webnovel

Akhir Dari Pertemuan

Di atas tebing yang curam, puluhan lelaki berdiri dengan rapi membentuk formasi yang teratur. Mereka adalah para pemanah dari bangsa elf yang terampil dan siap untuk melawan ancaman naga. Dengan tekad yang kuat, sekumpulan penduduk bersenjatakan panah tersebut membentuk barisan artileri.

Di tengah keheningan malam yang mencekam, naga muncul perlahan. Makhluk besar itu membentangkan sayapnya, menciptakan bayangan hitam di bawah redupnya sinar rembulan.

Sementara itu, di antara para pemanah yang berdiri di atas tebing nampak seorang lelaki yang menonjol dengan tubuh kekarnya. Lelaki itu mengangkat lengan kanannya yang kuat di hadapan para pejuang yang membelakanginya, menunjukkan keberanian dan tekad untuk melindungi warga desa.

"Saudaraku sekalian!" serunya dengan suara lantang. "Ketika deru angin membunyikan suara lonceng di malam hari, di sanalah tempat kita untuk bertaruh nyawa hingga mati! Pertempuran ini bukan demi merebutkan harga diri, melainkan untuk melindungi anak dan istri!"

Kata-katanya menggema di antara para pemanah, membangkitkan semangat api yang membara di dalam tubuh mereka. Dengan cepat, mereka mengambil posisi, mempersiapkan anak panah mereka dengan hati-hati.

Di bawah tebing yang menjulang, rumah-rumah warga terhampar dalam kegelapan malam yang menyelimuti. Jendela-jendela kecil yang tertutup rapat hanya memancarkan cahaya redup dari lilin-lilin yang dinyalakan di dalamnya. Di udara yang dingin, angin malam berbisik pelan di antara rerimbunan pepohonan, menciptakan suara desiran yang menambah kesan misterius. Ketika bayangan sang naga mulai muncul di kejauhan, gemuruh langkah kakinya yang berat dan napasnya yang panas membawa ancaman yang tak terbantahkan. Suasana tegang mulai menyelimuti pemukiman warga, membuat hati mereka berdebar-debar dalam ketakutan akan bahaya yang mengintai di malam yang gelap.

Dengan suara lantang, lelaki yang menonjol di antara para pemanah itu menatap langit yang mulai terang oleh kehadiran sang naga. "Jangan biarkan naga itu memasuki pemukiman warga! Sekarang acungkan busur kalian dan tembak!!"

Rentetan anak panah melesat kencang dari balik hamparan udara dan berhasil menembus sayap sang naga, membuat mahkluk itu kehilangan keseimbangan untuk tetap terbang di bawah redupnya bulan pernama. Naga Aster yang terjerembab jatuh ke permukaan tanah sontak mengaung keras ke atas udara, menciptakan kengerian di pemukiman warga.

Dengan langkah tergesa-gesa, sepasang gadis dan seorang pemuda keluar dari pondok tua. Pandangan mereka tersirat ke langit malam yang mencekam, menatap bayangan sang naga terbang di atas pemukiman desa. Mahkluk itu sontak menyemburkan kobaran api yang membara, melahap atap rumah warga. Gadis elf itu, dengan rambut panjangnya yang berkibar di angin malam, menatap langit dengan mata penuh kekhawatiran, sementara Tiara dengan pakaian yang lusuh menggenggam erat busur dan panahnya.

Dalam keheningan malam yang terganggu oleh kobaran api, pemuda itu merasa dirinya tengah terperangkap di antara mimpi dan kenyataan. Sementara mata yang terbelalak menatap kobaran api yang menari-nari di atas atap rumah warga.

"Apa maksud dari semua ini?!" seru Nirwana dengan suara gemetar, menggambarkan perasaan takut dan kebingungan di dalam hatinya. Sementara matanya terbelalak, mencari jawaban di tengah kekacauan yang mengelilinginya.

Tiara bersikap tenang dan menoleh ke arah Nirwana. "Tuan! Sebaiknya Anda pergi ke hutan bersama Linda," matanya menatap intens sosok pemuda di sebelahnya. "Sementara aku akan berjuang bersama para pemanah untuk melindungi desa."

Linda menatap Tiara dengan penuh kecemasan, ekspresi wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Aku akan tetap tinggal, Tiara."

