webnovel

Amarah Nirwana

Setelah menikmati waktu di puncak tebing, Helena melangkah perlahan melintasi jembatan kecil yang terletak dekat dengan pemukiman desa. Dinding batu kokoh menjulang di hadapannya, memeluk bangunan tua yang dipenuhi dengan ukiran klasik yang memikat di setiap sisinya.

Sinar mentari senja yang hangat menyapu langit, menciptakan perpaduan warna jingga yang memukau bersama awan putih yang lembut, membentang luas di atas kepala Helena. Langkahnya melaju di antara rerumputan hijau yang menjalar di halaman mansion kuno, diiringi aroma manis bunga-bunga yang menyapa hidungnya dengan lembut.

Helena terus berjalan di atas jalan setapak yang dihiasi oleh batu-batu kecil, merasakan sentuhan dinginnya di telapak kakinya.

Di sebelah kanan, tegaklah sebuah pohon raksasa yang menjulang ke langit, memberikan keteduhan alami dari terik sinar matahari. Suara gemericik air sesekali menghiasi udara, memancing Helena untuk memandang kolam yang mengalir begitu tenang di dekatnya. Bunga-bunga teratai mengambang di atas permukaan air, menambah keindahan panorama alam yang mempesona di sekelilingnya.

Di ruang tengah, seorang pemuda baru saja meninggalkan tungku perapian. Pemuda itu terlihat gagah dengan jas hitam yang dipakainya, busana berbahan kain hitam yang pas dengan tubuhnya yang atletis. Kancing jas yang berkilauan dari logam mengikat erat bagian dada, menonjolkan sisi maskulin pada penampilan Nirwana.

Pemuda itu melangkah mendekati seorang gadis elf yang telah memperhatikannya sejak tadi. Lengan jas panjangnya menutupi pergelangan tangannya, menambah kesan elegan dan rapi pada penampilannya yang gagah.

"Tiara, apakah kau yang memberikan jas baru ini untukku?" tanya Nirwana.

Gadis itu tersipu malu, kemudian menundukkan kepala seraya menjawab, "Iya, aku sengaja membuatnya agar kau dapat mengenakannya."

"Benarkah?" Ekspresi kaget melintas di wajah Nirwana, alisnya terangkat, dan bibirnya sedikit terbuka dalam keheranan.

"Tentu. Kau menyukainya?" Tiara menundukkan kepala, wajahnya dipenuhi rona merah muda yang memancar di pipinya. Matanya yang indah sedikit terpejam, dan bibir tipisnya bergetar sejenak sebelum akhirnya ia mengucapkan kata-kata dengan suara lembut.

Senyum samar merekah di wajah Nirwana. "Ya, aku menyukainya. Terima kasih, Tiara."

"Nirwana, kau adalah pahlawan bagi bangsa elf. Kau memiliki hati mulia dan jiwa kesatria yang tulus untuk melindungi sesama. Aku kagum padamu," ungkap Tiara.

"Aku hanyalah manusia biasa dan tidak pantas disebut sebagai pahlawan," ujar Nirwana sambil menatap intens gadis di hadapannya.

"Kau adalah Nirwana, sepercik cahaya dari surga yang mampu menyinari alam semesta. Dan kehadiranmu seakan merubah warna pada kelamnya dunia," ujar Tiara.

"Mengapa semua orang beranggapan bahwa aku adalah cahaya surga, dan pahlawan yang mampu merubah nasib mereka?" Suara lirih Nirwana terdengar, membuat dada gadis bernama Tiara berdebar-debar, sementara ia terus menatap pemuda itu di hadapannya dengan penuh intensitas.

"Sebab mereka percaya, bahwa Nirwana yang mereka kenal adalah kesatria utusan Dewa."

"Tiara, jika takdir memutuskan bahwa aku harus tiada, maka semua impian itu akan segera sirna dari pandangan mata," jawab Nirwana dengan penuh perhatian.

"Kau tidak akan pernah mati, karena dirimu adalah pahlawan yang tak tertandingi. Dan kau harus percaya bahwa nasib bangsa kami ada di tanganmu suatu hari nanti," ucap Tiara dengan keyakinan yang mendalam.

Nirwana mengangguk pelan. "Aku berjanji."

Suasana hening kembali mengisi ruangan tengah saat kedua individu saling bertatap muka. Namun, tiba-tiba keheningan itu terputus oleh suara derap langkah yang memecah kesunyian.

Nirwana dan Tiara menoleh ke arah sumber suara, terkejut oleh kedatangan gadis bersurai emas yang memasuki ruangan tengah.

Sosok gadis yang bernama Helena begitu memesona dengan rambut panjang berwarna keemasan, seperti sinar matahari yang menerangi alam semesta. Rambutnya terjatuh dengan lembut, mengalir seperti sungai emas di sekitar bahunya, menambah pesona dan kecantikan yang dimilikinya.

Matanya yang berkilau seperti permata menarik perhatian pemuda yang dia temui. "Nirwana!" serunya.

