8 Acara Wisuda

Sejak pagi, Mikha telah sibuk di satu salon untuk berdandan. Kebaya berwarna hitam dipadu emas menjadi pilihan. Terlihat simpel, tetapi elegan. Tak banyak warna, membuat mata lebih nyaman memandang. Arga dan Mikha lulus bersamaan dan hari ini mereka diwisuda.

Arga berhasil menjadi lulusan terbaik dari jurusan Akuntansi. Nilai IPK tinggi, 3,89 dan berhasil ditempuh tidak sampai lima tahun masa studi membuatnya mendapatkan predikat cumlaude juga. Mikha juga cumlaude, walau bukan mahasiswa terbaik.

Arum memandang dengan penuh rasa haru ketika Arga menerima penghargaan dari rektor universitas tersebut.

Bapak pasti bangga melihatmu, Nak, batin Arum.

Arga diminta memberikan kata sambutan selaku lulusan terbaik. Mikha mengabadikan momen tersebut dengan berkali-kali memotret menggunakan telepon genggam. Gadis itu bahkan tidak segan untuk maju dan mengambil gambar dari dekat. Dia sangat bangga pada pemuda kecintaannya.

Selesai sudah ritual kelulusan yang cukup panjang dan menjemukan. Sambutan dari banyak pihak, pembagian ijazah satu per satu, hingga berfoto bersama. Arga segera mencari Arum.

"Selamat, ya. Ibu bangga sama kamu, Nak." Arum memeluk Arga, kemudian mendaratkan ciuman di pipi kanan kiri.

"Semua ini berkat perjuangan Ibu ... sama Bapak juga. Makasih ya, Bu." Arga kembali memeluk Arum.

"Sama-sama. Semoga Bapak bangga melihat ini semua. Semoga juga, adikmu bisa ngikutin jejak kamu, Ga."

"Amin. Insya Allah, Bu."

Arga lantas mengajak sang ibu untuk ke gedung fakultas. Ada upacara pelepasan lagi di sana, sekaligus makan bersama. Mereka berbaur dengan hiruk pikuk lautan manusia yang juga berbondong-bondong beralih dari gedung utama universitas menuju fakultas masing-masing.

Sudah menjadi tradisi di kampus ini bahwa akan ada acara pelepasan dan makan-makan di fakultas masing-masing setelah acara wisuda resmi universitas oleh rektor. Di lingkup lebih kecil itu akan lebih terasa kekeluargaannya. Semua saling bersapa dan meluapkan rasa bahagia, merayakan keberhasilan mereka menjadi seorang sarjana.

Tepat sebelum masuk ke gedung pertemuan fakultas, Arga melihat Mikha berdiri bersama kedua orang tuanya.

"Bu, itu Mikha. Sahabat Arga yang selama ini aku cerita." Arga menunjuk ke arah Mikha.

"Oh. Ya, sudah. Kita samperin."

Arga mengangguk. Mereka mendekat ke arah Mikha berdiri. Mikha yang akhirnya melihat Arga bersama Arum tersenyum senang. Dia melambaikan tangan menyapa.

"Selamat ya, Ga. Wah, jadi lulusan terbaik. Nggak surprise, sih. Sudah bisa diduga sejak awal." Mikha memeluk Arga.

"Tante, kenalkan saya Mikha. Maaf, empat tahun kuliah di sini, nggak pernah kenal sama Tante. Habis, si Arga juga nggak pernah ngajakin ke rumah, sih." Mikha menyapa Arum lalu meraih dan mencium tangan kanan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik langsing itu.

"Iya, ndak papa. Wong memang Arga itu dari dulu ndak pernah ngajak siapa pun ke rumah. Padahal Tante ndak pernah ngelarang, lho. Mau cowok, mau cewek, ndak papa kalau maen ke rumah," balas Arum.

"Noh, berarti kamu emang sombong, Ga." Mikha tertawa lepas. "Eh, Tante, kenalin ini Mama sama Papa."

Ayah Mikha mengulurkan tangan. Arum menjabat sesaat sembari menunduk, tanda penghormatan. Kemudian ibu Mikha bersalaman dengan Arum dan saling cium pipi kanan kiri.

"Jadi ini toh namanya Arga yang selaluuu disebut sama Icha tiap kali nelpon. Ternyata memang guaaanteng banget. Pantes Icha semangat kalau cerita." Ibu Mikha menggoda.

"Salam, Tante, Om." Arga mencium tangan ibu dan ayah Mikha bergantian. "Icha sering gosipin saya berarti, ya."