"Jika ini bukan mimpi, maka kita harus menghadapi situasi ini bersama," timpal Nirwana, suaranya penuh dengan keputusan dan tekad yang kuat.

"Kau tidak akan mampu untuk melakukannya!" sahut Linda dengan suara lantangnya. Sementara jari telunjuknya mengarah pada sosok pemuda di hadapannya.

Nirwana sontak membuang muka. Senyuman miris pun kian terpancar menyelimuti ekspresi wajahnya. "Seseorang akan terlihat lemah jika tidak meyakini kemampuannya. Karena aku bukanlah sampah, pantang bagiku untuk berbalik arah dan meninggalkan mereka semua."

"Baiklah, aku percaya padamu." Linda segera mengalihkan pandangannya pada Tiara, "aku akan segera kembali dengan membawa bala bantuan dari pasukan artileri Amarta. Tiara, aku harap kau masih saat aku kembali nanti."

Tiara mengangguk pelan. "Tentu."

Dengan langkah yang ragu, Linda berbalik arah dan beranjak pergi meninggalkan mereka. Sementara tatapan Tiara kian terpaku menatap sang naga yang masih mengepakkan sayapnya di atas udara.

Di tengah kekacauan yang melanda pemukiman desa, Tiara berdiri tegak dengan busur panahnya. Sementara api terus berkobar di atap rumah warga. Gadis itu memicingkan mata kala tangan kirinya menarik ujung anak pada pada busurnya.

Sekelebat anak panah yang dilepaskan oleh Tiara melesat dengan cepat di tengah hamparan udara, melewati kobaran api yang membara hingga mampu menancap tepat pada mata kiri sang naga. Mahkluk itu seketika terjatuh ke permukaan tanah.

Nirwana yang terdiam di tengah kekacauan hanya dapat menatap hampa mahkluk besar yang terluka dan mengaung kesakitan di tengah hamparan udara. Suara deritan sang naga terdengar melengking menusuk telinga, menciptakan perasaan takut yang menyelimuti dirinya.

Dengan gemetar, Nirwana menatap monster besar yang tergeletak di permukaan tanah. Sementara suara naga yang menggema di udara menciptakan suasana yang mencekam di sekitarnya.

Sang naga, yang semakin murka dan terluka, mencoba untuk menyemburkan lidah-lidah api kepada sejumlah warga yang hendak menyerangnya. Dengan mata yang memancarkan kemarahan dan sayap yang terbentang luas, monster besar itu mengeluarkan nafas panas yang menyala-nyala.

Tiara dengan refleks yang cepat, berhasil menghindari semburan panas api membara yang dilepaskan oleh sang naga. Namun, sebelum ia sempat bernapas lega, cambukan ekor yang ganas melayang menghantam tubuhnya dengan kekuatan yang membuatnya terpental jauh. Tubuhnya terhempas dengan keras hingga menabrak dinding rumah warga, menyebabkan debu dan serpihan bangunan beterbangan di sekelilingnya.

Tiara merasakan rasa nyeri yang menusuk tubuhnya akibat hantaman ekor naga yang kuat. Wajahnya terpenuhi dengan ekspresi kesakitan, namun tekadnya tetap teguh. Dengan susah payah, ia bangkit dari tanah, mengelap darah yang mengalir dari luka-luka kecil yang ia dapatkan akibat benturan.

"Tiara!" Suara itu terdengar lantang dari mulut Nirwana yang mencemaskannya. Sementara gadis itu menoleh ke arahnya.

Nirwana mengepalkan jemari tangannya dengan kuat, mencoba untuk mengumpulkan tekad dan keberanian dalam dirinya untuk melindungi Tiara. Dengan langkah mantap, pemuda itu meraih perisai yang tergeletak di dasar tanah, siap untuk melindungi sahabatnya. Dengan tatapan yang penuh determinasi, Nirwana berlari dengan cepat menuju Tiara, melewati reruntuhan dan kekacauan yang melanda desa.

Sementara itu, monster besar itu kini berupaya untuk menyemburkan api ke arah Tiara, menciptakan ancaman yang semakin mendekat. Suara deritan api yang membara dan panasnya yang terasa di udara menciptakan ketegangan yang melingkupi mereka. Tiara, yang masih terpantul dari dinding warga akibat hantaman ekor naga, menatap Nirwana dengan harapan dan kepercayaan.