"Kau?!" Pemuda itu sontak tertegun, matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka, menunjukkan kebingungan yang terpancar dari wajahnya.

"Sepertinya rumor itu benar," Helena menyunggingkan senyum misterius. "Banyak yang bilang bahwa kau adalah sosok pahlawan yang mampu menumbangkan naga. Itulah alasan mengapa aku ingin memastikannya."

Nirwana mengerutkan dahi, matanya menatap tajam sosok gadis yang tersenyum miris penuh misteri. Sementara derap langkah yang dihasilkan oleh sepasang sepatu milik Helena berhasil memusatkan perhatian Tiara.

Saat Tiara hendak melangkah, pemuda tampan dalam balutan jas hitam terlihat membentangkan tangannya. Secara otomatis, Tiara menghentikan langkahnya untuk mendekati Helena.

"Tiara," ucap Nirwana sambil menggeleng pelan sambil membentangkan tangannya. "Aku harap kau tidak tergesa-gesa dalam mengambil tindakan," ujar Nirwana sambil mata terpaku menatap gerakan Helena.

Tiara menoleh. "Tapi Nirwana...."

Nirwana merasakan kecemasan yang terselubung dalam hati Tiara, dan akhirnya ia berkata, "Semua akan baik-baik saja. Percayalah padaku."

Ketika Nirwana kembali memandang Helena, tiba-tiba sebuah pukulan keras mendarat pada pelipis kanannya. Pemuda itu merasakan dampak pukulan keras Helena yang menusuk masuk ke dalam tubuhnya, membuatnya terhuyung ke belakang kehilangan keseimbangan.

Tiara terbelalak penuh kecemasan di dalam hatinya. Dia tidak pernah menyangka bahwa Helena mampu melakukan kekejaman terhadap Nirwana, sosok yang telah menyelamatkan banyak jiwa di desa mereka.

"Nirwana!" Teriakan histeris meledak dari bibir Tiara saat ia memanggil nama pemuda tersebut dengan keras. Tanpa ragu, Tiara berlari mendekati Nirwana yang tergeletak di permukaan lantai.

Helena menyungging senyum melihat Tiara yang tergesa-gesa membantu membangkitkan Nirwana. "Hmmph! Jika pemuda itu tidak terburu-buru untuk menghabisi naga Aster, mungkin pukulan itu tidak akan pernah mendarat pada wajahnya."

"Mengapa kau tidak memiliki belas kasih terhadap orang yang telah menyelamatkan bangsa kami?" Tiara menatap Helena dengan lengkungan bibir yang hampa. Kerutan kecil muncul di dahinya, disertai dengan tatapan tajam yang penuh misteri.

"Membunuh naga adalah tugas kami sebagai kesatria Amarta, dan bukan tugas manusia lemah seperti Nirwana," ucap Helena sambil melipat tangan di depan dada.

Setelah bangkit, Tiara memutuskan untuk mendorong kuat bahu Helena, membuat kesatria itu mundur beberapa langkah. Gadis elf itu mengecam keras perlakuan Helena terhadap Nirwana, yang dianggapnya sebagai perusak hubungan baik antara umat manusia dan bangsa elf.

"Saat kobaran api membakar atap rumah warga, isak tangis dan airmata menjadi saksi atas kejamnya amukan sang naga. Di sisi lain, Nirwana berjuang untuk menyelamatkan warga desa dan mempertaruhkan nyawanya demi keberlangsungan hidup kita semua," ujar Tiara.

Helena mengernyitkan alis. "Itu bukan urusan kami."

"Dasar egois! Kau tidak pernah peduli dengan bangsa kami! Kau iblis!!"

*PLAACK!!

Bunyi tamparan menggema keras di ruangan tengah mansion tua. Tiara terhuyung karena kehilangan keseimbangan, hingga nyaris menabrak rak buku di belakangnya.

"Tiara!!" Teriakan Nirwana memenuhi ruangan saat ia memanggil nama gadis elf tersebut dengan keras.

Helena menyunggingkan senyum misterius di hadapan Tiara, lalu pandangannya beralih pada Nirwana yang mulai mengepalkan tangan di antara kedua sisi pahanya.

"Nirwana... Jika kau benar-benar seorang pahlawan, mengapa tidak membalaskan rasa sakit yang dia derita, hmm? Atau mungkin kau hanya berpura-pura kuat di depan warga desa, agar dijuluki sebagai kesatria khayangan yang turun dari surga. Hahaha!"

Nirwana menghela nafas. "Aku tidak pernah menyakiti wanita, meski terpaksa."

"Manis sekali..." Helena tersenyum. "Lalu bagaimana jika aku menghunuskan pedang pada perutnya?"

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Selama jantung ini masih berdetak, aku tidak akan membiarkan dia terluka."

"Hmmph! Sungguh sombong," ujar Helena.

"Sekali lagi kau berani menyentuh Tiara, aku bunuh kau, Helena!" Geram Nirwana sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Helena. Matanya memerah, seolah aliran darahnya mengalir deras untuk memusatkan gelombang amarah di dalam tubuhnya.