitas Tirtomoyo, semester akhir," tutur Arya dengan lancar.

"Lalu, apa rencanamu setelah lulus?"

"Rencana ingin buka usaha sendiri, Om. Buka showroom motor atau mobil," jawab Arya.

"Orang tuamu?"

"Ayah saya sudah meninggal waktu saya kelas dua SMP. Ibu saya tidak bekerja. Kami hidup dari uang pensiun ayah tiap bulan." Arya mencoba menjawab dengan tenang. Sudah wajar seorang calon mertua bertanya seperti ini.

"Lalu, modal dari mana mau buka usaha?" selidik ayah Binar.

"Itu ... masih saya pikirkan, Om." Arya menunduk.

Gila ini orang, basa-basi dulu kek, gerutunya dalam hati.

"Jadi, kamu tidak punya tabungan untuk mewujudkan usaha? Lalu mau meminta Binar untuk jadi pemodal di usahamu, begitu?" cecar Pak Danang lagi.

Melihat kekasihnya terpojok, Binar buru-buru mengalihkan perhatian.

"Ngobrolnya sambil makan malam aja, yuk."

"Ayah mau dengar jawaban dia dulu," tegas ayahnya.

"Mmhh ... saya belum tahu harus bagaimana, Om." Arya mulai kehilangan kepercayaan diri di hadapan ayah Binar yang tidak memberi ruang sedikit pun untuk sedikit bernapas.

"Silakan pulang. Jangan berhubungan lagi dengan anak saya. Saya bukan tidak tahu bahwa selama ini Binar sudah menghabiskan banyak uang untukmu, termasuk modal usaha. Kembalilah kalau sudah punya usaha sendiri, atau pekerjaan yang layak dan bisa dibanggakan.

Itu pun jika Binar masih available. Jangan coba mendekatinya atau kamu akan berurusan dengan saya." Jelas dan tegas ucapan itu menusuk telinga Arya sampai ke dasar hatinya.

"Ayah!!!" Binar berteriak.

Sang ayah pergi begitu saja, masuk ke kamarnya. Binar menangis sementara Arya merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Siapa yang tidak tahu sepak terjang Pak Danang. Pria keturunan bangsawan, pengusaha sukses, dan tentu memiliki pengaruh besar di masyarakat. Bermasalah dengannya, sama saja mencari mati.

Arya berdiri perlahan, berniat meninggalkan rumah tersebut. Binar menggamit lengan Arya, menahannya.

"Aku akan bicara dengan Ayah. Tolong beri sedikit waktu untuk membujuknya. Jangan menyerah, Yang," pinta Binar.

"Terima kasih telah memilihku. Aku ingin menyegerakanmu untukku. Tapi ... apakah mungkin?" ucap Arya lirih.

"Bisa, Yang. Sabar, ya," hibur Binar, mengusap lengan pemuda itu.

"Kita jangan komunikasi dulu ya, Bin. Jangan cari masalah. Bujuk ayahmu. Aku selalu menunggu kabar darimu."

Binar hanya mengangguk. Ia sangat tahu watak sang ayah. Pasti tidak main-main dengan ucapannya tadi. Ia juga tidak ingin Arya mengalami masalah karena itu.

Sembari terisak, Binar mengantar Arya ke depan rumah, lalu menuntaskan tangis di dalam kamar.

Sepanjang perjalanan pulang, Arya menyesali pertemuan malam ini. Mestinya memang harus berhasil dulu membuka sebuah usaha, baru berkenalan dengan ayah Binar. Namun, kapan ia akan berhasil?

Brak!

Arya masuk ke rumah lalu membanting pintu.

"Ada apa, Ya. Pulang kok marah-marah?" tanya Arum, ibunya.

Arya duduk di samping Arum, yang sedang berbincang dengan Arga, kakaknya.

"Aku habis ketemu ayahnya Binar. Sialan. Ditolak. Dia nyuruh balik lagi kalau sudah berhasil jadi pengusaha atau dapat pekerjaan yang bagus. Huh!" keluhnya.

Arga tak berani banyak berkomentar mendengar ucapan adiknya. Sejak kecil, mereka tidak terlalu akur. Arya selalu merasa tersudut dan terpinggirkan dengan semua prestasi Arga. Hal tersebut membuat hubungan mereka sangat renggang, walaupun Arga tak pernah bersikap sombong atas apa yang sudah diraihnya.

"Ya, sudah. Kalau gitu kamu harus buktikan ke ayahnya bahwa kamu bisa berhasil. Lagian, semua orang tua pasti mengingingkan calon mantu yang sukses. Wajar itu," hibur Arum.

"Aku nggak sepandai dan sehebat anakmu satu itu. Gimana mau berhasil," sahut Arya sambil menggerakkan dagunya ke arah Arga.

"Kalau berusaha pasti bisa, Ya. Semangat dong." Arga terpaksa bersuara karena Arya menyangkutpautkan dirinya.

"Bukain usaha, aku tinggal kelola. Terserah usaha apa. Kan Mas sudah kerja bagus, pasti bisa modalin," tegas Arya.

"Kalau sekarang belum bisa, Ya. Tabungan Mas baru sedikit. Mungkin tahun depan baru bisa."

"Pelit! Bilang aja nggak mau bantu. Tahun depan keburu Binar diambil orang," tandas Arya.

Ia berdiri, beranjak ke kamar. Arya membanting pintu, lalu memutar lagu rock keras-keras untuk menghibur diri.

Ibu dan kakaknya hanya bisa menggelengkan kepala melihat kemanjaan anak bungsu ini. Arga dan Arya memang seperti dua sisi mata uang yang berlawanan, walau mereka dibesarkan dengan cara dan perlakuan yang sama. Sejak kecil, keduanya memang sudah terlihat sangat berbeda.

"Sudah. Jangan terlalu dipikirkan kelakuan adikmu. Besok juga sudah biasa lagi," hibur Arum melihat mimik wajah anak sulungnya. "Jangan sampai jadi beban."

Arum juga sebenarnya sedih melihat anak bontotnya belum menemukan jati diri dan arah hidup yang jelas. Tak pernah berhenti ia mengingatkan juga mendoakan agar Tuhan segera memberikan jalan terbaik untuk Arya.

avataravatar
Next chapter