"Gosip baik, kok. Isinya puji-pujian," jawab ibu Mikha disusul cubitan oleh Mikha di lengannya.

"Udah, yuk. Kita masuk, Ga. Tante, duduk sama Mama aja. Biar ada temen ngobrol."

Mikha menarik lengan Arga seraya tangan lain melambai ke arah orang tua mereka. Dia memaksa Arga segera masuk ke gedung sebelum ibunya berbicara lebih banyak lagi. Malu, jelas itu yang dia rasakan. Sang ibu terus saja meluncurkan kata-kata, menyiratkan bahwa dia masih sangat menyukai Arga hingga saat ini.

"Ayo, Mbak. Kita masuk aja," ajak ibu Mikha.

Arum mengangguk lalu melangkahkan kaki di samping wanita bertubuh agak gendut itu. Sangat berbeda dengan Mikha yang kurus tinggi langsing. Namun, garis kecantikan Mikha memang diwariskan oleh wanita ini. Masih terlihat sisa-sisa kecantikan masa mudanya.

"Icha itu suka banget sama Arga, Mbak." Baru saja duduk, ibu Mikha sudah berceloteh. "Mbok ya dibantu untuk bisa meluluhkan hati Arga untuk Icha, Mbak. Insya Allah anaknya baik, kok. Icha itu ndak suka aneh-aneh."

Arum tersenyum menanggapi kata-kata ibu Mikha. Ramah memang. Bukan wanita penggosip, hanya saja terlalu terus terang. Ceplas ceplos.

"Saya ndak berani ikut-ikut soal kehidupan anak-anak. Biarkan mereka memilih jalan mereka sendiri, juga dengan siapa. Kalau mereka nanya, baru saya kasih pendapat. Apa pun dan dengan siapa pun, pasti saya dukung selagi itu membuat mereka bahagia," jawab Arum.

Memang itu yang selama ini diterapkan oleh Arum dan almarhum suami. Mereka sudah sepakat bahwa orang tua hanya berfungsi mengarahkan ke jalan yang baik, membekali anak dengan pengetahuan juga pendidikan karakter. Selebihnya, biarkan mereka melesat menata kehidupan dan masa depan sendiri, tanpa harus terbebani ini itu, juga tuntutan apa pun.

Jika anak ibarat anak panah, maka orang tua adalah busur panah. Mengarahkan sesaat di awal. Setelah meluncur, maka tidak ada yang bisa memastikan di mana dia akan menancap. Sepenuhnya adalah hak si anak panah juga pengaruh embusan angin di sekitar. Itulah takdir.

"Jadi, Mbak nggak peduli nanti anak kita menikah sama siapa?" tanya ibu Mikha lagi.

"Bukan tidak peduli. Mereka punya kriteria sendiri. Baik menurut kita, belum tentu baik juga versi mereka. Yang penting bagi saya, mereka tahu batasan-batasan, juga kriteria baik secara umum itu seperti apa. Saya percaya, anak-anak saya tidak akan sembarangan memilih.

Dan yang lebih penting lagi, saya selalu menitipkan mereka pada pemilik asli, yaitu Tuhan. Insya Allah aman. Saya ndak bisa ngawasi mereka 24 jam, apalagi seumur hidup mereka. Jadi mending saya pasrahkan saja pengawasan pada Allah. Allah akan menjaga mereka seumur hidup mereka."

Arum dengan tenang memberikan penjelasan kepada ibu Mikha. Wanita itu manggut-manggut. Dia salut pada pemikiran Arum. Tidak ada yang salah dari ucapan itu. Secara hakikat, memang anak-anak itu milik Tuhan. Jadi, kembalikan saja pada Dia untuk menjaga. Pemikiran yang sangat keren.

Acara demi acara mereka lalui, dari sambutan panjang yang membosankan dari beberapa pihak, sampai ke acara ramah tamah berupa hiburan musik sambil makan siang. Semua diatur seperti sebuah pesta resepsi yang semua tamu bisa memilih sendiri makanan serta minumannya. Semua terhidang di meja dan booth yang sudah ditata di tepi aula, mengitari seluruh ruangan.

"Cha, nanti malam kita ke kafe, yuk?" Arga mengajak Mikha. Dia ingin membahas tuntas tentang kelanjutan hubungan mereka.

"Oke. Kamu jemput aku di kosan, ya," jawab Mikha mengiakan.

"Siap." Arga tersenyum manis sambil mengangguk.

avataravatar
Next chapter