Nirwana tiba tepat waktu, menempatkan dirinya di antara Tiara dan serangan api yang mematikan. Dengan perisai diangkat tinggi, pemuda itu menahan semburan api dengan gigih, melindungi Tiara dari bahaya yang mengancam. Suara dentuman api yang bertabrakan dengan perisai menciptakan gemuruh yang menggema di sekitar mereka, namun Nirwana tetap bertahan dengan tekad yang kuat.

Tiara terperangah melihat kejadian mengerikan di depan matanya, saat tubuh Nirwana sedikit terdorong oleh semburan naga yang berkobar, menabrak perisainya dengan kekuatan yang menggetarkan. Ekspresi keterkejutan dan kecemasan terpancar jelas dari wajah Tiara, sementara matanya memandang dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran.

"Mengapa Tuan lebih memilih untuk melindungi saya?"

"Karena aku tidak ingin melihatmu terluka, Tiara."

Saat semburan api yang mematikan mulai mereda dari mulut sang naga, mata tajam Nirwana melirik peluang yang muncul di tengah kekacauan. Dengan cepat, pemuda itu memberikan isyarat kepada sejumlah warga desa yang berdiri di atas menara, memberikan sinyal untuk bertindak. Tanpa ragu, sekelompok anak panah melesat dengan cepat dari balik hamparan udara, membentuk rentetan yang mematikan.

Satu per satu anak panah itu menancap dengan presisi, hingga salah satunya menembus dengan kuat ke bagian tubuh sang naga. Monster besar itu meringis kesakitan, sementara darah mengalir deras dari luka yang ditimbulkan oleh anak panah. Kegelisahan dan kepanikan mencuat di ekspresi wajah naga yang terluka, menciptakan suasana yang mencekam di sekitarnya.

Sementara itu, Tiara dengan sigap bergerak menghunuskan ujung lancip pedangnya ke bagian paha sang naga. Dengan gerakan yang gesit dan tepat, Tiara berhasil menyerang titik lemah monster tersebut. Suara benturan logam antara pedang dan kulit naga menciptakan dentuman yang menggetarkan udara, menandai pertempuran sengit antara elf dan monster.

Setelah makhluk besar itu terjerembab jatuh ke permukaan tanah, saatnya bagi Nirwana untuk mengambil kapak besar yang tergeletak di dekatnya. Dengan gerakan yang mantap, pemuda itu mengayunkan kapak tepat ke arah leher sang naga yang terluka. Suara gemuruh terdengar saat kapak besar itu memotong leher monster besar tersebut, menyebabkan cairan kental berwarna merah mengalir deras, menandai akhir dari pertempuran yang sengit.

Nirwana, yang telah memberikan pukulan terakhir pada sang naga, merasakan kelelahan yang begitu besar. Tubuhnya terasa berat dan tak berdaya, namun tekadnya tetap teguh. Dengan napas yang terengah-engah, pemuda itu terjerembab jatuh tak sadarkan diri di samping tubuh sang naga yang tergeletak.

Suasana di sekitar mereka penuh dengan keheningan yang menyelimuti, setelah pertempuran yang panjang dan melelahkan. Warga desa yang menyaksikan aksi heroik Tiara, Nirwana, dan rekan-rekan mereka merasa lega, namun juga terpenuhi dengan perasaan haru dan give up. Pertempuran yang mereka lalui telah meninggalkan bekas yang mendalam, dan kemenangan yang mereka raih tidak datang tanpa pengorbanan yang besar.

Dalam keadaan tak sadarkan diri, Nirwana dan sang naga terbaring di tanah, menandai akhir dari pertempuran epik yang telah terjadi. Mereka berdua, manusia dan monster, kini terpisah oleh takdir, meninggalkan jejak peristiwa yang akan dikenang selamanya oleh desa dan penduduknya.

******

Wilayah Amarta bagian utara.

Hutan Altaraz-pegunungan Alpine.

Pagi itu semua prajurit tengah sibuk berjaga di tengah kawasan hutan, sisanya berpatroli di halaman pondok. Sementara satu diantaranya berdiri di atas menara kayu.

Di suatu pondok tua yang menjadi post penjagaan prajurit Amarta, sepasang penjaga terlihat berdiri di sisi pintu ruangan tengah. Terdengarnya derap suara langkah mengiringi datangnya sepasang remaja dengan balutan ornamen baja yang berlambangkan Phoenix di bagian sisi dada.

