2 Mengumpulkan Kesadaran

Marion berusaha mengumpulkan kesadarannya meski kembali hanya separuh. Ia bisa merasakan ada hawa panas tengah menyelubungi sekujur tubuhnya.

Apakah ia kini tengah berada di neraka?

Tidak, bukan di neraka, melainkan di surga lain—di mana pria ini membawanya. Ada sensasi yang berbeda ia rasakan di ceruk lehernya. Menggelitik tetapi membuatnya melenguh dalam setengah kesadarannya. Ia berusaha membuka mata dan menemukan sosok yang kini tengah mengendus aroma feromon di tubuhnya.

"A-apa yang kau lakukan?" tanya Marion, lemah. Berusaha mencari pegangan, tetapi tak ada satu pun yang bisa menopang tubuhnya yang seolah tengah melayang.

Namun, di detik berikutnya, senyumnya menyungging tanpa kendali. Sesekali ia mendesah. Ia lalu meraih tubuh pria yang kini masih menikmati permainannya sendiri, entah dengan tujuan membuat Marion bangkit dan membuka mata lalu mengizinkan permainan tetap berlangsung, atau setidaknya menyapa pria itu.

"Oh, kau memakai kostum yang bagus!" pekiknya. "Dan ... kau berbulu. Aku suka itu."

Ia masih berada dalam dua dimensi, lalu pria berbulu itu seolah ingin menarik Marion masuk ke dalam dimensi lain yang lebih dalam. Yang mungkin hanya ada dirinya dan pria itu.

Pria yang kini tengah berada di atas tubuh Marion itu tampak berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Namun, pada akhirnya ia tak mampu. Ia yang semula telah berubah menjadi makhluk mengerikan, tiba-tiba berubah kembali menjadi sosok semula—pria menawan dengan tubuh tegap, dan tanpa busana.

Sudah kepalang tanggung baginya, terlebih ia sudah tak mampu lagi menahan.

Ia berikan satu serangan sebagai permulaan dan jalan untuk serangan lain. Namun, tindakannya terhenti oleh pekik tertahan yang terdengar dari bibir Marion.

"Tidak, tidak. Jangan berhenti, kau sudah mengetuk pintu, maka kau tidak boleh lari. Trick, or treat," racau gadis itu, tampak berpeluh karena hawa panas dari tubuh pria yang masih menindihnya, juga karena hasrat yang ia rasakan sejak pria itu memulai permainan.

Marion tak sepenuhnya sadar, tetapi sebaliknya dengan lelaki itu. Racauan Marion merupakan pertanda, bahwa gadis itu memberikan apa yang ia miliki dengan sukarela.

Tentu saja, pria misterius itu tak membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. Ia kembali melanjutkan permainan yang sudah setengah jalan, memaksa serangan itu untuk menembus benteng pertahanan gadis cantik yang masih belum sadar sepenuhnya untuk mengambil keputusan yang benar. Namun, ia tak peduli.

Gadis itu, meski tampak kesakitan, tetapi tak bolehkan pria itu berhenti.

"Sudah kukatakan, bukan, kau tak bisa berhenti begitu saja, Tuan. Lanjutkan dan tuntaskan. Aku menantikannya."

Pria yang sesungguhnya tak mampu menahan hasrat itu, menggeleng. "Kau mungkin nanti akan menyesalinya."

"Lakukan saja sekarang!" perintahnya, singkat.

Hal itu tentu saja disambut senang oleh pria itu. Ia kembali melancarkan serangan setelah berhasil menembus segel gadis itu. Ia akui, baru kali ini ia melakukannya karena tak mampu menahan dorongan hasrat yang entah dari mana datangnya.

Selama ini wanita yang mendekatinya bahkan jauh lebih menarik dibanding gadis ini, tetapi entah mengapa gadis dengan rambut kecokelatan ini seolah memiliki daya tarik magis yang berhasil meniupkan mantra sihir hingga ia begitu tergoda untuk menuntaskan hasrat padanya.

Kedua makhluk berbeda jenis dan gender itu akhirnya berhasil mencapai pelepasan luar biasa secara bersamaan setelah berkejaran menuju klimaks dalam waktu cukup lama.

