webnovel

Kenyataan Pahit Nirwana

Helena mengangkat dagunya saat menatap ke kejauhan, memandang hamparan langit biru yang perlahan terselimuti oleh awan putih. Suara gemuruh lirih bergema dalam hatinya, menjadi saksi atas kehancuran desa bernama Altaraz.

Di bawah tebing tempatnya berdiri, Helena merasa ngeri melihat puluhan warga yang tergeletak tanpa nyawa. Sisa-sisa kobaran api masih menyala di antara reruntuhan rumah warga.

Jeritan pria dan wanita bergabung dalam harmoni yang tragis, menciptakan nada-nada yang memilukan hati yang terluka.

Angin dingin bertiup keras dari kejauhan, menerpa setiap helai rambut Helena saat dia menyaksikan korban jiwa dengan kedua matanya.

Sesuatu yang besar berwarna hitam menarik perhatian Helena, menyebabkan gadis itu memalingkan wajahnya. Di tengah kerumunan warga desa, tergeletak seekor naga dengan sayap yang terpisah dari tubuhnya.

"Ah?!" Helena tersentak, matanya terbelalak secara refleks. "Na-naga Aster. Ba-bagaimana mahluk itu bisa dikalahkan?!"

"Inilah mengapa kamu harus percaya pada kata-kata mereka."

Suara asing yang mengganggu terdengar, memaksa Helena untuk memalingkan wajahnya. Di hadapannya, seorang pemuda telah berdiri sejak tadi.

"William," ucap Helena, mengerutkan sedikit dahinya. Pemuda di belakangnya tersenyum sambil mengangkat kedua pundaknya.

"Apakah aku membuatmu terkejut?" senyum hangat terpancar dari pemuda itu, sementara zirah besi yang melekat pada tubuhnya menambah kesan gagah.

Helena menghela nafas, alisnya sedikit terangkat. "Tentu."

"Helena, kamu harus percaya bahwa pemuda ini adalah pahlawan yang telah menyelamatkan puluhan warga desa."

"Apa maksudmu?" Kerutan di dahi Helena menunjukkan rasa penasaran yang mendalam.

"Nirwana, pemuda yang kamu temui di dalam mansion tua, dialah yang berhasil memenggal kepala naga dengan kapak besarnya."

"Jangan main-main! Bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan naga sebesar itu?!" Geram Helena, menunjuk bangkai naga yang dikerumuni oleh warga.

"Aku bicara berdasarkan fakta, Helena. Jika kebenaran sudah terbukti, mengapa kamu masih ragu?" desak William dengan nada tegas.

Hawa dingin menyelimuti tubuh mereka, menciptakan nuansa hening di sekitar mereka. Namun, suatu saat, Helena memutarkan tubuhnya untuk bergerak menjauh dari William.

"Helena, tunggu!" seru William sambil menggapai udara dengan satu lengan. Gadis itu menghentikan langkahnya dan perlahan menoleh ke arahnya.

"Jangan menghalangi langkahku."

"Apa maksudmu?" William bertanya, ekspresinya penuh penasaran.

Jemari lentiknya terbalut zirah baja, menggepalkan sisi pahanya. Helena perlahan mengangkat dagunya dan mendongak untuk menatap langit biru yang tertutup awan.

"Selayaknya aku, yang dilahirkan sebagai seorang kesatria yang berbakti pada negara, tidak boleh percaya pada kemungkinan keberadaan pahlawan baru mereka. Itulah alasan mengapa aku ingin membuktikan kebenaran itu dengan berduel melawan Nirwana."

"Berhentilah bersikap angkuh, Helena!" Pemuda itu berseru keras sambil membentangkan satu lengan ke udara. "Jika terjadi sesuatu pada Nirwana, hubungan antara bangsa elf dan manusia akan terganggu."

Helena perlahan memalingkan wajahnya, menunjukkan sorot mata yang tak biasa. "Aku tidak akan mundur dari keputusanku, William."

"Meskipun kau adalah Ketua peleton dalam pasukan kita, itu tidak memberimu hak untuk bertindak semaumu, Helena!" Keheningan William terdengar dengan geram yang mengusik pendengaran Helena.

"Keputusanku sudah bulat, William."

Gadis cantik dengan rambut berkilauan perlahan melangkah menjauh dari William. Angin dingin bertiup dengan cukup kencang, membuat jubah kelabu gadis itu berkibar. William hanya bisa pasrah, memperhatikan langkahnya yang semakin menjauh.