Sebilah pedang tersandang dibagian punggung lelaki yang bernamakan William, sementara pedang panjang menggantung di sisi pinggang Alisa. Keduanya adalah kesatria Amarta yang di tugaskan untuk berjaga di perbatasan wilayah sebelah utara.

Manik biru kedua penjaga mengamati disetiap pergerakan sepasang insan yang hendak memasuki ruangan tengah, membiarkan daun pintu terdorong masuk ke dalam. Sorot mata Alisa memaksa kedua penjaga menegapkan tubuh saat mereka hendak memasuki ruangan tersebut.

Seorang pria paruh baya menyambut kedatangan mereka. Lelaki itu bernamakan Steven, seorang pemimpin pasukan altileri yang menjaga perbatasan wilayah di sepenanjung utara kawasan Amarta.

Rambut pendek tercukur rapi dengan kumis tipis yang menawan, menambahkan ketampanan yang tak biasa bagi seorang pemimpin pasukan. Kapten Steven terlihat mengenakan kemeja sutra hijau dengan jaket doublet, serta celana cokelat ketat hose.

Lelaki tersebut duduk bersandar pada punggung kursi, berhadapan langsung dengan dua kesatria Amarta.

"Mengapa kalian kembali ke basecamp?" Manik hijau Steven melirik ke kiri dan kanan. Sorot matanya kini teralihkan pada sesosok gadis dari bangsa elf yang nampak memasuki ruangan tersebut. "Dan siapa gadis elf yang berdiri di belakang kalian?"

"Kami bertemu dengannya saat sedang berpatroli di semenanjung utara, Kapten. Dan kedatangan beliau adalah untuk melaporkan adanya penyerangan yang dilakukan oleh naga di desa Altaraz," ujar William.

Melihat Linda yang termenung di kursi serta berhadapan langsung dengan sang Kapten, membuat William mengambil inisiatif untuk membuka suara.

"Kapten Steven, beri kami perintah untuk menjalankan tugas."

Pandangan mata Steven teralihkan pada selembaran peta yang terpampang di atas meja. "Jika naga itu terbang ke desa pada tengah malam, maka ada kemungkinan bahwa mahkluk tersebut masih berada di kawasan desa."

"Itu benar. Dan sebelum naga itu datang, salah seorang dari gadis desa telah membawa warga asing ke sana." Gadis itu-Linda hanya dapat menundukkan kepala dan tak berani menatap wajah sang Kapten.

"Apakah orang asing itu dari bangsa elf?" tanya Steven.

Gadis itu menggelengkan kepala, lalu berkata. "Dia adalah bangsa manusia yang mengenakan busana layaknya seorang bangsawan, Tuan."

"Begitu, ya?" Kapten Steven menyipitkan mata, sudut pandangannya kini teralihkan pada sepasang kesatria yang berdiri membelakangi Linda. "William, kenapa kau tidak melaporkan adanya bangsa manusia semenanjung utara kawasan Amarta?"

"Kapten Steven, kami tidak pernah melihat adanya manusia di semenanjung utara pegunungan Alpine, kecuali bangsa elfen dan monster," tegas William.

"Itu benar, Kapten. Jika memang ada, kami pasti akan membujuknya untuk segera berpindah tempat ke Ignea, sebab di sanalah seharusnya bangsa manusia itu berada." Helena menengahi pembicaraan.

Dahi Steven mengkerut. Ia melirik William, Helena dan Linda. Tapi setelah tak ada tanggapan, lelaki itu menarik nafas. "Baiklah. William, siapkan prajurit bersenjata untuk ikut bersamamu ke pemukiman desa, dan pastikan untuk mengevakuasi korban yang terluka."

Mendapati adanya sesosok gadis berambut pirang dengan gaun biru bercorak ungu, membuat Alisa segera membungkuk, guna menunjukan rasa hormatnya pada sang Putri.

Mendapati adanya perintah dari sang Kapten, menyentak kesigapan William guna berdiri tegap layaknya seorang tentara militer. "Siap laksanakan!"

"Sementara kau, Helena. Galih informasi mengenai kemunculan pemuda asing tersebut. Pastikan kau mengantar Nona Linda dengan selamat dari gangguan monster, dan pastikan kau kembali dengan membawa laporan yang tepat."

"Siap Kapten!" Helena memberi hormat dengan cara memukulkan tangan kiri yang terkepal ke bagian kanan dada.