Pekik dan erang bersahutan memenuhi ruangan tempat mereka berada. Pria itulah yang justru paling tidak kuat menahan sensasi dari itu semua. Ada rasa seperti nyeri dan nikmat yang muncul bersamaan, hingga tanpa sadar kuku-kukunya menancap dan menggores beberapa permukaan benda yang ada di dekatnya. Termasuk kulit mulus Marion.

Pria itu nyaris menghempaskan tubuh di samping gadis itu, tetapi urung ia lakukan ketika mendengar suara ketukan di pintu ruangan tersebut.

Ia menoleh sejenak ke arah pintu, kemudian pada gadis yang dengan cepat kembali terlelap setelah berhasil membuat si pria misterius melepaskan seluruh pelurunya di dalam gadis itu tanpa bisa ia kendalikan.

Kini saatnya ia pergi. Ia sudah dapatkan apa yang ia inginkan. Bukan, tidak seperti itu!

Pada mulanya bukan ini tujuan dirinya datang ke pesta tahunan di kantornya, melainkan memang untuk urusan pekerjaan, juga untuk urusan makan. Namun, menemukan Marion di antara banyak makanan yang lebih menggiurkan, entah mengapa membuatnya mabuk. Padahal dirinya sama sekali belum menenggak alkohol.

Pria itu bangkit, menyelimuti tubuh Marion menggunakan jasnya. Ia lalu mengenakan kemejanya yang compang-camping, kemudian membuka jendela dan melompat dengan gesit menuju ke luar, setelah sebelumnya menoleh ke arah Marion, berharap gadis itu baik-baik saja.

***

Marion menggeliat, memekik ketika merasakan rasa remuk redam di sekujur tubuhnya seolah dirinya baru saja dihantam benda berat. Ia membuka mata yang terasa lengket. Pastilah akibat beberapa gelas alkohol yang ia tenggak.

Kepalanya masih terasa pengar. Namun, seolah menjadi ketika ia menemukan dirinya tak berbusana, hanya berselimutkan sehelai jas kerja entah milik siapa.

Ia menangkupkan kedua lengan di dadanya, dan merasakan nyeri di beberapa bagian tubuh. Terutama di bagian intinya.

Marion bangkit, lalu menuju cermin yang ada di ruangan itu. Ia memerhatikan bekas cakaran di beberapa bagian tubuhnya yang tampak masih baru dan memerah.

"Apa ini? Aw!" Ia memindai seluruh ruangan, menemukan kemejanya yang sudah tak berbentuk lagi. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Ia bahkan sama sekali tak mengingat detailnya, kecuali saat ia tak sengaja memuntahkan isi perutnya pada kemeja seorang pria yang ia tak kenali dan bahkan tak mengingat seperti apa rupanya.

"Damn it! Apa yang sudah terjadi padaku?" Bagian pangkal pahanya terasa nyeri dan ada rasa perih di bagian intinya. "Apakah aku baru saja ... tidak mungkin."

Selama ini memang belum pernah ada yang menyentuh gadis itu, dan ia sempat berpikir mungkin akan lebih baik jika ia menjaga dan memberikan hanya untuk kekasih atau untuk suaminya nanti. Ia bahkan tak pedulikan olok-olok Shana, yang sekaligus pernah menjodohkan Marion dengan Adrian, sepupunya yang berparas rupawan.

Sayangnya Marion menolak karena Adrian sudah meminta Marion untuk bercinta dengannya bahkan di pertemuan pertama. Dan kini ... ah, sungguh bodoh! Ia justru bercinta dengan pria asing yang bahkan ia tak ingat wajah serta detail kejadiannya.

Sungguh sial!

Marion mengambil ponselnya, kemudian menghubungi Shana, yang langsung menerima panggilannya.

"Oh, Tuhan, kau dari mana saja, Marion? Aku sungguh panik mencarimu sejak semalam."

"Oh, yeah? Kau bahkan tak menerima panggilanku yang entah berapa kali sudah. Tapi tak masalah Shana, karena aku butuh bantuanmu sekarang. Ini gawat!"

"Apa pun itu, katakanlah Marion, aku akan membantu semampuku."

"Aku di kamar nomor 305, lantai 12. Kumohon kau cepat datanglah kemari. Jangan lupa bawakan aku satu setel pakaian, oke? Thanks."

Manik Shana membelalak. "A-apa yang kau lakukan di sana, Marion?"

"Aku tak bisa ceritakan sekarang, nanti saja, dan tolong bawakan apa yang kupesan."

avataravatar
Next chapter