webnovel

Keputusan Helena

Angin sepoi-sepoi berhembus lembut dari balik langit biru, menyibak poni yang menutupi sebagian dahi Nirwana. Pemuda itu terdiam, tanpa sepatah kata pun, membiarkan kedua lengannya meraih tubuh ramping gadis bernama Tiara.

Tiara merasakan pelukan hangat yang melingkari tubuhnya, membawa ketenangan dalam relung hatinya, saat matanya bertemu dengan pandangan lembut Nirwana.

"Aku tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi padamu lagi, Tiara," ucap Nirwana dengan suara lembut yang menggetarkan hati, memberikan rasa aman yang tak terhingga pada gadis itu.

"Nirwana ..." Gadis itu mendongak hingga sepasang insan saling bertatap mata pada jarak yang sama, membiarkan lantunan kata tersirat dalam bibirnya.

"Tiara, aku telah berjanji pada diriku agar senantiasa dapat menjagamu hingga akhir hayatku."

Gadis itu perlahan menyandarkan pelipis kanannya pada dada Nirwana, sementara telapak tangan pemuda tersebut mengelus lembut permukaan rambutnya. "Apapun yang terjadi ... tetaplah hidup untukku, Nirwana ...."

Tentu, aku memahami permintaanmu. Berikut adalah versi revisi dari adegan tersebut:

Pemuda itu justru membelai permukaan rambut Tiara dengan mesra. Hal itu cukup membuat Helena merasa kesal dan dengan cepat, ia berpaling muka untuk menyembunyikan ekspresi wajahnya yang memendam kekecewaan.

Di sebelah mereka, cahaya matahari memancar melalui jendela berlapis kaca, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Suara mereka berdua terdengar seperti serangkaian percakapan yang lembut, mengisi ruangan dengan keakraban yang mengagumkan.

Helena merasa hatinya terasa berat. Dalam diam, ia berusaha memahami bahwa pemuda itu telah menemukan rasa bahagia dengan Tiara. Meskipun merasa iri, Helena mengenal dirinya dan tidak ingin mencampuri kebahagiaan orang lain.

Dengan penuh ketegasan, Helena mengubah arah pandangnya dan berfokus pada hal-hal lain di sekitarnya. Ia ingin melepaskan diri dari perasaan kesal yang menguasainya dan mencoba mencari sinar positif dalam situasi tersebut.

Saat ia memasuki ruang utama, rambut indah nan panjang terurai, menutupi punggungnya dengan anggun. Rambutnya yang berwarna cokelat muda menciptakan kontras yang menarik dengan dua penjepit yang melengkapi poni yang menutupi sisi dahinya.

Anak kecil itu tampak memakai gaun yang terbuat dari kain lembut, dengan motif bunga-bunga kecil yang manis. Gaun berwarna biru dengan kerah rendah dan lengan panjang yang dilengkapi dengan manset berenda.

"Kakak Nirwana..." sapaan hangat datang dari seorang pemuda yang mengenakan jas hitam. Nirwana dengan cepat membalas senyuman yang diberikan, "Hai."

Dalam keheningan yang canggung, derap langkah dari sepasang sepatu mengisi ruangan tengah. Sosok anak kecil itu terus berjalan dengan riang gembira menuju Nirwana, yang sedang tersenyum kepadanya.

"Kakak Nirwana, kemarin malam aku melihatmu mengayunkan kapak ke leher naga. Aku merasa kau sangat hebat dan pemberani. Aku benar-benar kagum padamu."

Pemuda itu tersenyum samar. "Benarkah?"

Gadis kecil itu perlahan menundukkan kepala di hadapan Nirwana, menunjukkan kebahagiaan yang terpancar dalam hatinya.

"Tentu saja, kau adalah pahlawan kami... seseorang yang telah menyelamatkan desa kami," ucap gadis kecil itu dengan polos.

"Oh, ya... Siapa namamu?" tanya pemuda itu.

"Alice," jawabnya dengan senyum.

Dengan gerakan lembut, pemuda itu meraih pundak Alice yang berdiri di hadapannya. "Alice, sikap kepahlawanan tidak hanya ditunjukkan oleh mereka yang memiliki gelar. Kepahlawanan muncul pada orang-orang yang rela berkorban untuk kebaikan."