Di ruang tengah mansion tua, hening masih menyelimuti. Seorang pemuda terlihat tenggelam dalam pemikiran, terdampak oleh perasaan trauma. Ia tak pernah menduga bahwa mitos, yang seharusnya tak masuk akal menurut logika, kini menjadi nyata di hadapannya.

Pemuda yang mengenakan jas hitam tersebut adalah Nirwana, seorang gamer Mobile Legends yang tidak pernah menyangka bahwa takdir akan membawanya keluar dari kehidupan nyata manusia biasa. Kini, ia terjebak dalam portal dimensi yang berbeda, di mana ia bertemu dengan makhluk seperti naga dan bangsa elf yang mirip manusia.

Saat Nirwana bergerak menjauh dari sofa, ia melangkah menuju tungku perapian yang masih memancarkan bara api. Matanya menatap hampa kobaran api yang membakar kayu di dalamnya, membangkitkan trauma akan serangan naga yang terjadi di desa sebelumnya.

"Nirwana ..." Panggilan itu membuyarkan lamunannya, membuat pemuda itu berbalik dan menemukan seorang gadis elf di sisinya.

"Tiara," jawabnya.

"Kau terlihat khawatir, Nirwana," kata Tiara sambil mendekatinya. "Bisakah kau ceritakan padaku?"

Namun, Nirwana hanya menggeleng pelan sebagai jawabannya.

"Nirwana ... Tolong, ceritakan ..." pinta Tiara, menatap wajah sedih pemuda itu dengan penuh perhatian.

Tatapan sayu Nirwana mencerminkan kepedihan yang dalam di lubuk hatinya. Pemuda itu perlahan menekuk satu lengan, menyentuh kulit pipi gadis di depannya dengan lembut.

"Jika suatu hari aku harus pergi ... Bukan kematian yang akan menyakitiku. Tapi kehilanganmu yang tak bisa kulihat lagi."

Ketika mereka saling bertatap, keduanya terlihat saling merasakan kepedihan yang sama. Pada suatu titik, jemari lentik Tiara menyentuh punggung tangan Nirwana.

"Nirwana, kau adalah pahlawan bagi bangsa kami. Kau adalah kesatria yang telah mengorbankan segalanya untuk kami ... Kami akan selalu berada di sampingmu, siap berjuang bersamamu hingga akhir. Aku harap kau tak pernah mengucapkan kata-kata itu lagi ..."

"Mengapa ..."

"Kau hanya akan menyakiti hatiku."

Suara lirih itu terdengar, menggetarkan lubuk hati, seolah menjadi penanda dari kepedihan yang telah lama menjadi misteri. Nirwana meraih punggung gadis di depannya dengan lembut sambil berkata,

"Aku hanya ingin pulang, Tiara. Aku merindukan Ibuku ..." Telapak tangan Nirwana meraba perlahan di punggung gadis itu, menciptakan suasana melankolis yang memenuhi kepedihannya. "Ketika seorang anak terpisah dari orang tuanya, hanya air mata yang mampu meredakan kerinduan di dalam hati ..."

"Seperti burung elang yang terkurung dalam sangkar, yang tak bisa terbang untuk menatap keindahan ombak yang memecah di karang," ucap Tiara sambil perlahan menyandarkan kepala pada dada Nirwana, pelukan mesra mereka menambah hening di sekeliling.

Nirwana sedikit mengangkat dagunya saat Tiara bersandar, meneteskan air mata yang membasahi pipinya, membawa kesedihan yang menusuk hati.

"Dalam kata-katamu, Tiara, aku merasakan getaran melankolis yang menyentuh hati. Namun, jika aku tetap berada di sini, senyum hangat Ibuku yang selalu menghibur tak akan pernah kurasakan lagi. Aku merindukan pulang dan berada di samping keluargaku," ucap Nirwana dengan pandangan yang berkaca-kaca, seolah menahan laju airmata yang ingin tumpah. "Tanpa keluarga, aku hanyalah sebatang kara, Tiara."

Tiara mengangkat kepalanya sedikit, matanya penuh dengan emosi yang dalam saat menatap Nirwana. Gadis itu seolah terbawa dalam aliran melankolis yang mengalir begitu dalam.

"Kau tak pernah sendirian, Nirwana. Aku akan selalu berada di sisimu hingga akhir jalan," ucap Tiara dengan suara lembut yang penuh kehangatan.

Nirwana mencoba bicara, namun suaranya terhenti di tenggorokannya. Hanya air mata kesedihan yang menjadi saksi bisu atas rindu yang memenuhi hatinya.