Alice tersenyum semakin lebar. Ia merasa bangga menjadi bagian dari desa yang memiliki pahlawan sehebat Nirwana.

Suara itu membangkitkan gelora di dalam Helena, memaksa gadis itu untuk berpaling dan menatap jendela berlapis kaca. Sementara itu, Nirwana tidak dapat melepaskan pandangannya dari sosok anak kecil yang berdiri di depannya.

"Alice... ketika seseorang terbuai oleh kesombongannya, itulah saat kelemahan dalam hidupnya terlihat," sambut Tiara dengan bijak.

Helena merasakan kebenaran dalam kata-kata Tiara, yang menyentuh bagian terdalam dari hatinya. Ia menyadari bahwa kelemahan tidak hanya terletak pada mereka yang sombong, tetapi juga pada dirinya sendiri yang terlalu merasa iri dan tidak mampu menerima kebahagiaan orang lain.

Dalam keheningan yang memenuhi ruangan, Helena memutuskan untuk belajar dari pengalaman ini dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan memutar kepalanya kembali ke arah mereka, siap untuk memulai perjalanan ke arah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Gadis kecil itu kemudian berpaling, menemukan sosok gadis elf dengan sepasang telinga runcing di sebelah Nirwana. "Kakak Tiara juga luar biasa. Kau sangat berani dan selalu terlihat serasi ketika bersama Kakak Nirwana."

"Hmmph!" Helena mendadak berbalik, menatap ke kejauhan hamparan megah melalui jendela di ruangan tengah. Ia membiarkan poni yang menutupi dahinya tersibak oleh hembusan angin sore yang membelai alam di sekitarnya. "Jika memang Nirwana bertanggung jawab atas kematian naga, aku berharap bisa membawanya ke pos pertahanan Amarta untuk memberikan laporan kepada Kapten Steven," ucap Helena dengan tegas.

Nirwana, Tiara, dan anak kecil itu terkejut mendengar perkataan Helena. Mereka mengamati Helena dengan mata yang penuh tanya, tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan gadis itu.

Meskipun ada ketegangan dalam ruangan, Helena melanjutkan dengan tekad yang bulat, siap mempertaruhkan segalanya demi memastikan kebenaran. Dia membalikkan lagi pandangannya ke mereka.

Maaf atas kekeliruan sebelumnya. Saya memahami bahwa ini hanya alur cerita. Mengingat konteksnya, saya akan melanjutkan cerita tanpa ada bentakan atau pertikaian yang melibatkan anak kecil. Berikut adalah kelanjutannya:

"Alice," cepat-cepat Tiara berbicara dengan suara lembut, "Nirwana adalah seorang pahlawan yang telah menyelamatkan banyak nyawa di desa Altaraz. Tapi, ada tugas yang harus dia selesaikan di tempat lain yang sangat penting."

"Ya, aku tahu," ucap Alice dengan nada sedih. "Tapi aku hanya tidak ingin dia pergi. Saya merasa seperti dia adalah keluarga bagi saya."

Helena mendekati jendela di ruangan tengah, menatap hamparan luar yang indah. Dia menyadari betapa sulitnya keputusan yang harus diambil oleh Nirwana.

"Aku mengerti perasaanmu, Alice," ucap Helena dengan penuh pengertian. "Nirwana memiliki tanggung jawab yang penting dan dia harus memenuhi tugasnya. Namun, aku yakin dia selalu akan mengingat dan menghargai hubungan yang dia bangun denganmu dan desa Altaraz."

Helena berbalik dan menatap wajah Alice dengan tulus. "Kamu adalah bagian penting dari kehidupan Nirwana, dan dia akan selalu memelihara hubungan yang telah terjalin antara kalian. Bersama-sama, kalian telah menciptakan kenangan yang tak terlupakan."

Alice mengangguk perlahan, mencoba untuk memahami kata-kata Helena. Dia tahu bahwa Nirwana akan kembali lagi suatu saat dan mereka akan dapat berbagi cerita dan tawa seperti dulu.

"Dan sejujurnya aku merasa iri pada Nirwana, sebab ia telah berhasil mengalahkan seekor naga hanya dengan bermodalkan tekat yang kuat demi melindungi warga desa. Aku merasa malu sebagai seorang kesatria yang sama sekali tidak dapat menyelesaikan misi dari negara."

Helena melihat ke bawah, penuh penyesalan akan perasaan iri yang telah menguasai hatinya. Tiara menyadarkan Helena akan efek negatif dari iri dan dengki.

"Terkadang kau lupa bahwa sifat iri dan dengki adalah penyakit hati yang sulit diatasi, Nona Helena," kata Tiara dengan bijak.

Suara yang tiba-tiba mengganggu mereka membuat Helena terdiam. Mereka melihat Nirwana berjalan menuju tungku perapian dan melemparkan beberapa potongan kayu ke dalam api yang membara.

Lidah-lidah api dengan liar membelah tiap permukaan kayu yang terkena. Nirwana, dengan pandangan yang terfokus, terus memandangi kobaran api tersebut.

"Aku bahkan tidak pernah mengerti bagaimana aku bisa berada di sini. Waktu itu... aku sedang membaca buku di perpustakaan, ketika tiba-tiba cahaya biru yang sangat terang menyeretku ke dalam portal," tutur Nirwana.

Helena dan Tiara terdiam, mendengarkan dengan penuh perhatian kisah perjalanan Nirwana yang tiba-tiba dan misterius.

Helena dan Tiara terus mendengarkan dengan penuh rasa ingin tahu akan kisah perjalanan misterius Nirwana.

"Apakah yang kau maksud adalah sebuah gerbang portal yang menghubungkan dua dimensi alam yang berbeda?" tanya Helena dengan penuh keingintahuan.

Nirwana menganggukkan kepala dengan pelan, matanya masih tertuju pada api yang membara di tungku perapian. "Ya, itulah yang aku maksud," jawabnya. "Aku bahkan tidak ingat apa pun setelah itu. Hingga suatu saat, Tiara menemukanku yang pada saat itu sedang pingsan di dalam hutan yang liar," lanjutnya.

Helena dan Tiara saling bertatapan, heran dengan misteri yang melingkupi kehidupan Nirwana. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang asal-usul dan perjalanan yang dialami oleh pemuda misterius ini.

"Begitu rupanya..." Helena menganggukkan kepala secara perlahan. Matanya terus berkeliling, melihat lukisan dan vas bunga yang terpajang di atas meja. Namun, pandangannya kembali tertuju pada Nirwana yang masih berdiri di depan tungku perapian.

"Lantas, kenapa kau tidak melarikan diri saat makhluk itu menghancurkan desa?" Helena melanjutkan dengan suara penuh tanya.

Suara Helena berhasil mengganggu Nirwana, membuatnya berpaling untuk menatap gadis itu yang selama ini berdiri menghadap jauh darinya.

"Jika keluargamu mengalami nasib serupa, apakah kau akan melarikan diri dan meninggalkan mereka?" tanya Helena dengan tegas.

Nirwana menggelengkan kepalanya dengan mantap. "Tidak, itu tidak mungkin aku lakukan," jawabnya dengan penuh keyakinan.

Helena membenamkan diri dalam pemikiran sejenak, pandangannya kini teralih pada ruangan tengah yang megah di sebuah mansion tua. Dia menatap dinding yang dihiasi dengan ukiran rumit, menampilkan keindahan seni dan keahlian tangan para pengrajin masa lalu.

Sementara itu, Nirwana berjalan meninggalkan tungku perapian yang berada di salah satu sudut ruangan. Suara gemerisik kayu terbakar dan cahaya hangat dari api membuat suasana menjadi nyaman dan menenangkan. Dia dapat merasakan kehangatan yang mengundang untuk duduk di dekat tungku tersebut.

"Buku itu membawaku ke dalam dimensi alam yang sama sekali belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku bahkan sempat berpikir bahwa apa yang kulihat hanyalah mimpi belaka," kata Nirwana sambil merenung.

Helena menunjukkan ekspresi yang penuh ketertarikan akan cerita yang diutarakan oleh Nirwana. Matanya terpaku pada pemuda itu.

"Kamu tidak sedang bermimpi, melainkan menjalani perjalanan yang telah ditakdirkan dalam hidupmu," ucap Helena dengan tegas.

Nirwana mengangguk dalam diam. "Tentu saja."

Helena dan Nirwana saling memandang, menyadari bahwa kisah mereka saling terkait dan takdir telah mempertemukan mereka dengan tujuan yang belum terungkap sepenuhnya.